Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Hello, My Husband

Hello, My Husband

caturrini1005

5.0
Komentar
1.6K
Penayangan
103
Bab

"Jika sebatas tanggung jawab, cukupkan hanya sebatas ini. Jangan menuntut banyak hal, jika seperti itu, kamu akan terlihat benar-benar mengkhawatirkanku." "Bukankah kamu keterlaluan?" Dia bangkit, tak berselang lama derap langkah menjauh terdengar. "Kenapa kamu kembali?" tanyaku saat derit pintu mengalun nyaring. "Kamu, tak ingin aku kembali?" Dia bertanya balik. "Apa ... sudah saatnya kita berpisah?" Tak ada jawaban, hanya helaan napas yang disusul suara pintu ditutup rapat. Kuremas ujung piyama yang kukenakan, apa sekarang saatnya?

Bab 1 Mimpi itu datang lagi

"Ravis, jangan!" Aku berteriak pada pemuda yang berdiri pada pinggiran pembatas gedung bertingkat.

Dia menoleh, melihatku dengan senyuman terkembang di bibirnya yang tipis.

"Semua akan baik-baik saja kan, Ra?" Dia menatap sendu, membuat hatiku tersayat sembilu. Dai tidak boleh seperti ini, aku tidak bisa melihatnya begini.

"Aku mohon, turunlah." Suaraku bergetar, melipat kaki, bersimpuh padanya dengan tangan mengatup di dada. Entah sudah berapa tetes air mata yang kukeluarkan dari peraduan, dia membuatku menangis sesenggukan. Sahabat macam apa aku ini hingga tak tahu bahwa dia menderita, dan tak kuat lagi menerima semuanya.

Jarak kami sekitar lima meter, jika aku bergegas menghampirinya, menarik tangannya untuk turun, apakah bisa?

"Kalau aku mati, semua akan baik-baik aja kan, Ra?" Pemuda berseragam SMA itu tak henti-hentinya menitikkan air mata.

"Ayah pasti akan berbuat baik pada ibu kan, Ra?" lanjutnya semakin menambah genangan air bening di pelupuk mataku, mengaburkan pandangan.

"Ravis, aku mohon jangan pernah berkata seperti itu." Sungguh, ingin kudekap pemuda itu, menguatkan jiwanya, dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Ya, semua akan baik-baik saja sesuai inginmu.

"Ayah ... apa beliau akan kehilangan jika aku tiada?" Aku tak sanggup lagi membendung air mata mendengar perkataannya barusan. Melihat penampilannya yang berantakan, wajah babak belurnya, dan hem putih bertuliskan OSIS di saku dipenuhi darah sudah membuat hatiku teriris, nyeri dan panas.

Usia kami baru delapan belas tahun, kami bahkan baru mendapatkan secarik kertas tanda kelulusan. Entah apa yang ayah Ravis lakukan, hingga dia menjadi seperti ini. Aku tahu, beliau memang dikenal galak dan bertempramen buruk, ditambah suka sekali dengan minuman beralkohol, tetapi memukul anak sendiri bukanlah suatu kewajaran.

Pemuda bertubuh jangkung itu kembali melihat depan. "Ra ...." panggilnya membuat gemuruh dalam dada ini semakin kencang.

Aku menyusut hidung, tangan mengusap kasar pipi dan mata yang basah. "Ya, Vis," sahutku singkat.

"Aku titip ibu."

"Nggak! Itu ibumu, kamu yang harus merawatnya!"

"Bahagiakan beliau."

"Nggak! Yang seharusnya berbakti padanya itu kamu! Bukan aku!" teriakku semakin frustasi.

"Aku percaya padamu." Sontak aku berdiri saat pemuda itu membiarkan dirinya jatuh ke depan. Dia bukan burung, dia tak memiliki sayap, dia tak bisa terbang, bagaimana dia bisa menghindari aspal di bawah sana.

"Ravis ...!" Aku menjerit sekencang-kencangnya, gegas menghampiri dia yang sudah tak terlihat. Aku melongok ke bawah, di sana sudah ada raga tengkurap tak bergerak. Beberapa orang mulai mendekatinya. Mereka hanya melihat, tanpa mau menyentuh untuk sekedar memastikan bahwa dia masih bernapas.

Siapapun tolong selamatkan dia. Tolong, pastikan bahwa dia akan baik-baik saja. Aku mohon ....

Gegas aku berlari menuju tangga, menuruninya secepat yang aku bisa, satu persatu, ingin segera menemui Ravis ---sahabat karibku-- yang tergeletak tak berdaya, bersimbah darah. Sempat terpeleset dan hampir terpelanting, untung saja dengan sigap tangan memegang pinggiran tangga dan berpegang kuat.

"Ravis ....!" Kupanggil sahabatku sekuat tenaga, tetapi dia diam saja. Bibirnya terbuka, tanpa ada suara. Darah segar mengalir dari sana.

