Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Mendung menguasai langit sejak pagi ini. Suasana di luar tidak begitu bagus, begitu gelap, suram, dan terasa dingin. Tidak ada bedanya dengan raut wajah seorang gadis yang sedang duduk sendirian di tepi kolam air mancur yang berada di tengah taman labirin.
Gadis itu ingat dulu sekali, ibunya pernah bercerita bahwa dirinya dinamai Kanaya Amelitta, dengan harapan agar dia bisa tumbuh cantik dan bahagia.
Kanaya memang tumbuh dengan cantik. Kulitnya putih dan bersih, wajahnya cantik dengan mata bulat jernih, hidung yang sempurna, dan bibir yang merah alami. Namun sepertinya Kanaya tidak tumbuh dengan bahagia.
Kurang dari setahun, Kanaya sudah empat kali menghadiri upacara pemakaman. Yang pertama adalah upacara pemakaman ayahnya. Ayahnya meninggal dalam kecelakaan mobil saat melakukan perjalan bisnis ke Jakarta. Menurut kesaksian yang diberikan oleh saksi mata, kecelakaan mobil itu adalah kecelakaan tunggal. Mobil hitam yang dikendarai ayahnya mendadak menabrak bahu jalan dan akhirnya teguling beberapa meter. Ayahnya meninggal ditempat. Kanaya masih ingat dengan jelas bagaimana ekspresi wajah ibunya yang terlihat begitu hancur saat menerima kabar kematian ayahnya.
Lalu seminggu kemudian, kakak keduanya berteriak histeris saat menemukan mayat ibunya yang tergantung di dalam kamar yang hanya diterangi oleh cahaya dari lampu tidur. Ibunya tidak sanggup menghadapi kepergian ayahnya yang begitu tiba-tiba, akhirnya memutuskan untuk gantung diri dan pergi menyusul suami tercintanya, meninggalkan anak-anaknya.
Belum selesai duka yang dirasakan Kanaya karena kepergian orang tuanya, dia harus kembali berhadapan dengan luka lain. Kakak pertamanya meninggal dianiaya oleh suami yang sangat dia cintai. Mayat kakak petamanya penuh dengan luka lebam yang membiru dan wajahnya tampak membengkak, hampir tidak bisa dikenali. Benar-benar pemandangan yang menyayat hati.
Kanaya membiarkan kesedihan menggerogoti dirinya selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu, dia mulai tidak peduli dengan sekelilingnya. Lalu pada suatu hari Kanaya mendengar teriakan histeris yang berasal dari kamar kakak keduanya. Saat sampai di dalam kamar kakaknya, Kanaya melihat kakaknya itu sedang menangis dan tertawa secara bersamaan. Benar-benar pemandangan mengerikan yang tidak akan pernah dilupakan Kanaya sampai kapanpun. Kakaknya itu sedang menangisi tunangan tercintannya yang lebih memilih wanita lain. Setelah hari itu keadaan kakaknya semakin parah dia bahkan sudah melakukan beberapa kali percobaan bunuh diri.
Kanaya yang merasa frustasi memutuskan untuk membawa kakaknya ke rumah sakit untuk konseling dengan harapan agar keadaan kakaknya bisa lebih baik, dokter menyarankan kakaknya lebih baik dirawat di rumah sakit. Namun setelah sebulan perawatan, yang Kanaya temukan bukan wajah kakaknya yang tersenyum cantik melainkan wajah pucat dengan mata membelalak mengerikan serta tubuh yang terbujur kaku di ruang mayat.
Pada saat itu Kanaya tidak tahu harus berekspresi seperti apa, menangis pun rasanya tidak bisa. Hatinya begitu sakit, dia bahkan tidak bisa bernapas dengan benar. Dia benar-benar sudah tidak punya lagi tempat untuk berbagi keluh kesah, tidak ada lagi orang-orang yang akan melindungi dan mendampinginya. Upacara pemakaman kakak keduanya adalah upacara pemakaman terakhir yang dihadiri Kanaya.
Kalau diingat-ingat, ini sudah memasuki bulan keenam sejak Kanaya memutuskan untuk meninggalkan rumah keluargannya di Bandung dan pindah ke Jakarta, tinggal bersama paman Evan—adik ibunya.
Suara petir yang menggelegar membuyarkan lamunan Kanaya. Langit terlihat begitu kelabu, sebentar lagi rintik hujan pasti akan turun membasahi bumi. Kanaya harus bergegas kembali ke rumah. Saat akan berdiri, dengan ceroboh Kanaya malah menjatuhkan ponselnya ke dalam kolam.
Kanaya menatap nanar poselnya yang perlahan tenggelam ke dasar kolam. Apa yang harus dia lakukan? Itu adalah ponsel pemberian pamannya. Dengan panik Kanaya mengedarkan pandangan ke sekelilingnya mencoba menemukan sesuatu yang bisa dia gunakan untuk menggambil ponselnya yang sudah tenggelam. Tidak mungkin dia menceburkan dirinya ke dalam kolam, karena kolam tersebut cukup dalam yang ada dia malah ikut tenggelam bersama ponselnya.
Setelah beberapa saat, Kanaya berhasil menemukan sebuah ranting yang cukup panjang. Dia menggunakan ranting itu untuk menggambil ponselnya. Tangan kirinya berpenganggan di tepian kolam, agar dia tidak ikut tercebur. Dengan susah payah Kanaya terus berusaha tanpa ada niat menyerah.
“Hei! apa yang kamu lakukan?” suara yang terdengar lantang itu berhasil mengagetkan Kanaya membuat peganggan tangannya terlepas dan berakhir tercebur ke dalam kolam. Apa dia juga akan mati seperti keluarganya? Sepertinya iya, hanya saja keluarganya mati dengan tragis karena cinta, sedangkan dia mati konyol karena tenggelam.
Kanaya memejamkan matanya, dengan tenang dia menunggu sampai paru-parunya kehabisan oksigen. Tidak ada usaha untuk menyelamatkan diri, lagi pula bagaimana caranya dia menyelamatkan diri? berenang saja dia tidak bisa.
Disisa-sisa kesadarannya, Kanaya merasa seperti ada yang meraih tubuhnya dan mengangkatnya ke permukaan. Kanaya langsung menghirup udara sebanyak-banyaknya sekaligus memuntahkan air yang masuk ke dalam saluran pernapasan dan membuatnya terbatuk-batuk tanpa ampun.
Setelah selesai, Kanaya mendongak dan menatap orang yang sudah menyelamatkannya. Di depannya terdapat seorang laki-laki yang terlihat terlalu...tampan? dia memiliki sepasang mata berwarna biru yang sangat menarik, terbingkai sempuna oleh alis tebal yang berjejer rapi. Rambutnya kecokelatan dan rahangnya kokoh. Fitur wajahnya begitu sempurna, dia seperti bukan manusia.
“Apa kamu tidak apa-apa?” tanya laki-laki tersebut seraya memandang Kanaya cemas.
Kanaya berusaha untuk menjawab, namun tenggorokannya sakit sehingga tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.
“Kanaya!” Kanaya melihat Ethan, sedang berlari ke arahnya.
“Astaga! Gavin apa yang terjadi? kenapa Kanaya bisa seperti ini?” tanya Ethan panik.
Ah, ternyata namanya Gavin. Kanaya menatap laki-laki di depannya.
Gavin menatap Kanaya sekilas. “Dia terjatuh di kolam, lebih baik kita kembali dulu ke rumah sebentar lagi akan turun hujan,” usul Gavin. Tanpa menunggu persetujuan Kanaya, Gavin langsung mengangkat Kanaya, lalu menggendong gadis itu di punggungnya. Dia melakukannya dengan lembut dan perlahan.
Kanaya terkejut dan jantungnya berdebar kencang. “Kanaya, lingkarkan lenganmu di bahuku.” Suara Gavin terdengar begitu lembut di telingga Kanaya. Membuatnya tidak bisa membantah, dengan pelan Kanaya melingkarkan lengannya di bahu Gavin dan menyembunyikan wajahnya di leher jenjang Gavin. Samar-samar Kanaya bisa mencium wangi tubuh Gavin, hatinya terasa hangat.
**********
Setelah hari itu, Kanaya tidak pernah bertemu lagi dengan Gavin. Dari apa yang di ceritakan Ethan, Kanaya tahu bahwa Gavin adalah sahabat Ethan. Kanaya tidak berani bertanya lebih jauh lagi.
Hari ini Kanaya benar-benar merasa bosan, paman Evan dan istrinya—bibi Tasya sedang melakukan perjalanan bisnis ke Bali selama dua minggu. Ethan sejak kemarin belum pulang ke rumah. Sebenarnya Kanaya masih punya sepupu lain—Kesya, dia adalah adik kandung Ethan. Sayangnya Kesya tidak begitu menyukainya. Kesya selalu mengganggunya di setiap kesempatan dan bersikap memusuhi, nada bicaranya pun tidak ada lembut-lembutnya. Jelas mendekati Kesya dengan alasan untuk menghilangkan rasa bosan bukanlah ide yang bagus.
Kanaya menghembuskan napas kasar, kalau hanya diam seperti ini tanpa melakukan apa-apa, dia akan teringat lagi dengan keluarganya. Kanaya kemuadian bangun dari ranjang, mengambil ikat rambut dan mencepol rambutnya tinggi-tinggi. Diliriknya jam dinding di atas televisi. Baru pukul lima sore. Lebih baik dia keluar dan menghirup udara segar.
Kanaya keluar dari kamarnya lalu berjalan menuruni tangga menuju ke halaman belakang rumah. Dia ingin berjalan-jalan di sekitar taman labirin. Pamannya memiliki taman labirin yang sangat luas dihiasi dengan berbagai jenis tanaman dan bungga.
Setelah berjalan beberapa menit, Kanaya akhirnya sampai. Angin berdesau pelan, membawa aroma manis dari bungga-bungga yang sedang bermekaran. Kanaya tersenyum senang, hatinya seketika dipenuhi rasa hangat.
“Kanaya?” Kanaya tertegun melihat orang yang barusan memanggilnya.
“Kita belum pernah berkenalan secara resmi, kan? aku Gavin Januartha. Kamu bisa memanggilku Gavin,” sapanya ramah sembari mengajak Kanaya bersalaman.
“Ah... aku Kanaya.” Kanaya terdiam, “Kanaya Amelitta,” lanjutnya salah tingkah.
Gavin tersenyum memandang Kanaya. “Sepertinya kamu baik-baik saja. Aku sedikit khawatir, waktu itu kamu terlihat kedinginan dan tubuhmu menggigil.”
“Aku baik-baik saja, itu bukan apa-apa,” jawab Kanaya.
“Syukurlah kalau begitu,” ujar Gavin, “Tapi apa yang sedang kamu lakukan di sini?” tanyanya kemudian.
“Tidak ada. Aku hanya sedang jalan-jalan,” jawab Kanaya seadanya.
“Apa aku boleh di sini sebentar? Aku sedang menunggu Ethan, tapi sepertinya dia akan datang terlambat,” jelas Gavin.
“Terserah kamu,” jawab Kanaya. Ugh! Jantungnya mulai berdebar dengan kencang.
Kanaya kemudian berjalan menjauh dari Gavin. Dia takut Gavin mendengar debaran jantungnya, walaupun itu tidak mungkin. Kanaya duduk di bangku taman dan membuka buku yang dari tadi dia bawa lalu mulai fokus membaca, berusaha mengabaikan keberadaan Gavin.
“Hei Kanaya, apa kamu mau makan gula kapas?” tanya Gavin, mencoba mencairkan suasana yang terasa canggung.