Cinta yang Tersulut Kembali
Kasih Sayang Terselubung: Istri Sang CEO Adalah Aku
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Terpesona oleh Istri Seribu Wajahku
Gairah Citra dan Kenikmatan
Hamil dengan Mantan Bosku
Hati Tak Terucap: Istri yang Bisu dan Terabaikan
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Suamiku Nakal dan Liar
Pernahkah seseorang mengalami cinta kilat?
Tidak, bukan cinta pandangan pertama, tapi cinta yang terjadi dalam sehari karena sesuatu hal. Mungkin, ini dinamakan soulmate?
Seseorang pernah mengalaminya. Dan itu terjadi saat dia menggenggam sebuah keberuntungan.
"Mau ikut sama gue, nggak?" tanya gadis berambut sebahu yang bernama Vanya.
"Gue sibuk," jawab Sessil, tanpa menoleh, matanya terfokus pada layar komputer, dan tangannya dengan lincah mengetik di keyboard. "Ajak pacar lo aja."
"Ngeledek lo?" sahut Vanya merengut. "Gue kan nggak punya pacar."
Oya! Sessil bergidik karena telah menyinggungnya dan membuat Vanya marah. Ia alihkan pandangannya sejenak, lalu tersenyum lebar. "Gue lupa. Ya udah, ajak mantan lo, atau teman lo yang lain gitu?" sarannya, berbicara dengan hati-hati.
Bibir Vanya malah semakin dimanyunkan. Kalau soal memberi saran, Sessil memang payah sekali! "Mantan? Lo tau sendiri kalau hubungan gue sama Dodi berakhir buruk."
"Ya, habis. Jadi cewek nyolotan mulu," celetuk Sessil sambil memutar kursinya kembali ke depan layar komputer. "Makanya, hubungan lo sama dia selalu nggak akur."
"Berisik!" Vanya menutup telinganya, tak mau mendengar masa lalunya yang penuh drama itu. "Kita nggak perlu bahas itu! Pokoknya, lo harus ikut sama gue! Wajib! Bukan sunnah! Fix!"
Tapi, Sessil tetap tidak mau. Ia akan menolaknya, hanya saja Vanya keburu kembali ke meja kerjanya yang jaraknya jauh darinya. Napasnya terhela, mau tidak mau pasrah.
Liburan ke Lombok gratis memang sebuah kesempatan langka buatnya. Vanya mendapatkan tiket liburan itu karena iseng mengikuti sebuah kuis di internet. Namun, Sessil itu orang yang selalu malas pergi ke mana-mana, apalagi tempatnya jauh sekali.
Meskipun begitu, kedua gadis berusia 25 tahun itu akhirnya berangkat juga ke Lombok tiga hari kemudian. Musim kemarau yang panasnya menyengat kulit, meluapkan semangat Vanya. Namun, berbanding terbalik dengan Sessil.
Setelah pesawat mendarat di bandara Lombok, Vanya bergegas keluar dari bandara duluan. Sessil menyeret kopernya dengan jalan lambat dan terlihat lemas. Vanya menoleh, baru menyadari bahwa Sessil berdiri jauh darinya.
"Sil! Ngapain berhenti di sana?" tanya Vanya, berseru.
Sessil jadi jengah melihat kelakuan sahabatnya. Ia mendengus, lalu menggerutu pelan. "Apaan sih, teriak-teriak gitu? Norak banget?"
"Cepatan sini!" teriak Vanya sambil melambai.
"Iya, sabar!" sahut Sessil jengkel, menyeret kopernya dengan tidak niat dan malas-malasan.
Jalan-jalan ke luar kota tidak lengkap kalau tidak diabadikan. Vanya akan memenuhi akun media sosialnya dengan foto-foto selama di Lombok lewat kamera digital yang dibelinya tahun lalu.
Sessil mengambil kamera itu dari tangan Vanya, berdiri di tempat yang pas untuk memotret. Vanya mulai berpose, dan Sessil memotretnya dengan asal.
"Coba gue lihat?" pinta Vanya, tak sabar melihat hasilnya.
Sessil memberikan kembali kamera itu. Bodo amat dengan hasilnya, ia ingin buru-buru berteduh dari terpaan teriknya matahari. Namun, sepertinya harapannya itu tidak terwujud dalam waktu singkat, setelah melihat ekspresi tak senang Vanya. Sessil menghela napas.