"Ravis ....!" Aku tak bisa mengendalikan kesedihanku. Perlahan tanganku menyentuh wajahnya yang mulai dingin, membelai pipi lanjut mengusap rambut cepaknya. Baju putihnya kini tersamarkan, hampir berubah merah seluruhnya.

'Ravis, bangunlah. Ravis, bangunlah,' aku bergumam seraya menggoyang-goyangkan lengannya.

"Ravis ...!" Seketika aku terduduk, tangan terulur menggenggam udara.

"Ravis ..." Aku celingukan, ini kamarku bagaimana bisa aku di sini? Segera kusingkap selimut yang menutup sebagian tubuhku, menurunkan kedua kaki dari ranjang. Namun, saat aku berdiri kaki yang bertugas sebagai pijakan bergetar, aku jatuh, terperosok di lantai. Napasku tersengal-sengal, air mata pun urung terhenti.

"Ravis ...." raungku memanggil nama pemuda yang tak terlihat di sini. Selalu saja begini, mimpi buruk yang menghantuiku beberapa tahun ke belakang.

"Rara ... Rara, kamu kenapa?" Seseorang memegang tanganku.

"Se-la-matkan dia," kataku tersendat, menatap kosong awang-awang.

"Siapa?" Bariton itu menyentak.

"Dia ...." Tanganku menunjuk ke depan. "Ravis ...." Seketika, pria itu menarikku ke dalam dadanya, merangkul erat.

"Tenangkan dirimu." Usapan lembut di punggungku malah membuat tangisku semakin pecah. Aku tergugu, meremas lengan besar yang memeluk kuat.

"Lepaskanlah semua, kamu akan merasa lebih baik," katanya mengalun lembut. Rasa bersalah saat tak bisa menyelamatkan, membuatku terus-terusan dirundung penyesalan.

Ini tak adil, seharusnya dia pun turut merasakan apa yang kini aku rasakan. Dia pun ada di sana saat itu, tapi kenapa hanya aku yang terus mengingatnya? Ini benar-benar tak adil.

Dia ... orang itu ialah Giandra, pria yang kini tengah menenangkanku di pelukannya. Sosok yang sangat aku benci, dan juga membenciku secara bersamaan.

Dia kembali, pria berbadan tinggi, tegap, itu kembali, setelah meninggalkanku satu tahun lamanya, pergi tepat setelah ijab qobul terlaksana. Ya, dialah suamiku, sekaligus musuh, dan juga mantan sahabat. Rumit bukan? Serumit kisah kami bermula.

Pria jahat yang enggan kuingat wajahnya, enggan kuingat suaranya, enggan kuingat namanya. Namun, sekuat aku melupakan, siluetnya tetap terbayang, menari-nari dalam angan.

Aku menarik napas panjang, sesenggukan masih terdengar walau tak sekeras sebelumnya. Wajahku masih basah, meski air mata sudah tak lagi ada. Aku sudah mulai tenang, biarpun hati masih terasa ada yang kurang.

Perlahan, tangan besar pria itu mengangkat tubuhku dan membaringkannya di atas peraduan.

"Kamu mimpi buruk?" tanyanya mendudukan dirinya di pinggiran ranjang, sebelahku.

Diam, aku lebih memilih menutup mulut rapat-rapat. Memiringkan badan, membelakanginya.

"Jangan salah paham, aku bersikap begini bukan karena khawatir. Melainkan tanggung jawabku sebagai seorang suami," katanya membuatku menaikkan sebelah bibir. Hah! Tanggung jawab? Suami? Yang benar saja! Kenapa baru sekarang dia mengatakan itu? Dari setahun lalu ke mana aja?

Kita memang dijodohkan, tapi tak seharusnya aku ditelantarkan. Kita memang sepakat untuk tak saling mengenal, tapi tak seharusnya aku dibiarkan tanpa perhatian.

Ah, apa sih yang bisa aku harapkan pada pria dingin tak punya hati seperti dia?

"Kamu sering seperti ini?" tanyanya lagi membuatku membuang napas panjang.

'Enggak, jarang, tapi terus berulang setiap tahunnya,' ucapku yang hanya terlontar dalam hati. Tentu saja, aku lebih memilih bungkam daripada memberi jawaban yang pastinya tak ingin dia dengar. Hentikanlah basa-basimu.

"Kalau ada yang tanya, jawab!" Suaranya mulai meninggi.

"Jika sebatas tanggung jawab, cukupkan hanya sebatas ini. Jangan menuntut banyak hal, jika seperti itu, kamu akan terlihat benar-benar mengkhawatirkanku."

"Bukankah kamu keterlaluan?" Dia bangkit, tak berselang lama derap langkah menjauh terdengar.

"Kenapa kamu kembali?" tanyaku saat derit pintu mengalun nyaring.

"Kamu, tak ingin aku kembali?" Dia bertanya balik.

"Apa ... sudah saatnya kita berpisah?" Tak ada jawaban, hanya helaan napas yang disusul suara pintu ditutup rapat.

Kuremas ujung piyama yang kukenakan, apa sekarang saatnya?

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh caturrini1005

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku