Kepergian Aluna, membuat Erina menawarkan menjadi istri pengganti untuk Haikal. Pernikahan yang hambar, obsesi Erina untuk mendapatkan Cinta Haikal, lama kelamaan membuat hasil ketika malam pertama pernikahan mereka terjadi. Namun, bunga yang baru saja mekar tampaknya tak bertahan lama. Kedatangan Aluna secara tiba-tiba membuat Haikal harus memilih. Antara Erina sebagai sang istri, atau Aluna sebagai wanita yang dia cintai.
Haikal sudah bersiap untuk menjemput sang ibu dan memperkenalkan calon istrinya yang akan dia nikahi esok hari. Senyum bahagia terpancar di raut wajah Haikal karena semuanya akan dimulai dari awal Bersama Aluna. Kini, sisa hidupnya akan hanya akan dia habiskan bersama sang kekasih.
Ponsel berdering tanda pesan masuk secara beruntun. Haikal menyunggingkan senyum sebelum meraih benda pipih itu.
"Kamu pasti sudah sangat tidak sabar, kan? Nanti, saat kita sudah tinggal Bersama di rumah kita, saat aku terlambat bersiap, aku akan selalu mendengar ocehanmu. Bukan hanya melalui pesan beruntun seperti ini," kata Haikal seraya meraih benda pipih itu dan masih belum menghilangkan senyum di wajahnya.
Namun, saat dia melihat seluruh pesan yang masuk ke dalam ponselnya, senyum itu memudar. Dia langsung berusaha untuk menghubungi Aluna meski nomor ponselnya mendadak tidak bisa dihubungi.
Haikal kembali menatap layar ponselnya memastikan apa yang dia lihat itu tidak salah. Pesan itu berisi permohonan Aluna untuk pergi meninggalkan Haikal tanpa sebab dan memintanya untuk melupakan pesta pernikahan mereka.
"Aku sama sekali tidak berniat lagi untuk melanjutkan pernikahan kita, Haikal. Jadi, lebih baik kamu batalkan saja. Aku akan pergi jauh ke tempat yang kamu tidak tahu."
Pesan itu, pesan yang Aluna kirim dengan sangat banyak.
Tak ingin memperlambat waktu, Haikal langsung bergegas pergi ke rumah Aluna dengan tergesa-gesa berharap bahwa apa yang Aluna kirimkan itu hanyalah sebuah gurauan. Pasalnya, mereka memang tak memiliki masalah yang mengharuskan mereka untuk mengakhiri hubungan tersebut.
Terlebih lagi, mereka memang sudah akan menikah esok hari.
Haikal gelap mata. Terlebih lagi saat dia melihat palang yang menuliskan bahwa rumah Aluna itu akan dijual. Sudah dipastikan rumah itu kosong. Namun, Aluna kemana?
Haikal masih ingin menunggu hingga senja pun datang. Hujan juga turun membasahi Haikal tanpa dia berniat sedikit pun untuk masuk ke dalam mobil menunggu Aluna pulang ke rumahnya. Dia menangis.
"Haikal?"
Haikal menoleh. Suara itu, suara yang ia sangat kenal dan menunggu kehadirannya. Itu suara Aluna. Haikal mendongakkan wajahnya untuk melihat wajah wanita yang memanggilnya dengan tatapan bahagia.
Namun, kebahagiaan itu harus sirna ketika melihat bahwa yang datang bukanlah Aluna. Dia gadis yang Haikal kenal, Erina. Teman semasa dia sekolah dulu. Namun, kenapa dia bisa ada di sana menemui Haikal?
"Erina? Kau kah itu?" tanya Haikal merasa bingung karena penglihatannya yang terbatas oleh hujan.
"Ya, ini aku. Sedang apa kau di sini, Kal?" tanyanya dengan wajah bingung seraya membagi payung yang ia kenakan. "Ini sedang hujan."
"Erina, bagaimana kabarmu? Lama sudah kita tidak bertemu," kata Haikal ayng mengalihkan pembicaraan tentang pertanyaan Erina padanya.
"Daripada bertanya keadaanku, bukankah lebih baik bertanya bagaimana keadaanmu?"
"Aku baik-baik saja."
"Kau berbohong, Kal. Aku tahu kau tak sedang dalam keadaan yang baik," kata Erina dengan wajah serius menatap Haikal. "Jika pengantim wanitamu meninggalkanmu, apa kau tetap mengatakan bahwa dirimu baik-baik saja? Kau berbohong dan aku tahu itu."
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Kau sama sekali tak perlu tahu aku mengetahui itu darimana. Aku ingin memberikanmu sebuah saran,'' kata Erina dengan suara yang begitu percaya diri.
"Apa?"
"Menikah lah denganku, Kal. Kau tak layak menangisi wanita yang bahkan tak mengerti perjuanganmu untuknya." Erima berkata seraya membungkukkan tubuhnya untuk berbicara di telinga Haikal.
