Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
73
Penayangan
3
Bab

Larasati adalah seorang wanita muda yang cerdas, emosional dan menyukai kebebasan. Sayangnya, di usianya yang baru berusia 23 tahun, ia sudah menjadi seorang janda. Pernikahannya dengan Kanugrahan hanya bertahan selama dua tahun meski lelaki itu sangat baik dan begitu menyayanginya. Mereka menikah terlalu muda karena desakan orangtua Kanugrahan yang tak ingin hubungan keduanya terjerumus dalam pergaulan bebas. Di samping itu, meskipun saling mencintai, keduanya memang belum sungguh-sungguh siap untuk memasuki dunia pernikahan. Namun siapa sangka, tiga tahun setelah perceraian itu mereka bertemu kembali. Akankah kali ini mereka dapat merangkai kisah yang lebih baik dan kembali menikah? Ataukah pertemuan ini hanyalah sebuah rangkaian alur Semesta yang hanya harus dilewati?

Bab 1 Prolog

Laras berjalan cepat-cepat menyusuri trotoar di sepanjang jalan Kayutangan. Sudah pukul empat lebih dua belas menit. Ia sudah terlambat. Seseorang saat ini tengah menunggunya di kedai kopi di ujung jalan ini.

Sore yang cerah dan udara yang hangat. Laras merasa salah kostum. Ia menyesal memilih untuk mengenakan blazer suede cokelat dan syal ini. Sempat terpikir untuk melepasnya dan mengenakan tank top saja. Tapi kemudian ia urungkan, "Ini Malang, bukan Paris." Pastilah pemuda-pemuda usil akan memberikan siulannya kalau ia nekat.

Ia merasakan sebuah ketidakadilan dalam hal ini. Di kota tempatnya tumbuh dewasa ini sudah banyak turis macanegara yang datang dan berjalan-jalan dengan pakaian-pakaian yang mini, hampir seperti di Bali. Namun anehnya tak ada yang peduli dan mengganggu turis-turis berkulit pucat itu. Lain ceritanya jika yang berpenampilan seperti itu adalah orang Indonesia sendiri. Tatapan dan siulan nakal tentulah sudah dihadiahkan secara cuma-cuma.

Kemarin saja, ketika ia pergi sebentar untuk berbelanja ke minimarket hanya menggunakan celana pendek dan kaos, tetangga rumahnya menatapnya dengan canggung. Tersenyum ramah dan menyapa, memang. Namun jelas tatapan matanya memandang dengan tatapan penuh penghakiman.

Ketika Laras menceritakan hal tersebut pada ibunya, ibu hanya berkata, "yah... Dunia ini tidak mungkin berjalan sesuai maumu terus, Nduk."

Laras kesal, namun tak urung ia memilih diam.

Tit... tit... tit...

Ponselnya berbunyi.

Laras cepat-cepat membuka pesan singkat yang masuk.

"Masih lama? Mau kupesankan dulu?" bunyi pesan itu.

Dengan cepat Laras membalasnya, "Sepuluh menit lagi sampai. Maaf terlambat, aku jalan kaki dari galeri. Boleh, long black iced. Thanks."

Laras terus berjalan menyusuri trotoar sore itu. Sesekali matanya memandang sekeliling dengan takjub. Baru tiga tahun, namun segalanya berubah demikian cepat. Gedung-gedung bergaya modern telah banyak menghilangkan wajah klasik jalan ini. Volume kendaraan yang semakin padat. Udara segar yang semakin hilang. Tiba-tiba hati Laras merasa sedih.

Laras semakin mempercepat langkah kakinya, tak sabar untuk melepas blazer suede-nya dan meneguk sesuatu yang segar.

Laras mendorong pintu kayu jati berornamen kaca. Dingin hembusan AC segera membelai wajah dan lehernya yang basah oleh keringat. Tak menunggu lama lagi, ia segera melepas blazer dan syalnya. Aaahhh... lega sekali, batinnya.

Ia berjalan melewati meja-meja yang penuh dengan pengunjung, mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.

Dari sebuah sudut, tampak seseorang melambaikan tangan pada dirinya. Ah, itu dia.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Agni Navia

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku