Ketika Laila Grenia dihadapkan dengan pilihan sulit antara menikah atau mati di tangan seorang pria Arogan nan pemaksa bernama Leonard Frans Lion. Sosok Direktur di perusahaan tempat ia bekerja. "Dipecat atau jadi istriku?" tanya Leonard membuat Laila merinding. "Maaf, tapi Anda tidak bisa memaksa kehendak Anda pada orang lain. Lagi pula, pilihan seperti apa itu?" Laila balik bertanya dengan berani. Meninggikan suaranya yang bergetar pada pria di hadapannya itu. "Oke, kita menikah besok." Leonard berbalik pergi meninggalkan Laila yang diam berdiri dengan mata terbelalak. "What?!"
Percakapan tengah terjadi di dalam ruang tamu sebuah rumah mewah. Di mana atmosfer dalam ruangan itu terasa sangat mencekam, membuat seorang wanita yang sejak tadi duduk diam terlihat sangat gelisah di tempat duduknya.
'Kapan selesainya ini?' batin Laila, menghela napas pelan berharap agar dua orang tuanya mendengar hal tersebut.
"Kamu dengar enggak apa yang Papa dan Mama bilang, Lisa?" Wanita paruh baya dengan rambut disanggul itu menatap penuh tanya pada putri pertamanya yang kini menunduk menatap lantai.
Lisa mendongak, lalu mengangguk. "Iya, Ma. Lisa dengar kok," jawabnya pelan.
Pasangan paruh baya itu menyipitkan mata, lalu menggeleng lelah. Seperti biasa, anak pertama mereka itu pasti akan menjawab seperti itu. Namun, nyatanya hal tersebut akan terlupakan begitu saja hingga mau tak mau mereka mengulangi kata-kata itu setiap pagi di ruang tamu setelah sarapan.
"Kamu jawab begini, malah buat Papa dan Mama ragu, Lisa." Pria paruh baya itu angkat bicara. Memijit pelan keningnya yang terasa berdenyut.
Apa begitu sulit untuk membicarakan soal pernikahan dengan putri pertamanya itu? Padahal usia Lisa sudah sangat matang untuk menikah. Mereka juga ingin menimang cucu seperti orang tua pada umumnya, tapi sepertinya Putri mereka masih tak mau memulai hubungan serius dengan pria lain. Walau mereka bersedia untuk mencari pria baik yang sesuai dengan kriteria.
Suit! Suit!
Tubuh Laila tersentak kala mendengar suara itu. Lantas itu menoleh, menaikkan sebelah alisnya menatap Sang Kakak yang kini memberi kode agar dirinya angkat bicara.
"Pa, Ma." Panggil Laila kini bangkit dari duduknya.
Pasangan paruh baya itu sontak menoleh menatap putri kedua mereka yang kini terlihat berniat untuk pergi dari ruang tamu.
"Aku pergi kerja dulu, ya. Udah telat banget, nih." Ucap Laila dengan cengiran di bibirnya.
"Oh, baiklah. Hati-hati di jalan, Sayang." Ucap Sang Ibu.
Laila tersenyum lembut, sedikit membungkuk mencium pipi kedua orang tuanya sebelum berlari kecil keluar dari rumah.
"Kalau gitu, Lisa juga pamit pergi kerja." Lisa beranjak dari duduknya, mencium pipi kedua orang tuanya tanpa permisi dan segera menyusul adiknya keluar dari rumah mewah itu.
Pasangan paruh baya itu bertukar pandang satu sama lain. Menatap lama ke arah pintu utama kediaman tersebut.
"Ha'ah! Sepertinya kita harus mencoba lain kali saja, Ma. Percuma saja membicarakan hal ini setiap pagi sedang Lisa tak juga berniat untuk serius dengan pria manapun."
Sang Istri mengangguk membenarkan ucapan suaminya, "iya, Pa. Tapi ... sampai kapan kita menunggu? Mama ingin menggendong Cucu, Pa." Lirihnya.
Pria paruh baya itu kembali menghela napas pelan.
'Ya Tuhan, kami ingin menggendong Cucu.' Batinnya berdoa.
***
Sebuah taksi berhenti tepat di depan bangunan pencakar langit 50 lantai. Sosok wanita bergegas keluar setelah membayar, berlari kecil untuk segera masuk ke lobi utama perusahaan tempat ia bekerja.
Dia Laila Grenia, putri kedua dari keluarga Grenia. Wanita cantik nan ayu yang kini berusia 23 tahun. Sifat ceria dan mudah berbaur dengan orang sekitarnya, membuat dirinya memiliki banyak teman di perusahaan tempatnya bekerja.
Walau keluarganya memiliki perusahaan kosmetik yang begitu besar dan telah mendirikan cabang di beberapa Negara, tetapi hal itu tak membuat Laila menjadi sombong atau memiliki niat untuk mengambil alih perusahaan tersebut. Laila lebih memilih bekerja di perusahaan lain, menjadi karyawan biasa dan membiarkan kakaknya yang mengurus perusahaan keluarga.
Laila tersenyum membalas beberapa rekannya yang menyapa di lobi. Wanita itu terus melangkah mendekati lift untuk naik ke lantai lima, letak ruangannya berada.
Dengan napas memburu Laila menyandarkan punggungnya pada dinding dalam lift, mencoba mengatur deru napasnya yang tersengal-sengal setelah memencet tombol lift.
'Kak Lisa kalau mau diceramahin, harusnya enggak usah ngajak-ngajak aku. Kalau kayak gini 'kan aku juga yang susah,' batin Laila masih mencoba menstabilkan napasnya.
'Untung aja enggak telat,' lanjutnya.
Ting!
Perlahan Laila melangkah keluar dengan senyum cerah di bibirnya. Berjalan dengan begitu santai tanpa menyadari jika sepasang mata tengah menatapnya dari kejauhan.
"Selamat pagi semuanya," sapa Laila sesaat setelah membuka pintu ruangan bagian marketing divisi tempatnya.
"Selamat pagi juga, Laila." Sapa para karyawan di dalam ruangan itu serentak.
Laila masuk dan menutup pintu perlahan, berbaur sambil bercanda dengan rekannya.
Sedang dari kejauhan, sosok pria jangkung dengan setelan jas rapinya masih setia berdiri menatap dalam diam pada pintu yang kini tertutup rapat.
"Tuan."
Pria itu tersentak, lantas menoleh ke samping di mana pria berkacamata dengan setelan jas rapi menatapnya dalam diam.
"Sudah saatnya untuk naik ke ruangan Anda dan mengurus beberapa hal yang tertunda. Bukankah malam ini Anda harus menghadiri acara keluarga?" tanya pria berkacamata itu.
Seketika helaan napas malas terdengar keluar dari bibir pria jangkung itu. Terlihat tak suka akan kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Sekretarisnya.
Dengan malas sosok jangkung itu melangkahkan kakinya mendekati lift, berniat untuk bergegas menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda.
Pukul 12:30 siang waktu setempat.
Jam makan siang telah tiba, Laila dengan tergesa-gesa menyusun lembaran kertas penting yang berserakan di mejanya, kemudian ia beranjak dan keluar untuk segera makan siang bersama rekan kerjanya yang lain.
Wanita itu bersiul riah menghampiri lift yang akan membawanya ke lantai dasar. Tanpa peduli pada sekitar ia memasuki lift, memencet tombol lift dengan senyum yang masih terlihat.
Ting!
Laila melangkahkan kakinya, tersenyum menyapa beberapa rekannya di lobi.
'Makan siang! Makan siang! Makan siang!' seru riah Laila dalam hatinya, tak sabar menyantap makan siang yang disediakan di kantin perusahaan.
Hal yang membuat ia betah bekerja di perusahaan Lion Company salah satunya adalah makanan di kantin, setelah rekan kerja yang ramah.
Beberapa menit kemudian.
Kini Laila terlihat tengah duduk di antara para karyawan wanita. Terdengar bergosip riah tentang sosok Bos mereka di perusahaan itu.
"Aku dengar katanya keluarga Frans ingin melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat ini." Ucap Rina Amelia, karyawan wanita yang bekerja di bagian marketing seperti Laila.
"Eh, Frans? Bukankah itu keluarga Pak Leonard?"
Rina mengangguk antusias membenarkan sahutan wanita di sampingnya.
"Wah, benarkah? Siapa yang ingin menikah? Apa mungkin Pak Leonard?" tanyanya lagi.
"Ah, aku akan patah hati jika itu terjadi." Sahut Rina terlihat kecewa dengan mulutnya yang masih mengunyah makanan.
Sedang Laila terlihat acuh tak acuh dengan hal tersebut. Menyantap makanannya seakan hal itu bukanlah apa-apa baginya, walau yang dibahas adalah bos di perusahaannya sendiri.
Suara kegaduhan terdengar di belakang Laila, tetapi tak membuat wanita itu mengalihkan pandangannya. Meski Rina sudah menendang kakinya tanpa henti di bawah meja.
"Apa sih, Rin?" sentak Laila yang kini terlihat kesal dengan tingkah sahabatnya.
Rina tak menjawab, justru terus memberi isyarat mata pada Laila agar berbalik.
Kening Laila mengerut bingung melihat ekspresi aneh di wajah sahabatnya. Dengan berat hati, ia berbalik dan terkejut menatap sosok jangkung yang kini berdiri tepat di belakangnya dengan tatapan mengintimidasi tertuju pada dirinya.
"Ha-halo, Pak Leonard. Selamat siang," sapa Laila yang kini setengah membungkuk ke arah atasannya tersebut.
"Kita perlu berbicara."
Laila memiringkan kepalanya bingung, "ada apa, ya, Pak?" tanyanya menelan kasar ludahnya saat menyadari semua pasang mata di kantin kini tertuju pada mereka berdua.
"Kamu ingin saya mengatakannya di sini?" tanya pria itu dengan wajah datar.
Dengan ragu Laila mengangguk. Tiba-tiba firasatnya tidak enak.
"Menikah dengan saya." Ucap Leonard lantang.
"A-apa?"
Bab 1 Ajakan Menikah
23/01/2022