"Apaan nih? Jelek ah! Ulang lagi fotonya," keluh Vanya.
"Nggak ah! Nanti aja foto-fotonya. Panas banget nih!" tolak Sessil.
"Mana bisa gitu. Gue mau foto di bandara, mau kasih tahu followers gue, kalau gue udah sampai di Lombok. Nanti gantian deh, gue yang fotoin lo."
Nyatanya bujukan Vanya tidak mempan. Sessil tetap berkelit. "Buat apaan foto? Gue nggak punya medsos."
"Ya udah, fotonya nanti dipajang aja di status WA," sahut Vanya gemas, malas berlama-lama. "Udah buruan fotoin! Lo mau cepat-cepat ke resort, 'kan?"
Ya memang, tapi Sessil malas melakukan hal itu di siang hari yang panas, dan dilihatin orang yang berlalu lalang pula. Untungnya, Vanya cuma melakukan dua pose saja, dan ia juga puas dengan hasil fotonya.
"Nah, ini baru bagus!" puji Vanya, tersenyum senang. "Sekarang giliran lo yang gue foto."
"Nggak!" Langsung ditolak keras oleh Sessil. "Lo udah janji mau ke resort habis ini, 'kan?"
Sepertinya, Vanya tidak mengindahkan ucapan Sessil. Bahkan, ia memanggil seorang pria yang kebetulan lewat sambil menenteng sebuah tas hitam di pundaknya. Hati Vanya bertambah senang karena melihat kamera yang dikalungkan pria itu di lehernya. Ia berpendapat kalau dia pasti seorang pemotret yang andal.
"Mas! Bisa tolongin saya?"
Pria berkacamata hitam itu berhenti melangkah dan menoleh. Merasa kalau memang dirinya yang dipanggil oleh wanita asing itu, lantas ia menghampiri.
Sessil merasa segan dengan tindakan sahabatnya itu. Sambil menyikut lengan Vanya ia berbisik, "Ngapain sih lo panggil dia?"
Vanya mendekati wajahnya sedikit, membalas dengan bisikan juga. "Biar aja. Gue rasa dia pro deh soal photografi. Lihat aja kamera yang dibawanya? Pasti hasilnya bagus?"
Pria itu sampai di hadapan kedua gadis cantik itu. Vanya langsung menjauhkan wajahnya, lalu tersenyum padanya. Sessil menatap kurang suka padanya. Si pria cemberut, sama sekali tidak ada senyum ramah di bibirnya, padahal Vanya bersikap ramah padanya. Kayaknya, pria itu keberatan jika Vanya meminta tolong dipotret.
"Maaf, ya, Mas. Bisa tolong fotoin kita berdua, nggak?" kata Vanya, cukup hati-hati bicaranya. Sepertinya, dia menyadari sikap kurang ramah pria itu.
"Mana kameranya?" Pria itu mengulurkan tangan.
Sessil melongo. Meski nada bicaranya agak dingin, tetapi pria itu bersedia melakukan permintaan Vanya. Berkembanglah senyuman di bibir Vanya, bersemangat berpose setelah memberikan kameranya pada pria itu.
Foto pertama, hanya Vanya yang berfoto. Lalu, foto yang kedua, potret Sessil dan Vanya meski Sessil rada malas berpose. Seperti yang prediksi Vanya, pria itu memang pandai mengambil foto yang bagus. Vanya begitu puas dengan hasil jepretannya.
"Terima kasih, ya, Mas." Vanya tersenyum senang.
Pria itu tak mengatakan apa pun, langsung pergi begitu saja. Sessil memperhatikannya tanpa mempedulikan Vanya yang sedang mengoceh kegirangan sambil melihat-lihat hasil foto. Ia mencibir di dalam hati, begitu sombong perangai pria itu. Senyumnya mahal kali, ya?
"Sil, kita ke resort, yuk—" Ucapan Vanya menggantung karena menyadari Sessil sedang melihat ke arah lain. Ia jadi penasaran, dan ikut melirik ke arah yang sama. "Lagi lihat apa sih lo? Mata lo sampai mau copot gitu."