Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Mr. Right
5.0
Komentar
19.5K
Penayangan
32
Bab

21+ Angelina Bale tidak menyangka perkenalannya dengan Dean Carter menimbulkan masalah bagi persahabatannya dengan Raquel Scott. Namun cinta tidak bisa dipaksa kepada siapa akan jatuh. Apapun yang Angie pilih, cinta atau persahabatan, akan tetap melukai perasaan yang lain, dan bahkan menghancurkan hatinya sendiri.

Bab 1 Satu

Angelina Bale tidak ingat mengapa dan sejak kapan dia berada di tempat ini. Lorong sempit yang dilewatinya sunyi dan berwarna putih. Dia mempercepat langkah, ingin mencari tahu apa, atau siapa, yang menunggunya di ujung sana. Namun, kakinya terhalang sesuatu.

Dia menunduk dan mendapati ujung gaun panjang menutupi keseluruhan kaki-kakinya. Dia tidak bisa menemukan alasan mengapa dirinya memakai gaun. Bahkan berwarna merah muda dan dihiasi banyak renda dan pita.

Angie sedikit mengangkat gaunnya agar bisa lebih leluasa bergerak. Namun, meskipun rasanya sudah bermenit-menit berlari, dia belum juga mencapai ujung lorong. Napasnya terengah-engah dan kakinya sudah letih bergerak. Ketika dia akhirnya memutuskan untuk menyerah, indera pendengarannya menangkap alunan piano. Melodi lembut itu telah mengembalikan kekuatannya. Dan ajaibnya, dia berhasil mencapai ujung lorong hanya dalam beberapa langkah.

Ruangan di ujung lorong terlihat sangat menakjubkan. Segalanya tampak putih; kursi-kursi yang melingkari meja bundar, tirai-tirai di setiap sisi jendela, juga panggung di seberangnya. Bunga lili dan mawar putih menjadi penghias panggung dan altar di bagian tengahnya. Seorang pria berdiri membelakanginya di depan altar, dalam setelan tuxedo yang juga berwarna putih. Angie tidak bisa mengenali pemilik rambut ikal sewarna tembaga itu.

Suasana ini... apakah seorang kenalannya akan menikah?

Tiba-tiba pria itu menoleh, namun Angie tidak bisa melihat wajahnya yang diliputi sinar menyilaukan dari lampu sorot di atas panggung. Namun, tangan yang terbungkus lengan jas putih itu terulur, seolah-olah mengundang Angie untuk datang kepadanya.

Merasa heran namun tertarik oleh rasa penasaran, Angie berjalan perlahan menghampirinya. Jarak mereka semakin dekat. Angie menurunkan gaunnya agar bisa meraih tangan lebar yang terulur itu. Ujung jari-jarinya telah menempel di atas ujung jari-jari pria itu. Jantungnya berdebar sangat kencang hingga nyaris meledak saat mendongak, mencari tahu wajah pemilik badan tegap di depannya.

Bunyi dering memekakakkan telinga yang muncul secara mendadak membuat Angie terlonjak kaget.

Sejenak dia hanya mengerjap, kemudian matanya menangkap permukaan datar berwarna putih di depannya. Selama beberapa saat dia menatap bingung benda itu, yang ternyata merupakan langit-langit sebuah ruangan, flatnya. Tidak lama kemudian sebuah tawa pendek lolos dari bibirnya.

"Astaga, itu hanya mimpi," katanya setelah berhenti tertawa.

Angie menggulingkan badan ke samping, dia melirik jam persegi di seberang ranjang. Pukul dua belas lebih beberapa menit. Angie tidak bisa memastikan berapa kelebihannya. Yang pasti, jarum panjangnya yang berwarna hitam berada di antara angka satu dan angka dua.

Lantunan salah satu lagu grup band The Chainsmokers yang terdengar dari arah meja mengingatkan Angie alasan mengapa dirinya terbangun. Tangan kirinya menggapai ponsel dan membaca nama Raquel tercetak di layarnya. Seketika erangan tertahan keluar dari bibirnya. Jika saja si penelepon itu bukan teman terbaiknya, Angie akan memilih untuk melemparkan ponsel ke sofa dan menangkupkan bantal ke atas kepalanya seraya kembali berbaring.

Angie mengempaskan setengah badannya yang terduduk di atas tempat tidur. Bibirnya, yang berwarna merah muda alami, mendesah pelan setelah menyentuh tombol jawab.

