Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Sang Pemuas
--Happy Reading--
Tidak ada satu wanita pun yang menginginkan memiliki suami tidak sempurna. Namun, jika itu sudah takdir atas jodohnya dari Tuhan yang maha kuasa, mau dibilang apa? Percayalah, setiap apa yang menurut kita baik, belum tentu menurut Tuhan juga baik. Sebaliknya, setiap apa yang menurut kita buruk, boleh jadi menurut Tuhan itu sangat baik.
***
Namaku Annaya Ahmad, usiaku baru genap dua puluh tahun. Aku biasa dipanggil Anna oleh orang-orang yang mengenalku. Statusku masih anak mahasiswa semester empat, jurusan ekonomi. Aku anak kedua dari dua bersaudara, atau disebut anak bungsu yang harus selalu jadi anak yang penurut. Nurut sama perintah kedua orang tua dan nurut sama perintah kak Asma.
Sudah hampir tiga puluh menit aku menunggu ayah menjemputku. Gang jalan menuju desaku, sangat jarang kendaraan yang melintas, apalagi kalau sudah melewati pukul tujuh malam, suasana desaku sunyi dan sangat jarang orang berlalu lalang.
Kesabaranku menunggu akhirnya usai, ketika melihat motor ayah dari kejauhan yang bergerak semakin mendekat ke arahku.
“Ayah…” pekikku sambil melambaikan tangan ke atas.
Ayahku tersenyum mengembang saat menghentikan deru mesin motornya. “Maaf, lama menunggu,” ucap ayahku, mengulurkan tangan kepadaku. Aku pun menyambutnya dengan mencium punggung tangannya takzim.
“Tidak apa-apa, Ayah,” sahutku, lalu segera naik ke atas motor dengan duduk menyamping dan memangku koperku yang berukuran kecil.
Ayah bergegas melajukan motornya kembali menuju rumah kami yang sudah sangat aku rindukan. Ya, hampir lima bulan ini, aku baru bisa pulang ke rumahku setelah menjalani ujian semester empatku, bertepatan dengan hari pernikahan kak Asma yang akan berlangsung besok pagi. Aku mendapatkan hari libur dua minggu lamanya, setiap selesai ujian semester.
Hampir lima belas menit jarak tempuh menuju desaku, akhirnya aku dan ayah pun sampai di depan rumah yang sudah terpasang tenda untuk pernikahan kak Asma. Kedua bola mataku menyapu semua sudut ruangan yang tertata rapi dan indah. Semua warna di dominasi dengan nuansa hijau, kesukaan kak Asma.
Banyak bunga-bunga tersebar di beberapa bagian, dengan semerbak harum yang menyeruwak menusuk indra penciumanku. Aku terpejam, menikmati setiap hembusan harum bunga mawar dan melati yang tersetuh semilir angin malam.
“Ayo, sayang!” ajak ayahku, membuat aku tersadar dari belaian harum bunga yang membuat aku sekejap terbuai.
“Eeh, iya, Ayah.”
Aku mengekori langkah kaki ayah yang bergerak, sambil menarik koper kecilku yang berisi pakaian dan barang-barang berhargaku yang tidak seberapa itu.
Banyak para kerabat dan tetangga rumah yang menyambut kedatanganku dengan raut wajah yang sulit aku terka. Begitu juga dengan ayah, ternyata merasakan hal yang serupa denganku.
“Ada apa?” tanya Sabda, ayahku. Dia terlihat bingung, aku pun sama. “Di mana istri dan putriku, Asma?” tanyanya lagi.
“B-bu Diana ada di dalam kamarnya,” sahut ibu Atun terbata.
“Ya, Ibu Diana ada di kamarnya,” sahut yang lainnya ikut menimpali.
Ayahku mengangguk, kemudian bergegas menuju kamar, setelah mendengar jawaban dari kerabat dan tetanggaku. Aku hanya mengekori langkah kaki ayah, untuk menemui ibu. Setelah menemui ibu, baru aku berencana menemui kak Asma.
“Kamu di sini saja, Anna. Jangan masuk dulu!” cegah ibu Atun menahan lenganku.
“Kenapa? Aku hanya ingin bertemu dengan Ibuku. Aku merindukannya.” Aku berusaha untuk membantah.
“Kamu akan segera tahu, setelah ini,” ujarnya. “Lebih baik sekarang kamu segera membersihkan diri. Biarkan kedua orang tuamu bicara berdua.”
Aku menaikkan satu alisku dan mengernyitkan dahiku heran. Di dalam otakku banyak pertanyaan yang sedang berkecamuk. Ada apa dan kenapa? Mengapa aku tidak diizinkan menemui ibuku sendiri?
***