Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Ara
Malam pertama di pulau Raja Ampat.
Katanya, matahari terbit di sana mirip surga. Benarkah demikian?
Berarti, nanti aku bisa bertemu kamu dong, Lang? Kalau begitu, aku akan mendapatkan matahari terbit di sini besok pagi biar bisa melihat kamu. Jadi, kamu jangan sembunyi ya?
Kamu lihat bungalao yang didesain menjadi rumah panggung ini? Aku cukup puas dengan tempatnya. Tadi, saat hari masih terang, sekitar jam tiga sore, tidak lama setelah sampai, aku menggunakan mobil Jeep sewaan menuju pantai ini aku melihat putihnya pasir. Air laut yang biru jernih terlihat seperti lapisan kaca berkilauan tertimpa sinar matahari. Langitnya yang biru sebiru cintaku padamu dipadukan dengan awan putih yang solid tampak seperti awan di film kartun favoritku tingkerbell.
Kepalaku masih dipenuhi semua hal tentang kamu Lang, apalagi dengan post it berwarna kuning yang dulu kita buat bersama yang sedang ku genggam dan kupandangi ini. Semua ingatanku masuk ke dalam lubang hitam yang isinya hanya tentang kamu, kamu dan kamu.
Kamu pasti ingat dengan daftar tujuan wisata yang pernah kita buat kan? Yang kamu tunjukkan Pertama kali saat kita menginjakkan kaki disini. Hanya kita berdua.
Ah, mungkin sekarang aku sudah jago berhalusinasi Lang. Bahkan, disini, di sebuah penginapan tepi pantai yang berupa rumah panggung kayu ini, aku masih bisa merasakan kehadiran kamu. Jelas, sejelas jelasnya kenangan tentang kita yang selalu memenuhi otak ku.
Lihat, aku membayangkan kamu sedang duduk di ujung tempat tidur di kamar ini sambil mengoceh panjang lebar tentang bagaimana sukanya kamu dengan tempat ini dan akan berniat mengunjungi tempat ini setiap tiga bulan.
Udaranya, langitnya, pantainya, airnya yang biru dan pasirnya yang putih membuat kamu selalu jatuh cinta dengan semua ini. dan karena kamu, aku juga mencintai tempat ini.
Bukan kali pertama kita mendatangi tempat seperti ini Lang, tapi tetap saja rentetan kekaguman mu terhadap tempat seperti ini tidak akan pernah ada habisnya.
Dulu, enam tahun lalu, saat kita masih duduk di bangku kuliah semester lima.
***
"Ih, bibir kamu kenapa lebam gitu?" Aku mengernyitkan kening, memandangi Elang yang baru saja masuk kedalam kelas dengan buru-buru. Dia khawatir si Madam sebutan untuk dosen mata kuliah akuntansi keuangan yang terkenal killer, namun sok jadi primadona, yang juga baru masuk ke kelas ini menyadari kalau ada mahasiswa nya datang lebih telat darinya.
Setelah duduk cukup santai, Elang menoleh ke kiri, ke arahku yang duduk tepat disebelah nya, lalu nyengir. Sebuah senyuman jenaka yang ku tahu persis bukan waktu yang tepat untuk menunjukkan senyum manis model iklan pasta gigi.
"Berantem sama Kakak lagi?" tanyaku pelan, nyaris berdesis.
"Hidup gue nggak akan sempurna kalau sehari nggak berantem sama tuh orang, kan dia saudara satu-satunya yang gue punya".
Aku menyandarkan tubuhku di sandaran kursi yang kududuki. "Kenapa sih kalian nggak bisa akur?"
"Karena kakak gue nggak suka sama gue dan nyokap gue", jawab Elang dengan santai, bahkan sangat amat santai.
Oke, aku rasa tidak perlu membahas lebih lanjut. Karena aku sudah tahu bagaimana cerita keluarga Elang yang kacau.
Sepertinya aku terlalu frontal bila berkata seperti itu, tapi begitulah keadaannya.
Dulu, sebelum aku masuk kuliah dan berteman dengan Elang, kupikir cerita-cerita tentang keretakan keluarga yang benar-benar rumit hanya ada di dalam film. Atau, mungkin dalam sinetron. Entahlah, jangan tanya tentang hal itu karena aku benar-benar buta sinetron yang ada di Tv. Bukannya aku tidak suka, hanya saja, jumlah episodenya yang sanggup melebihi jumlah hari dalam setahun itu bisa membuatku frustasi. Karena tahu lah ya bagaimana pak sutradara dan pak produser Indonesia kalau bikin film dan ternyata banyak yang suka pasti gak akan secepat itu Ferguson selesainya kek nya nunggu hidayah dulu baru the and.
Kembali ke topik Elang.
Tidak lama setelah duduk, dia menoleh dan mengambil pulpen hitam yang sedang kupakai menulis. Dia tersenyum jail, lalu memandangi ku penuh arti, dia mengajakku bolos mata kuliah jam kedua. Katanya, dia minta ditemani makan di jalan Pelajar yang tidak jauh dari sekolah SMA kompleks Surabaya.
Perutku memang sedang lapar, apalagi aku sedang tidak mood mengikuti kelas akuntansi keuangan. Ya mau gimana? Masuk di jurusan ku sekarang bukanlah keinginan ku, melainkan keinginan kedua orang tua ku. sudahlah, aku tak ingin membahas hak itu.
Jadi, saat Elang mengajakku bolos, sebenarnya dia memang tidak ingin makan, itu cuma sebuah alasan agar aku bisa menemani nya duduk duduk dan ngobrol ngalor ngidul meskipun aku sejujurnya tidak tahu apa yang dia bicarakan.
Dia meminum es teh berukuran jumbo dan meneguk nya lalu menghisap rokok begitu terus. Aku sampai mengerutkan dahi melihat kelakuannya yang tergolong up normal.
"Lo lagi ada masalah ya?" tanyaku kepadanya.
tapi tidak ada jawaban, sepertinya memang ada yang tidak beres dengan Elang. Berulang kali aku memperhatikan bibir bawahnya yang lebam. Disalah satu sudutnya, bahkan ada darah kering. Separah apa kali ini dia ribut dengan kakaknya? Aku terus berpikir.
Elang memang sering berkelahi dengan kakaknya itu. kenyataan kalau Elang adalah anak dari istri kedua Wijaya, papa Elang, membuat kakak tirinya itu selalu membenci Elang. Bagi kak Seto, kakak tiri Elang, wanita bernama Sarah itu telah membuat kedua orang tuanya bercerai sampai akhirnya ibu kandung kak Seto sering sakit-sakitan, lalu meninggal dunia. itulah sebabnya, Seto sangat membenci Elang karena Sarah telah merebut posisi Mama Seto.