"Yeah? Ada hal penting apa yang membuatmu menghubungiku sepagi ini?" dia bertanya tanpa basa-basi.

"Pagi? Astaga. Apakah jam dindingmu mati?" tanya Raquel bernada menyindir. Angie membayangkan Raquel memutar bola matanya yang berwarna abu-abu cerah.

"Nah, tidak. Tetapi aku baru tidur jam sembilan tadi. Jadi, sekarang ini masih dini hari menurutku," jawab Angie gagal menahan kuapnya.

Terdengar dengusan keras Raquel. "Seharusnya kau berhenti menulis cerita remaja konyol itu dan tidur dengan teratur."

"Jangan sebut konyol." Angie menguap lagi. "Kau pikir dari mana uang yang kuhabiskan selama menemani kau liburan akhir tahun lalu? Semuanya hasil dari cerita itu."

"Yeah, maaf. Aku tidak bermaksud mengatakannya dengan cara yang buruk." Ada nada penyesalan dalam suara Raquel meskipun Angie tidak sungguh-sungguh memarahinya.

"Aku tahu," kata Angie menjawab. Dan dia memang tahu bahwa Raquel sangat menyesali ucapannya. "Lalu, kau membangunkanku bukan hanya untuk menguliahiku tentang jam tidur ka~?" Angie gagal menyelesaikan kalimatnya karena tidak berhasil menahan kuapnya.

"Sebenarnya tidak. Aku ingin memberitahumu bahwa aku akan datang dan mengajakmu pergi. Aku segera sampai. Setengah satu. Tidak lebih, tidak kurang."

Angie mengerang. "Aku butuh tidur. Kau tahu sendiri terakhir kali aku memejamkan mata sudah lebih dari empat puluh jam yang lalu."

"Waktumu tidak tersisa banyak, sebaiknya cepatlah bersiap-siap. Aku janji kau tidak akan menyesali pergi denganku," kata Raquel seakan-akan tidak mendengar protes Angie. "Sampai ketemu sebentar lagi," lanjutnya lalu menutup telepon sebelum Angie sempat membantah.

Wanita itu mengumpat pelan meskipun sebenarnya ingin sekali memaki dan membanting ponsel. Namun, dirinya tidak ingin membuang tenaga untuk melakukan hal tidak berguna semacam itu.

Melirik penunjuk waktu di layar ponsel dan memastikan hanya memiliki sekitar lima belas menit untuk bersiap-siap, Angie turun dari tempat tidur. Bibirnya mendesah lagi saat menyeret kakinya menuju kamar mandi yang jaraknya tidak lebih dari sepuluh langkah.

Dalam lima belas menit, Angie berhasil mandi, menggosok gigi, memakai celana jeans dan sweter rajutan tangan berlengan tanggung mencapai siku, serta mengikat keseluruhan rambut sebahunya ke belakang. Menilik kantung matanya tidak tampak terlalu buruk meskipun dirinya hanya punya waktu tiga jam untuk tidur, Angie mengabaikan keberadaan koleksi alat rias, yang jumlahnya tidak banyak, di dalam keranjang. Lagipula dia sudah mendengar bunyi tin sebanyak dua kali yang dikenalinya sebagai bunyi klakson mobil kesayangan Raquel.

Angie meraih tas selempang seukuran novel dan kunci apartemen serta dompet di antara sekian banyak barang yang berantakan di atas meja. Beruntung kamarnya berada persis di samping tangga lantai dua, sehingga dia langsung menuruninya dengan melompati setiap dua anak tangga sekaligus sesudah memastikan pintunya terkunci rapat.

Raquel melambaikan tangan dari celah kaca jendela yang terbuka di samping kursi pengemudi ketika melihat Angie berjalan mendekat.

"Aku harap kau punya alasan yang pantas mengapa membangunkan aku," kata Angie memperingatkan seraya mengenyakkan diri di atas jok di sebelah Raquel.

Dia memasang sabuk pengaman sementara sahabatnya menjalankan mobil keluar dari area parkir sambil menyengir. Matanya memperhatikan sapuan riasan dan blus biru laut Raquel yang belum pernah dilihatnya sebelum ini. "Dan, omong-omong, kau terlihat cantik."

"Terima kasih. Aku baru membeli blus ini dua jam yang lalu. Bagaimana menurutmu?"

"Sangat cocok," kata Angie jujur. Sejak pertama kali mereka bertemu sekitar dua belas tahun yang lalu, Angie tidak pernah satu kali pun melihat sesuatu yang tidak terlihat bagus melekat di badan Raquel.

"Jadi kita akan ke mana?" tanyanya kemudian.

"Nanti kau juga tahu," jawab Raquel mengulas senyum misterius.

"Hentikan bersikap sok rahasia, Raquel. Katakan saja ke mana kau akan membawaku pergi?"

"Dasar. Kau sama sekali tidak bisa diajak bercanda."

Angie menaikkan alisnya dengan tatapan menunggu.

"Oke, oke." Raquel mendesah dengan nada menyerah. "Kita akan pergi makan pizza."

Bola mata Angelina Bale terbeliak. "Apa? Makan pizza? Jadi kau memaksaku bangun dan menculikku hanya untuk pizza?"

"Menculik? Aku bahkan tidak mengikat tangan dan kakimu."

"Well, yeah, mungkin tidak secara harfiah."

Raquel tertawa.

"Kelihatannya kau sadang senang. Aku rasa ini bukan sekadar makan pizza biasa," kata Angie menebak.

Tidak langsung menjawab, seringai Raquel melebar. "Bisa kau tebak kita pergi dengan siapa?" dia bertanya sambil memutar kemudi mobil ke arah kiri.

"Presiden?" balas Angie asal saja.

Bibir Raquel sedikit mengerut. "Bisakah kau menjawab dengan sesuatu yang masuk akal?"

Kepala Angie masih sedikit pusing akibat kurang tidur. Yang diinginkannya saat ini adalah ranjang nyaman untuknya merebahkan diri, bukan permainan tebak-tebakan ataupun seloyang pizza. Jadi, dia menggeleng.

"Ayolah."

"Aku sedang tidak ingin main tebak-tebakan."

"Astaga. Kau sama sekali tidak asyik."

Angie memutar bola matanya. "Katakan saja. Aku tahu sebenarnya kau sudah tidak tahan ingin segera memberitahuku."

"Well, jangan kaget. Kau akan bertemu Mr. Right!" seru Raquel tanpa berusaha menyembunyikan nada gembiranya kala menyampaikan informasi tersebut.

Spontan Angie memutar lehernya ke arah Raquel. "Maksudmu, aku akan mendengar berita bagus?"

Angie sangat tahu Raquel sedang tergila-gila pada seorang pria yang disebutnya Mr. Right selama tiga bulan belakangan ini. Dan Angie teringat Raquel berjanji akan memperkenalkan si Mr. Right itu padanya jika hubungan mereka mulai ada kemajuan. "Haruskah aku mengucapkan selamat tinggal pada status lajangmu?"

Tidak langsung menjawab, Raquel tertawa. "Tidak. Maksudku, belum. Kita hanya akan makan pizza bersama."

"Dan kenapa aku harus ikut?"

"Seperti yang pernah kuceritakan, dia sulit didekati dan selalu menolak ajakanku untuk makan. Dan akhirnya dia setuju. Dia bilang akan mengajak seorang teman dan memintaku melakukan hal yang sama."

"Anggap saja itu satu pertanda bagus."

"Yah, kuharap begitu. Kau tahu sendiri betapa susah aku mencoba mendekatinya. Padahal aku yakin aku sudah memberinya sinyal dengan sangat jelas."

Angie meringis. Dia sering mendengar usaha Raquel membuntuti-Raquel tidak ingin usahanya disebut sebagai kegiatan menguntit-Mr. Rightnya beberapa kali dengan muncul di kafe atau restoran yang sama dengan pria itu seolah-olah mereka hanya secara kebetulan bertemu.

"Tetapi... kenapa pizza?" tanya Angie tidak bisa mengerti alasan Raquel memilihnya.

"Jangan ingatkan aku. Aku terus menyesalinya sejak mengatakan itu kemarin. Seharusnya aku mengajak dia pergi ke tempat yang lebih privat. Makan malam dan minum wine akan bagus untuk mendekatkan hati kami berdua."

"Menurutku, makan pizza sebagai permulaan tidak buruk juga. Lagipula kita sudah sampai," kata Angie menambahkan saat melihat plang kedai pizza di kiri jalan.

"Yeah, kuharap kau benar."

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku