Hello, My Husband
da pemuda yang berdiri pada pingg
engan senyuman terkemban
endu, membuat hatiku tersayat sembilu. Dai tidak b
a. Entah sudah berapa tetes air mata yang kukeluarkan dari peraduan, dia membuatku menangis sesengguka
aku bergegas menghampirinya, menarik
ja kan, Ra?" Pemuda berseragam SMA itu
?" lanjutnya semakin menambah genangan air ben
n kudekap pemuda itu, menguatkan jiwanya, dan mengatakan bahwa semu
endengar perkataannya barusan. Melihat penampilannya yang berantakan, wajah babak belurnya, dan
ng ayah Ravis lakukan, hingga dia menjadi seperti ini. Aku tahu, beliau memang dikenal galak dan bertempramen
ihat depan. "Ra ...." panggilnya membuat
usap kasar pipi dan mata yang ba
titip
u, kamu yang har
akan be
ti padanya itu kamu! Bukan aku
irinya jatuh ke depan. Dia bukan burung, dia tak memiliki sayap, dia
u melongok ke bawah, di sana sudah ada raga tengkurap tak bergerak. Beberapa orang mulai mendekat
Tolong, pastikan bahwa dia aka
mui Ravis ---sahabat karibku-- yang tergeletak tak berdaya, bersimbah darah. Sempat terpeleset dan
ga, tetapi dia diam saja. Bibirnya terbuka, t
enyentuh wajahnya yang mulai dingin, membelai pipi lanjut mengusap rambut
unlah,' aku bergumam seraya me
ku terduduk, tangan ter
sebagian tubuhku, menurunkan kedua kaki dari ranjang. Namun, saat aku berdiri kaki yang bertugas sebagai
ak terlihat di sini. Selalu saja begini, mimpi bu
u kenapa?" Seseoran
taku tersendat, menata
ariton itu
"Ravis ...." Seketika, pria itu menar
u malah membuat tangisku semakin pecah. Aku te
nya mengalun lembut. Rasa bersalah saat tak bisa menye
ini aku rasakan. Dia pun ada di sana saat itu, tapi kenapa
ngah menenangkanku di pelukannya. Sosok yang sanga
u tahun lamanya, pergi tepat setelah ijab qobul terlaksana. Ya, dialah suamiku, s
uaranya, enggan kuingat namanya. Namun, sekuat aku melupa
ras sebelumnya. Wajahku masih basah, meski air mata sudah tak lagi ad
tu mengangkat tubuhku dan mem
a mendudukan dirinya di pin
up mulut rapat-rapat. Memirin
sebagai seorang suami," katanya membuatku menaikkan sebelah bibir. Hah! Tanggung jawab? Sua
antarkan. Kita memang sepakat untuk tak saling mengen
harapkan pada pria dingin
" tanyanya lagi membuatku
terlontar dalam hati. Tentu saja, aku lebih memilih bungkam daripada memb
nya, jawab!" Suara
s ini. Jangan menuntut banyak hal, jika seperti itu
a bangkit, tak berselang lama d
tanyaku saat derit pi
aku kembali?" Dia
Tak ada jawaban, hanya helaan napas y
a yang kukenakan, a