Pria itu sangat ingin sekali marah dnegan apa yang dikatakan oleh Erina. Bagaimana mungkin Haikal bisa menikah dengan gadis lain selain Aluna?
Namun, ponselnya berdering lagi. Itu ibunya, menelepon dengan nomor rumah sakit. Haikal tergugu, dia bingung harus berbicara apa mengenai pernikahannya Bersama Aluna yang mungkin saja tak akan terjadi.
"Hallo, Nak. Bagaimana proses pernikahanmu dengan kekasih hatimu itu? Apa sudah selesai? Ibu baru saja membuka parcel yang berisikan gaun untuk menghadiri penikahanmu. Ini sangat indah sekali." Ibunya begitu senang saat berkata seperti itu.
Haikal menutup matanya lekat-lekat tak sanggup menjawab apa yang ibunya katakan.
"Putra Ibu, akhirnya menemukan pendamping hidup. Ibu yakin, wanita itu adalah wanita yang hebat karena sudah mengurusi putra ibu selama tiga tahu terakhir," sambungnya lagi.
Haikal bingung. Dia harus berkata apa pada ibunya? Haikal benar-benar dihadapkan pada dua suasana yang benar-benar menyulitkan dirinya sekarang.
Ada ibunya yang bertanya mengenai pernikahannya esok hari, ada juga Erina yang menawarkan dirinya sebagai istri pengganti untuknya.
"Iya, Bu, nanti Haikal ke sana ya. Haikal kan sudah janji akan menjeput Ibu," katanya dengan kesedihan yang benar-benar ia tahan agar ibunya itu tak mengetahui hal ini.
"Segera lah jemput Ibu, Nak. Ibu juga ingin melihat calon istrimu dan melihat persiapan pernikahan kalian. Ibu ini, ibu kamu. Ibu juga ingin ikut campur dalam persiapan pernikahan kalian besok hari," balasnya dengan nada yang begitu antusias sekali.
Mendengar itu, hati Haikal benar-benar teriris. Bagaimana mungkin dia bisa mengatakan hal yang sebenanrya sekarang? Bagaimana dia bisa mengatakan bahwa dirinya sudah gagal untuk nikah karena Aluna yang pergi tanpa alasan.
"Bu, Haikal tutup teleponnya dulu, ya. Nanti Haikal jemput Ibu," katanya seraya menutup cepat sambungan telepon tersebut.
Setelah mematikan sambungan teleponnya itu, Haikal menatap Erina dengan tatapan tak suka. Dia masih menunggu Haikal di tempatnya dan masih dengan sabar menunggu jawaban Haikal.
"Pergi lah, Erina. Aku sama sekali tidak tertarik dengan tawaran yang dirimu berikan," ujar Haikal dengan wajah dan nada datar.
"Bagaimana aku bisa pergi sedangkan kau benar-benar membutuhkan bantuanku? Apa kau sama sekali tak memikirkan tentang bagaimana perasaan ibumu? Aku tahu kesehatan mental ibumu sangat tidak baik." Erina berkata begitu dengan wajah yang sangat emosional.
"Lalu, apa maksudmu itu, menjadikanmu seorang istri pengganti adalah solusi?" tanyanya dengan nada isnis menatap ke arah Erina. "Jika bagimu itu solusi, tapi bagiku tidak! Aku hanya mencintai Aluna dan tidak pernah berpikir untuk menihaki wanita lain selain dirinya!"
"Aku tahu itu dan sangat tahu itu, Kal. Hanya saja, apa kau tahu kemana Aluna pergi? Tidak, kan?"
"Kemana pun dia pergi, dia pasti akan kembali ke sini, bersamaku!"
"Kapan? Kapan dia akan kembali sedangkan pernikahan kalian itu besok?"
"Itu bukan urusanmu, Erina!"
"Lalu, bagaimana kau akan memberi tahu semua ini pada ibumu? Apa kau sama sekali tak berikir bagaiama ksehatannya akan terganggu jika kau mengatakan yang sebenanrya? Kau sudah menunggu ibumu untuk stabil, kan? Lalu, saat beliau sudah stabil, kau malah membuat keadaannya lebih buruk lagi dengan mengatakan hal yang sebenarnya."
Haikal terdiam. Apa yang diakatakan tentang kesehatan ibunya itu benar. Sudah bertahun-tahun sejak ibunya itu mengalami depresi pasca trauma yang ia derita, Haikal sangat menunggu ibunya untuk bisa ke titik stabil.
"Menikah denganmu juga bukan solusi!"
"Berarti kau memilih pilihan untuk membuat ibumu kembali tidak stabil dengan mengatakan bahwa kau gagal menikah dengan Aluna?" tanyanya yang membuat Haikal terdiam bingung dengan pilihan yang akan dia pilih.