Mr. Right
g sempit yang dilewatinya sunyi dan berwarna putih. Dia mempercepat langkah, ingin menca
uhan kaki-kakinya. Dia tidak bisa menemukan alasan mengapa dirinya mem
jung lorong. Napasnya terengah-engah dan kakinya sudah letih bergerak. Ketika dia akhirnya memutuskan untuk menyerah, indera pendengarannya menang
jendela, juga panggung di seberangnya. Bunga lili dan mawar putih menjadi penghias panggung dan altar di bagian tengahnya. Seorang pria berdiri m
kah seorang kenala
sinar menyilaukan dari lampu sorot di atas panggung. Namun, tangan yang terbungkus
runkan gaunnya agar bisa meraih tangan lebar yang terulur itu. Ujung jari-jarinya telah menempel di atas ujung jari-jari pria i
nga yang muncul secara mendada
epannya. Selama beberapa saat dia menatap bingung benda itu, yang ternyata merupakan langit
impi," katanya setel
l dua belas lebih beberapa menit. Angie tidak bisa memastikan berapa kelebihannya. Yang
irinya menggapai ponsel dan membaca nama Raquel tercetak di layarnya. Seketika erangan tertahan keluar dari bibirnya. Jika saja si penelepon it
atas tempat tidur. Bibirnya, yang berwarna merah mud
membuatmu menghubungiku sepagi i
aquel bernada menyindir. Angie membayangkan Raquel
an tadi. Jadi, sekarang ini masih dini hari m
usnya kau berhenti menulis cerita remaj
dari mana uang yang kuhabiskan selama menemani kau lib
cara yang buruk." Ada nada penyesalan dalam suara Ra
ucapannya. "Lalu, kau membangunkanku bukan hanya untuk menguliahiku tentang jam tid
aku akan datang dan mengajakmu pergi. Aku segera
sendiri terakhir kali aku memejamkan mata
n menyesali pergi denganku," kata Raquel seakan-akan tidak mendengar protes Angie. "Sam
memaki dan membanting ponsel. Namun, dirinya tidak ingin m
as menit untuk bersiap-siap, Angie turun dari tempat tidur. Bibirnya mendesah lagi sa
t sebahunya ke belakang. Menilik kantung matanya tidak tampak terlalu buruk meskipun dirinya hanya punya waktu tiga jam untuk tidur, Angie mengabaikan keberadaan koleksi alat
ng berantakan di atas meja. Beruntung kamarnya berada persis di samping tangga lantai dua, sehingga dia lang
endela yang terbuka di samping kursi pengem
embangunkan aku," kata Angie memperingatkan seray
parkir sambil menyengir. Matanya memperhatikan sapuan riasan dan blus biru laut Raqu
beli blus ini dua jam yang
sekitar dua belas tahun yang lalu, Angie tidak pernah satu kali pu
n ke mana?" ta
," jawab Raquel meng
a, Raquel. Katakan saja ke ma
sekali tidak bisa
alisnya dengan t
h dengan nada menyerah. "K
a? Makan pizza? Jadi kau memaksaku ban
kan tidak mengikat
ungkin tidak s
l ter
Aku rasa ini bukan sekadar makan
. "Bisa kau tebak kita pergi dengan siapa?" dia
balas Angi
t. "Bisakah kau menjawab den
annya saat ini adalah ranjang nyaman untuknya merebahkan diri, bukan
ola
dak ingin main
sama sekali
saja. Aku tahu sebenarnya kau sudah t
" seru Raquel tanpa berusaha menyembunyikan nada
ke arah Raquel. "Maksudmu, ak
ulan belakangan ini. Dan Angie teringat Raquel berjanji akan memperkenalkan si Mr. Right itu padanya j
rtawa. "Tidak. Maksudku, belum. Ki
pa aku ha
enolak ajakanku untuk makan. Dan akhirnya dia setuju. Dia bilang
itu satu pe
sah aku mencoba mendekatinya. Padahal aku yakin
a disebut sebagai kegiatan menguntit-Mr. Rightnya beberapa kali dengan muncul di kafe a
anya Angie tidak bisa menge
rin. Seharusnya aku mengajak dia pergi ke tempat yang lebih privat. Ma
k juga. Lagipula kita sudah sampai," kata Angie mena
uharap k