Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
PETUALANGAN KE KOTA PARIS

PETUALANGAN KE KOTA PARIS

Gelombang Air

5.0
Komentar
226
Penayangan
20
Bab

Seorang wanita muda yang baru saja bercerai memulai perjalanan ke Paris untuk menemukan kembali dirinya. Di sana, ia bertemu dengan seorang seniman tampan yang mengguncang dunianya. Kisah mereka dipenuhi dengan romansa yang intens, eksplorasi seni, dan penemuan kembali hasrat hidup.

Bab 1 Langkah Pertama

Elena menatap kosong ke luar jendela pesawat, melihat awan-awan yang perlahan terbelah oleh cahaya mentari pagi. Di kepalanya, ingatan tentang perceraian yang baru saja selesai masih segar. Perjalanan emosional yang penuh liku dan kelelahan batin itu telah menguras seluruh energinya. Perceraian dari Daniel, pria yang pernah ia pikir akan menemaninya seumur hidup, meninggalkan ruang hampa dalam dirinya. Namun, ada sesuatu yang lebih besar dari kesedihan-sebuah hasrat untuk berubah, untuk meninggalkan semua kenangan pahit, dan menemukan kembali siapa dirinya.

Paris. Kota yang selalu ia impikan sejak kecil, kini menjadi tempat pelariannya. Bukan untuk melupakan, melainkan untuk memulai lembaran baru. Elena mengingat saat ia mengemas barang-barangnya, meninggalkan rumah yang pernah ia bagi dengan Daniel, dan memutuskan untuk membeli tiket sekali jalan ke Paris. Kota itu baginya bukan sekadar destinasi wisata; ia melihatnya sebagai simbol kebebasan, tempat di mana ia bisa menjadi diri sendiri tanpa bayang-bayang masa lalu yang selalu menghantui.

Pesawat mulai turun, dan Elena merasa dadanya bergemuruh. Perasaan campur aduk antara gugup dan antusias membuat tangannya berkeringat. Ia menutup matanya sejenak, menarik napas panjang, berusaha meredakan ketegangan yang terus memuncak. "Ini bukan sekadar liburan. Ini adalah awal dari sesuatu yang baru," gumamnya dalam hati.

Setelah beberapa saat, pesawat mendarat dengan mulus di bandara Charles de Gaulle. Elena melangkah keluar dengan koper kecilnya, dan udara Paris menyambutnya dengan lembut. Meskipun lelah secara fisik dan emosional, ada sesuatu dalam suasana Paris yang segera membangkitkan semangatnya. Jalanan kota yang ramai, arsitektur yang menakjubkan, dan kebisingan kota besar-semuanya terasa baru dan menggetarkan. Ia menatap sekeliling, berusaha menyerap semua yang ada di hadapannya.

Ia menuju apartemen kecil yang telah ia sewa di Montmartre, sebuah kawasan yang terkenal dengan seniman jalanan dan suasana bohemia. Apartemen itu berada di sebuah bangunan tua dengan balkon kecil yang menghadap ke jalanan berbatu. Saat Elena membuka pintu dan masuk, ia langsung merasakan kehangatan tempat itu. Dindingnya dihiasi foto-foto Paris dari masa lampau, dengan jendela besar yang memungkinkan cahaya matahari pagi masuk.

Elena duduk di sofa tua di dekat jendela, menatap keluar sambil menyesap secangkir kopi hangat yang ia buat dari dapur kecil apartemen itu. Dari balkon, ia bisa melihat hiruk-pikuk kota di bawahnya-orang-orang yang berjalan dengan ritme kehidupan mereka, tak peduli siapa yang datang atau pergi.

Namun, di tengah rasa kagum terhadap kota baru ini, Elena juga merasakan ketakutan. Ini adalah pertama kalinya ia benar-benar sendirian. Tidak ada Daniel, tidak ada teman-teman dekat, tidak ada keluarga di dekatnya. Ini adalah momen di mana ia harus menghadapi ketakutannya sendiri, menemukan kekuatan dari dalam dirinya yang selama ini terpendam.

Tapi, ia tahu bahwa inilah yang ia butuhkan-jeda dari semua yang pernah ia kenal, kesempatan untuk menemukan kembali jati dirinya. "Aku akan menemukan diriku di sini," bisik Elena, seakan meyakinkan dirinya sendiri.

Malam pertama di Paris dihabiskannya dengan merenung, menuliskan pikiran-pikiran dalam jurnal yang selalu ia bawa. Kata demi kata mengalir dengan cepat, seolah-olah ia sedang berdialog dengan dirinya sendiri. Ia menulis tentang rasa sakit, tentang harapan, tentang impian yang masih ingin ia kejar. Dan meskipun jalannya masih panjang, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, Elena merasakan sebersit harapan di dadanya.

Paris, dengan segala keindahan dan kerumitannya, telah mulai membuka pintu baru dalam hidup Elena. Ini adalah langkah pertama dari perjalanan panjangnya-petualangan yang akan mengubahnya, membawa dia ke tempat yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Elena berbaring di atas sofa usang apartemennya, memandangi langit-langit yang tinggi dengan hiasan cetakan arsitektur klasik. Hening. Hanya suara samar dari lalu lintas Paris di kejauhan yang menemaninya. Tiba-tiba, ponselnya berdering, membuyarkan lamunannya. Nama Claire, sahabatnya dari kampung halaman, muncul di layar.

"Elena? Kamu sudah di Paris?" suara Claire terdengar ceria, meskipun sedikit serak karena jarak waktu yang berbeda.

"Iya, baru tiba beberapa jam yang lalu," jawab Elena sambil tersenyum, meski perasaan campur aduk masih mendominasi. "Aku masih berusaha membiasakan diri dengan... semuanya."

Claire tertawa kecil. "Aku bisa bayangkan. Paris itu besar, dan kamu sendirian di sana. Tapi ini yang kamu inginkan, kan?"

Elena menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Iya... aku rasa begitu. Hanya saja, semuanya terasa berbeda dari apa yang kubayangkan. Mungkin aku terlalu idealis tentang kota ini."

"Hei, jangan keras pada dirimu sendiri. Kamu baru sampai beberapa jam, tentu saja butuh waktu. Lagipula, Paris kan punya cara unik untuk memperkenalkan dirinya pada setiap orang. Mungkin besok pagi kamu akan merasa lebih baik."

Elena tersenyum tipis, meskipun Claire tak bisa melihatnya. "Mungkin. Aku cuma... merasa kosong. Aku ingin mulai lagi, tapi rasanya seperti aku sedang berlari tanpa arah. Daniel, perceraian ini... semuanya begitu sulit."

"Perceraian memang bukan hal yang mudah, El. Tapi ingat, kamu ke Paris bukan hanya untuk lari. Kamu ke sana untuk menemukan dirimu sendiri lagi. Untuk memulai bab baru dalam hidupmu," jawab Claire dengan nada lembut tapi tegas.

Elena terdiam sejenak, meresapi kata-kata Claire. "Ya, kau benar. Ini hanya... Aku pikir aku akan merasa lebih baik begitu tiba di sini, tapi ternyata... perasaan itu masih ada."

"Kamu kuat, El. Ini butuh waktu, tapi kamu akan baik-baik saja. Coba mulai dengan hal-hal kecil. Besok, pergi ke kafe yang ada di sekitar apartemenmu, lihat-lihat tempat baru. Paris itu kota yang penuh inspirasi."

"Aku akan mencoba," jawab Elena dengan senyum kecil di wajahnya, merasa sedikit lebih tenang setelah berbicara dengan Claire.

Setelah mengakhiri panggilan, Elena melemparkan ponselnya ke samping dan menatap ke luar jendela. Langit Paris mulai berwarna jingga, tanda matahari terbenam. Ia berdiri, berjalan ke balkon kecil yang hanya cukup untuk dua orang berdiri berdampingan. Udara sore terasa sejuk, dan dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat hiruk-pikuk kota yang tidak pernah tidur. Orang-orang berjalan dengan cepat di jalanan di bawahnya, sesekali terdengar suara tawa atau klakson kendaraan.

Saat Elena menatap jauh ke depan, ia berkata pada dirinya sendiri, "Aku di sini sekarang. Ini adalah hidup baruku. Entah bagaimana, aku akan menemukan jalanku."

Setelah beberapa saat, rasa lapar mulai menggoda perutnya. Elena memutuskan untuk keluar, mencari makan malam. Ia mengganti pakaiannya dengan mantel cokelat panjang, mengambil tas kecilnya, dan turun ke jalan. Begitu melangkah keluar dari apartemennya, suasana Paris malam hari langsung menyergapnya-lampu-lampu kota mulai menyala, aroma roti panggang dari toko roti lokal memenuhi udara, dan orang-orang berlalu lalang dengan ritme mereka sendiri.

Ketika ia sedang berjalan menyusuri jalanan kecil Montmartre, sebuah kafe kecil dengan lampu kuning temaram menarik perhatiannya. Jendela besar kafe itu memamerkan suasana hangat di dalam, dengan beberapa orang yang duduk membaca atau berbincang sambil menyeruput kopi. Elena memutuskan untuk masuk.

Di dalam, suara denting sendok dan cangkir kopi, serta obrolan santai, membuat suasana terasa nyaman. Ia memesan secangkir teh herbal dan sepotong croissant dari pelayan yang ramah, kemudian memilih duduk di sudut ruangan dekat jendela.

Saat ia menunggu pesanannya, pintu kafe terbuka, dan seorang pria tinggi dengan rambut gelap yang berantakan masuk. Dia mengenakan mantel panjang dengan selendang di lehernya, terlihat seperti salah satu seniman yang sering digambarkan di film-film. Pria itu melirik sekeliling, kemudian berjalan ke arah meja di sebelah Elena. Tanpa sengaja, ia menabrak kursi Elena dan teh yang baru saja dihidangkan tumpah.

"Oh, maaf! Saya tidak sengaja!" pria itu berkata dengan nada penuh penyesalan, cepat-cepat mengeluarkan sapu tangan dari saku mantelnya dan mencoba membersihkan teh yang tumpah di meja.

Elena terkejut, tetapi senyum kecil muncul di bibirnya. "Tidak apa-apa, sungguh. Aku bisa memesan yang baru."

Pria itu menatapnya dengan wajah bersalah. "Tidak, biarkan aku yang menggantinya. Aku benar-benar ceroboh." Dengan cepat ia melambai ke pelayan, meminta pesanan baru untuk Elena.

Setelah beberapa saat, pria itu duduk di meja sebelah, dan suasana hening sejenak. Namun, pria itu menoleh ke arah Elena dengan senyuman ramah. "Kamu orang asing di sini, ya?"

Elena sedikit terkejut dengan pertanyaannya, tetapi kemudian mengangguk. "Ya, baru datang beberapa jam yang lalu."

"Ah, aku bisa menebaknya. Ada sesuatu dari caramu memandang kota ini. Paris sering memberikan kesan pertama yang... campur aduk. Namaku Julien, by the way."

Elena tersenyum kecil dan memperkenalkan dirinya. "Aku Elena."

Mereka berdua saling bertukar senyum, dan tanpa disadari, percakapan kecil tentang Paris dan seni mulai mengalir di antara mereka, menandai awal dari petualangan yang lebih besar yang tak pernah Elena duga.

Bersambung...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Gelombang Air

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku