Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
529
Penayangan
30
Bab

Menikah muda bukan tujuanku, tapi demi baktiku kepada orang tua. Akhirnya aku menerima pinangan dari seorang laki-laki yang tak kukenal sebelumnya. Jangankan cinta, sayang, kenal juga nggak. Tanpa sengaja aku mendengar percakapan kedua orang tuaku, bahwa laki-laki yang dijodohkan padaku itu ternyata tidak menyukai perempuan. Bagai disambar petir siang bolong, kok bisa, kok tega orang tua aku menikahkanku dengan pria nggak normal? Bagaimana aku bisa menjalani hidup berumah tangga dengan dia nanti? Kalau saja waktu bisa diputar, lebih baik aku kabur saja dari rumah. Tolong, siapa pun yang bisa bantu aku. Bagaimana caranya aku lepas dari pria jadi-jadian itu?

Bab 1 Malam Pertama

"Lepas bajunya, Dek!" titah cowok depanku yang duduk di atas tempat tidur.

Aku menyilangkan kedua tangan di depan dada dengan mata melotot ke arahnya.

"Dih, siapa lo ngatur-ngatur hidup gue, jangan mesum ya. Otak dijaga itu!" sahutku kesal.

"Kamu kan udah sah jadi istri aku. Lagi pula, otak kamu itu yang dicuci dulu. Kalo nggak mau ya nggak maksa." Cowok itu lalu berbaring di tempat tidur tanpa menghiraukanku.

Aku menatap ke tubuhku sendiri, baju pengantin masih melekat. Bahkan sanggul di atas kepala juga terasa mulai sesak dan panas.

Gerah, sumpah ini gerah banget. Mana kipas angin dihadapkan ke badan dia sendiri pula. Padahal ini kan kamarku, kenapa jadi manusia itu yang berkuasa.

Aku berjalan ke depan kipas angin, lalu duduk di tepi ranjang menghadap ke kipas. Huuyft, segernya.

Sambil memejamkan mata aku menikmati angin sepoi-sepoi yang mengenai leher.

"Mau sampai kapan?" tanya suara di belakangku.

Aku menggeser duduk, melirik sekilas ke belakang dan kembali membuang muka. Kenapa jantungku jadi berdebar-debar gini sih lihat cowok yang dijodohkan Mama.

"Aaa, aaa, apanya?" tanyaku gugup.

"Ya kamu, duduk di sini. Lihat jam berapa? Kamu betah pakai baju kebaya?"

"Suka-suka gue lah."

Aku bersungut dan hendak bangkit dari duduk, lalu tanganku tiba-tiba ada yang menarik hingga aku kembali terduduk.

"Ish, lepasin!" kataku menarik tangan dari genggamannya.

"Dek, aku ini suami sah kamu. Kok kamu kaya gini sih? Kamu nggak suka sama aku?" tanyanya.

"Iya. Mas kan tau aku punya pacar. Lagian kenapa Mas mau sih dinikahin sama aku? Aku ini nggak bisa apa-apa loh, kalo tidur suka ngorok, ileran, masak nggak bisa, nyuci nggak bisa." Aku mencoba menceritakan kejelekan aku sendiri, biar dia ilfeel.

Eh bukannya kaget, dia malah tertawa. Lalu mengusap rambutku yang masih ada sanggulnya.

"Udah tau. Kamu itu dititipin sama kedua orang tua kamu ke aku. Buat jadi istri yang baik, taat, dan Sholehah."

"Hah? Dititipin? Emang aku barang apa?"

"Ya terserah kamu mau anggap diri kamu apa, yang pasti tadi kamu juga nggak nolak kan nikah sama aku. Jadi, sekarang kamu ganti baju, dan nikmatin malam pertama kita."

Aku melongo, lalu beranjak dari duduk dan berjalan ke lemari pakaian.

Aku mencari baju tidur kali ini yang panjang. Kalau bisa double pakainya, biar tuh cowok mesum nggak bisa nemuin harta berharga dari dalam tubuhku ini. Enak aja dia mau nikmatin sesuatu yang aku sendiri aja belum rela kalau harus direnggut sama dia.

Aku hanya mau menyerahkan tubuhku ini dengan cowok yang aku suka dan aku cinta. Bukan mentang-mentang aku dan dia dijodohin jadinya dia dengan mudahnya bisa mendapatkan apa yang dia mau. Ooohh tidak bisaaa.

"Mau ke mana?" tanyanya saat aku melangkah menuju pintu.

"Ganti baju."

"Di sini aja."

"Nggak."

"Kenapa? Malu? Bukannya kamu udah biasa ya pakai baju seksi di depan laki-laki."

Sial! Ini cowok ngomong apaan sih? Ngebacain dosa gue segala.

Aku tidak peduli, lalu tetap memutar kenop pintu dan keluar dari kamar dengan baju ganti di tangan.

Aku bernapas lega saat berhasil keluar, tapi pandanganku seketika berubah. Melihat beberapa pasang mata menatap dengan pandangan aneh.

Kamarku terletak di samping ruang makan. Saat aku keluar, Mama, Papa, kedua kakak laki-lakiku, Om Jimmy adiknya Papa, Tante Miska adiknya Papa sedang berbincang di ruang makan. Mereka menatapku dari atas sampai bawah.

"Saski, kamu mau ke mana?" tanya Mama.

"Eum, aku mau ke, eum. Oh ini, Mah. Ke Mamah, tolong bukain sanggul aku dong," kataku pada akhirnya mendekati Mama.

"Ya ampun, sini Mamah bukain. Emangnya suami kamu nggak bisa bukain?"

Aku mengambil kursi plastik dan duduk di dekat Mama tanpa menjawab pertanyaannya. Tangan Mama menyentuh kepalaku, dan tak lama sanggul itu pun terlepas dari kepala.

"Kalian besok pulang?" tanya Papa pada kedua adiknya.

"Iya, Mas. Senin kita kerja, anak-anak juga dari tadi sore udah pada nelpon nanya kapan balik," sahut Tante Miska.

"Mas Singgih sih ngasih kabar pernikahan kok ya dadakan. Udah kaya tahu bulat wae. Memang Aksa itu anaknya siapa tow, Mas?" tanya Om Jimmy mencoba mencari tahu.

Aku pun ikut menguping pembicaraan mereka. Karena penasaran juga, kenapa sampai Mama dan Papa itu ngotot banget nikahin aku sama cowok bernama Aksa Adhitama Prayudha.

Umurku yang baru dua puluh tiga tahun, baru saja habis wisuda bulan lalu. Belum nikmatin gimana rasanya jadi karyawan, eh kok malah harus jadi istri duluan.

Sementara tuh cowok umurnya jauuuh banget di atasku. Dua puluh delapan, emang kelihatan sih kebelet kawinnya dia.

"Aksa itu anaknya Prawito, yang punya perusahaan Globalindo Expert. Aksa itu katanya nggak suka sama perempuan. Prawito itu bikin sayembara, kalau ada cewek yang mau nikah sama anaknya, bakalan dikasih separuh dari saham dia." Papa menjelaskan dengan berbisik.

Aku yang samar-samar mendengar perkataan itu seketika bergidik. Tega bener orang tuaku ngejodohin anaknya sama lekong. Ohemjih.

Etapi, nggak apa-apa juga sih kalau kaya gitu. Berarti aku nggak perlu takut dia bakalan ngapa-ngapain aku. Soalnya dia nggak doyan perempuan. Lagi pula aku juga belum putus sama Amaar, pacar aku yang paling aku cinta.

"Lo ngapain senyum-senyum, Dek?" tanya Mas Galang, kakak pertamaku.

Aku nyengir kuda, lalu beranjak dari duduk dan bergegas masuk kamar. Aku nggak akan takut lagi buka baju di depan dia.

Aku kembali membuka pintu kamar, perlahan kulihat cowok bernama Aksa itu sudah memejamkan matanya. Aman.

Aku lalu berjingkat ke dekat lemari pakaian. Kulepas satu persatu kancing kebaya sebelum cowok itu terbangun. Beruntung lampu di kamar juga tidak terang, hanya lampu tidur yang membuat keadaan kamar temaram.

Kulepas kebaya dan kujatuhkan ke lantai, lalu aku memakai piyama lengan panjang dan celana panjangnya.

Huft, aku bernapas lega setelah berhasil berganti pakaian. Dan meletakkan pakaian kotor ke keranjang belakang pintu.

Aku duduk di depan meja rias. Kuambil kapas dan cairan untuk membersihkan wajah dari sisa make up. Melepas bulu mata, dan menyisir rambut pendekku yang kusut akibat memakai sprai agar bisa disanggul.

Badanku sungguh lengket, mungkin karena tidak mandi sore, mau mandi sudah malam. Acara pernikahan aku dan Aksa tadi juga hanya berlangsung dua jam di hotel.

Keluarga terdekat dan sahabat saja yang hadir, orang tua Aksa tidak ingin pernikahan anaknya sampai disorot media. Kupikir karena mereka orang terpandang, eh nggak tahunya anaknya itu ada kelainan.

Setelah selesai aku membersihkan wajah, rasanya tubuh ini butuh rehat. Aku melirik ke belakang, di mana aku harus berbagi ranjang dengan cowok yang baru kukenal. Bukan cowok, tapi setengah cewek.

Aku mendekati tempat tidur, memandang wajah Aksa yang menurutku dia nggak jelek, ganteng malah. Kulit wajahnya juga mulus, tanpa jerawat tanpa jambang apalagi jenggot halus. Kulit tangannya juga putih bersih tanpa bulu.

Heeem, pantes lah dia nggak doyan cewek. Karena badannya aja kaya cewek, lah aku? Kok mulusan dia sih mukanya?

Perlahan aku membaringkan tubuh dan menarik selimut. Mudah-mudahan saja dia nggak sampai kebangun malam terus tangannya bergerilya dan aku malah dikira cowok. Hiii.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku