Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Menjadi Istri Pengganti Untuk Suami Kakakku

Menjadi Istri Pengganti Untuk Suami Kakakku

Tinta Hitam.

5.0
Komentar
12.6K
Penayangan
127
Bab

Anak adalah sebuah anugerah dan kesempurnaan dalam sebuah ikatan rumah tangga. Calista dan Fadli sudah menikah hampir 10 tahun, namun mereka belum di karuniai seorang anak. Hingga pada suatu hari, papa dari Fadli ingin memberikan warisan kepadanya, tapi Fadli harus mempunyai anak terlebih dahulu. Papa Zahid memberi waktu hanya satu setengah tahun saja untuk Fadli dan Calista. Hingga akhirnya, munculah ide gila Calista, yang meminta Fadli untuk menghamili sang adik. "Apa kamu gila, sayang? Kamu memintaku menanamkan benihku di rahim wanita lain? Apa kamu sudah kehilangan akal, hah!" Fadli. "Tidak ada cara lain, Mas. Anggap saja kita membeli rahim adikku. Kan kamu tahu, jika Jihan sedang butuh uang? Dan aku sangat yakin, jika dia mau." Calista Bagaimanakah reaksi Jihan, saat Calista membeli rahimnya? Apakah Jihan setuju dan mau menjualnya? Bagaimanakah kisah mereka?

Bab 1 Permintaan Calista

Happy reading....

"Maaf ya Kak, aku lama," ucap Jihan, adiknya Calista.

Calista saat ini sedang berada di cafe, dia ingin bertemu dengan adiknya, sebab ada yang mau Calista utarakan pada wanita berjilbab itu.

"Iya, tidak apa-apa," jawab Calista dengan wajah yang murung.

Jihan merasa penasaran kenapa kakaknya berwajah sedih seperti itu, kemudian dia menggenggam tangan Calista.

"Ada apa, Kak? Kok wajahnya ditekuk kayak gitu sih?"

"Sebenarnya aku menemui kamu untuk berbicara sesuatu."

"Soal apa itu, Kak?" tanya Jihan.

Calista menatap lekat ke arah adiknya, mereka tumbuh besar bersama. Walaupun mereka bukanlah adik dan kakak kandung, akan tetapi Calista sangat menyayangi Jihan.

Namun kali ini dia benar-benar membutuhkan bantuan adik angkatnya, dan Calista sangat sadar jika pasti permintaannya akan membuat Jihan merasa sangat terkejut.

"Ada apa, Kak?" tanya Jihan kembali saat melihat Calista hanya diam saja.

Sejenak wanita itu menghembuskan nafasnya dengan kasar, kemudian dia pun mengatakan perihal masalah rumah tangganya dengan Fadli kepada Jihan.

"Begini Dek ... sebenarnya kakak ingin kamu membantu kakak."

"Membantu apa?"

"Kakak ingin kamu menikah dengan Mas Fadli ..." ujar Calista yang membuat Jihan terhenyak di tempatnya, "Kakak mohon, Jihan ... kamu tau sendiri, kakak tidak bisa memberikan keturunan untuk Mas Fadli, sedangkan keluarga Mas Fadli menyudutkan kami untuk segera memiliki keturunan, dan sudah hampir 10 tahun kami menanti kabar bahagia itu, tapi belum juga ada, Jihan."

"A-apa! Bagaimana mungkin kakak bisa memiliki pikiran seperti ini, Kak?" Jihan yang terkejut itu pun sama sekali tidak menyangka bahwa Kakaknya akan mengatakan hal tersebut kepadanya, dan Jihan hanya bisa mendengkus gusar seraya menatap kakaknya tak percaya.

Namun, seketika Jihan tertawa. Dia pikir bahwa Calista sedang bercanda.

"Kakak tidak sedang bercanda Jihan, kakak serius."

Seketika tawa Jihan berhenti, di ganti dengan raut wajah syok dan tatapan membulat serta mulut sedikit menganga. Dia berharap itu hanya sebuah mimpi. Namun, nyatanya itu sebuat fakta dan kenyataan.

"Tapi kan Kak, kita ini adik kakak. Masa iya aku hamil benihnya Mas Fadli sih? Apa kata orang-orang nanti, Kak? Nggak! Aku nggak mau!" tolak Jihan dengan tegas.

Jihan tidak habis pikir apa yang ada di benak sang kakak, sampai harus memintanya untuk mengandung benih dari suaminya sendiri?

"Tapi Han, kakak--"

"Maaf, aku tidak bisa Kak!" Jihan pun beranjak dari tempat duduknya, kemudian dia meninggalkan Calista begitu saja.

***********

Saat pikirannya sedang kacau, Calista sampai tidak fokus menyetir, hingga dia tidak melihat jika ada seorang anak kecil yang menyeberang jalan. Kemudian wanita itu pun yang kaget langsung membanting setirnya hingga menabrak pembatas jalan.

CKIIT! BRAAK!

"Aaakh! Aaawh! Perutku!" ringis Calista saat merasakan perutnya terjepit dan terbentur keras, karena tabrakan mobil itu membentur sangat keras, hingga menimbulkan dentuman yang membuat semua orang seketika berlari ke arahnya.

"Ada kecelakaan! Ada kecelakaan!" teriak seorang pejalan kaki sambil menunjuk mobil Calista yang sudah remuk.

.....................

Fadli sampai di rumah sakit, dan dia langsung menuju ruangan UGD, di mana saat ini istrinya tengah diperiksa dan ditangani oleh dokter.

Pria itu berjalan mondar-mandir di depan ruangan tersebut dengan raut wajah yang diliputi rasa cemas tentang keadaan istrinya, bahkan untuk duduk pun rasanya Fadli tidak bisa.

Setelah beberapa jam menunggu, pintu ruangan UGD terbuka, dan keluarlah seorang Dokter. "Apakah Anda keluarga dari pasien?" tanya Dokter tersebut kepada Fadli.

"Iya Dok, saya suaminya. Bagaimana keadaan istri saya, Dok? Dia baik-baik aja 'kan?

"Lukanya tidak terlalu parah. Hanya saja, benturan di bagian perutnya mengakibatkan kami harus mengangkat rahimnya, karena sudah rusak akibat kecelakaan itu," jawab Dokter tersebut.

Bagai disambar petir di siang bolong, Fadli terduduk dengan lemas saat mendengar jawaban Dokter jika sang istri rahimnya harus diangkat karena benturan yang amat sangat keras.

Tatapannya seketika kosong, pikirannya semrawut dan tidak tahu harus sedih atau bahagia, karena istrinya selamat tapi rahimnya tidak.

"Tuan, apa Anda baik-baik saja?" tanya Dokter sambil berjongkok di hadapan Fadli.

"Apa tidak bisa jika tidak diangkat, Dok? Kami sudah hampir 10 tahun ingin memiliki anak, tapi kenapa rahimnya harus diangkat, Dok?" Fadli menatap kosong sambil menggelengkan kepalanya dengan pelan.

Dunianya runtuh seketika saat mendengar kabar buruk itu.

"Jika tidak, itu akan merusak organ tubuh lainnya Pak. Juga akan membahayakan nyawa istri, Bapak. Kami tidak mempunyai pilihan lain," jawab Dokter tersebut.

Rasanya seluruh tulang di tubuh Fadli sudah tak bertenaga. Dia merasa lemas, bahkan tidak bisa berpikir saat menerima kenyataan yang begitu menyakitkan di dalam hidupnya.

Setelah keadaan Calista stabil, dia pun pindahkan ke ruang rawat inap. Di sana Fadli setia menunggu istrinya sambil menggenggam tangan wanita itu.

Jujur saja, Fadli tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Calista saat dia mendengar kenyataan bahwa rahimnya harus diangkat. Karena pasti wanita itu akan hancur.

"Eeeugh!" Suara lenguhan terdengar lirih dari wanita yang saat ini tengah terbaring di hadapan Fadli.

"Sayang, akhirnya kamu sadar juga," ucap Fadli, kemudian dia menekan tombol untuk memanggil Dokter serta Suster.

Setelah keadaan Calista diperiksa dan dinyatakan sudah melewati masa kritisnya, Dokter pun pergi. Dan saat ini tinggallah Calista bersama dengan Fadli.

"Aku ada di mana, Mas?" tanya Calista dengan suara yang lirih.

"Kamu ada di rumah sakit, sayang."

Calista terdiam, dia ingat jika beberapa jam yang lalu wanita itu mengalami kecelakaan karena dia begitu sangat frustasi sebab belum juga hamil.

Calista mencoba untuk bangun, akan tetapi dia merasakan sakit di bagian perutnya yang teramat sangat.

"Aawwh!" ringis Calista.

"Sayang, kamu jangan bangun dulu! Keadaanmu belum pulih, bekas jahitannya masih basah. Jangan bangun terlebih dahulu ya!" cegah Fadli.

Wanita itu menatap ke arah Fadli saat mendengar kata jahitan. "Maksud kamu apa, Mas? Jahitan apa yang kamu maksud?" tanya Calista.

Fadli terdiam, dia menatap teduh ke arah sang istri, di mana pria itu tidak tega jika mengungkapkan tentang kebenarannya. Karena dia tahu pasti Calista akan sangat terpukul.

Melihat keterdiaman suaminya, Calista merasa ada yang janggal. Dia merasakan jika Fadli tengah menyembunyikan sesuatu yang besar darinya.

"Katakan Mas! Apa yang terjadi? Apa yang kamu sembunyikan dariku, Mas?"

"Sayang, sebaiknya kamu istirahat ya! Keadaanmu kan juga belum pulih betul." Fadli mencoba untuk menenangkan sang istri agar tidak bertanya soal apa yang terjadi.

"Tidak Mas. Jawab dulu pertanyaanku! Apa yang dijahit?" desak Calista dengan tatapan memohon.

"Tadi Dokter mengatakan, jika perut kamu mengenai benturan yang sangat keras, hingga ..." Fadli menggantungkan ucapannya membuat Calista semakin penasaran.

"Hingga apa, Mas?" desak Calisa dengan tak sabar.

"Hingga rahim kamu harus diangkat," jawab Fadli pada akhirnya sambil menundukkan kepala.

Mendengar itu tentu saja Calista sangat syok dia menutup mulutnya dengan satu tangan. Air matanya sudah tak terbendung lagi, mengalir begitu saja membasahi pipi.

Dadanya terasa begitu sesak. Sudah hampir 10 tahun dia menantikan seorang anak, dan saat mereka sedang berusaha Allah malah memberikan cobaan yang begitu sangat berat kepadanya.

"Tidak Mas. Tidak mungkin! Rahimku tidak mungkin diangkat, Mas! Bagaimana kita akan mempunyai anak? Tidak. Aku tidak mauuu!" jerit Calista sambil menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.

"Bagaimana kita bisa mempunyai anak Mas, kalau rahimku diangkat? Aku tidak mau, Mas. Bagaimana bisa? Aku tidak ingin kehilangan kamu, Mas. Aku sangat mencintaimu. Pasti mama dan papa akan memintamu untuk menceraikanku," ucap Calista dengan sangat lirih hingga pada akhirnya dia tertidur karena dokter menyuntikan obat bius.

.......................

Tepat jam 22.00 malam, Fadli pulang ke rumah, karena dia tidak ingin membuat kedua orang tuanya merasa curiga.

Saat pria itu masuk, rumah sudah setengah gelap. Dan dia yakin jika kedua orang tuanya sudah tidur, namun saat melewati ruang tamu, tiba-tiba suara seseorang mengagetkan dirinya.

"Kenapa kamu pulang sendiri? Mana Calista?" tanya seseorang yang tak lain adalah Papa Zahid.

DEGH!

BERSAMBUNG.....

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Tinta Hitam.

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku