Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Percakapan tengah terjadi di dalam ruang tamu sebuah rumah mewah. Di mana atmosfer dalam ruangan itu terasa sangat mencekam, membuat seorang wanita yang sejak tadi duduk diam terlihat sangat gelisah di tempat duduknya.
‘Kapan selesainya ini?’ batin Laila, menghela napas pelan berharap agar dua orang tuanya mendengar hal tersebut.
“Kamu dengar enggak apa yang Papa dan Mama bilang, Lisa?” Wanita paruh baya dengan rambut disanggul itu menatap penuh tanya pada putri pertamanya yang kini menunduk menatap lantai.
Lisa mendongak, lalu mengangguk. “Iya, Ma. Lisa dengar kok,” jawabnya pelan.
Pasangan paruh baya itu menyipitkan mata, lalu menggeleng lelah. Seperti biasa, anak pertama mereka itu pasti akan menjawab seperti itu. Namun, nyatanya hal tersebut akan terlupakan begitu saja hingga mau tak mau mereka mengulangi kata-kata itu setiap pagi di ruang tamu setelah sarapan.
“Kamu jawab begini, malah buat Papa dan Mama ragu, Lisa.” Pria paruh baya itu angkat bicara. Memijit pelan keningnya yang terasa berdenyut.
Apa begitu sulit untuk membicarakan soal pernikahan dengan putri pertamanya itu? Padahal usia Lisa sudah sangat matang untuk menikah. Mereka juga ingin menimang cucu seperti orang tua pada umumnya, tapi sepertinya Putri mereka masih tak mau memulai hubungan serius dengan pria lain. Walau mereka bersedia untuk mencari pria baik yang sesuai dengan kriteria.
Suit! Suit!
Tubuh Laila tersentak kala mendengar suara itu. Lantas itu menoleh, menaikkan sebelah alisnya menatap Sang Kakak yang kini memberi kode agar dirinya angkat bicara.
“Pa, Ma.” Panggil Laila kini bangkit dari duduknya.
Pasangan paruh baya itu sontak menoleh menatap putri kedua mereka yang kini terlihat berniat untuk pergi dari ruang tamu.
“Aku pergi kerja dulu, ya. Udah telat banget, nih.” Ucap Laila dengan cengiran di bibirnya.
“Oh, baiklah. Hati-hati di jalan, Sayang.” Ucap Sang Ibu.
Laila tersenyum lembut, sedikit membungkuk mencium pipi kedua orang tuanya sebelum berlari kecil keluar dari rumah.
“Kalau gitu, Lisa juga pamit pergi kerja.” Lisa beranjak dari duduknya, mencium pipi kedua orang tuanya tanpa permisi dan segera menyusul adiknya keluar dari rumah mewah itu.
Pasangan paruh baya itu bertukar pandang satu sama lain. Menatap lama ke arah pintu utama kediaman tersebut.
“Ha’ah! Sepertinya kita harus mencoba lain kali saja, Ma. Percuma saja membicarakan hal ini setiap pagi sedang Lisa tak juga berniat untuk serius dengan pria manapun.”
Sang Istri mengangguk membenarkan ucapan suaminya, “iya, Pa. Tapi ... sampai kapan kita menunggu? Mama ingin menggendong Cucu, Pa.” Lirihnya.
Pria paruh baya itu kembali menghela napas pelan.
‘Ya Tuhan, kami ingin menggendong Cucu.’ Batinnya berdoa.
***
Sebuah taksi berhenti tepat di depan bangunan pencakar langit 50 lantai. Sosok wanita bergegas keluar setelah membayar, berlari kecil untuk segera masuk ke lobi utama perusahaan tempat ia bekerja.
Dia Laila Grenia, putri kedua dari keluarga Grenia. Wanita cantik nan ayu yang kini berusia 23 tahun. Sifat ceria dan mudah berbaur dengan orang sekitarnya, membuat dirinya memiliki banyak teman di perusahaan tempatnya bekerja.
Walau keluarganya memiliki perusahaan kosmetik yang begitu besar dan telah mendirikan cabang di beberapa Negara, tetapi hal itu tak membuat Laila menjadi sombong atau memiliki niat untuk mengambil alih perusahaan tersebut. Laila lebih memilih bekerja di perusahaan lain, menjadi karyawan biasa dan membiarkan kakaknya yang mengurus perusahaan keluarga.
Laila tersenyum membalas beberapa rekannya yang menyapa di lobi. Wanita itu terus melangkah mendekati lift untuk naik ke lantai lima, letak ruangannya berada.
Dengan napas memburu Laila menyandarkan punggungnya pada dinding dalam lift, mencoba mengatur deru napasnya yang tersengal-sengal setelah memencet tombol lift.
‘Kak Lisa kalau mau diceramahin, harusnya enggak usah ngajak-ngajak aku. Kalau kayak gini ‘kan aku juga yang susah,' batin Laila masih mencoba menstabilkan napasnya.
‘Untung aja enggak telat,' lanjutnya.
Ting!
Perlahan Laila melangkah keluar dengan senyum cerah di bibirnya. Berjalan dengan begitu santai tanpa menyadari jika sepasang mata tengah menatapnya dari kejauhan.
“Selamat pagi semuanya,” sapa Laila sesaat setelah membuka pintu ruangan bagian marketing divisi tempatnya.
“Selamat pagi juga, Laila.” Sapa para karyawan di dalam ruangan itu serentak.