Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Aku adalah seorang prajurit Marinir berpangkat Letnan Satu bernama Muhammad Imam Setiawan. Hari ini aku menginjakkan kaki ke bumi pertiwi setelah tiga puluh bulan bertugas bersama pasukan perdamaian dunia di Lebanon.
Di Lantamal V Surabaya ini aku tak dijemput seorangpun. Kartika, adikku sedang melahirkan di Kertosono, kota kelahiranku. Sejak dua hari yang lalu Kartika diberitakan sudah mengalami kontraksi, namun sampai pagi hari ini belum ada kabar kelahiran cucu pertama dari kedua orang tuaku. Sebelum kepulanganku ke tanah air, aku sudah berpesan pada bapak dan ibu untuk menemani Kartika sampai dengan selesai persalinan, tak perlu menjemputku di Surabaya.
Hiruk pikuk para keluarga yang menjemput pasukan kami tampak melepas haru. Aku sendiri yang datang tanpa jemputan sanak saudara. Ada harapan di hati ini untuk dijemput oleh Resti, sang pujaan hati. Sudah beberapa bulan ini nomor ponselnya tidak aktif, mungkin dia ganti nomor tanpa memberi tahuku. Tak masalah bagiku, karena aku telah berjanji akan menikahinya selepas pulang dari Lebanon.
Setelah mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, tampak sosok anggun yang selama ini memenuhi ruang hati. Dia terlihat celingukan mencari diriku. Aku mendekat dan berbisik dari arah belakang, “Cari siapa?”
Wanita cantik itu berbalik, lalu memberikan hormat padaku, aku membalas hormatnya lalu tersenyum. “Selamat datang di bumi pertiwi Letnan.”
Kami berjalan beriringan meninggalkan kerumunan, “Apa kabarnya Dek?”
“Alhamdulillah baik, Mas. Mas apa kabarnya? Tambah hitam aja.” ucapnya sambil mengulum senyum yang sangat menggemaskan.
“Beneran kerja berarti.” Resti malah tertawa renyah.
“Dek Resti sudah sarapan? Mas pengen ngerasain soto nih. Kayaknya hampir lupa rasanya soto.”
“Ayo kita ke kantin, nanti Resti traktir Mas, biar inget sama makanan Indonesia.”
“Dek Resti duluan ya, Mas mau naro ransel dulu di mess. Pesan aja duluan ya!”
“Iya, Mas. Mau kopi atau teh?”
“Kopi hitam aja.” Resti mengangguk sambil tersenyum yang membuatku semakin dimabuk cinta.
Pandanganku menyisir seluruh area kantin, terlihat seorang kowal berpangkat sersan satu melambaikan tangan padaku. Aku mendekat sambil menebar senyum.
“Soto dan kopinya sudah datang, silahkan dinikmati.”
Sambil makan, aku bercerita tentang kisahku ketika berdinas di Lebanon. Resti tampak antusias menyimak ceritaku. Setelah selesai makan aku mengeluarkan sebuah gelang buatan warga Lebanon lalu memberikannya ke Resti, “Mas belum sempat beli yang mahal, ini hasil karya dari warga di Lebanon. Mas bawa banyak buat oleh-oleh, ini yang pantas buat Dek Resti.”
“Wah, terima kasih ya.” Resti langsung memakai gelang itu.
“Oh ya, Mas. Keluargamu kok gak ada yang jemput?”
“Kartika sedang melahirkan, bapak sama ibu siaga nunggu cucu pertamanya. Setelah ini Mas mau pulang ke Kertosono, supaya bisa sholat Jum’at bareng bapak di kampung.”
“Salam untuk bapak dan ibu ya, semoga persalinan Kartika diberi kemudahan dan kelancaran, ibu dan bayinya sehat semua.”
“Amin, terima kasih doanya. Kayaknya Mas ga bisa lama-lama disini, mau izin komandan dulu biar bisa pinjam mobil untuk pulang.”
“Hati-hati di jalan.” Pipinya yang semu menambah aura cantik Resti, ditambah polesan lipstik warna nude membuatku enggan beranjak.
“Ayo berangkat, nanti keburu siang lho!”
Aku berdiri sambil mengangguk, “Terima kasih traktirannya,” ucapku lalu menjauh, Resti memberiku hormat, kemudian aku membalas hormatnya dan pergi.
***
Satu jam perjalanan Surabaya-Kertosono, mobil yang kukendarai berhenti dirumah bapak. Pintu rumah terkunci, berkali-kali aku mengucap salam namun tak ada balasan dari dalam rumah. Aku memutar ke samping, di bagian samping rumah terdapat Masjid. Setelah bebersih diri, aku masuk ke Masjid lalu sholat sunah dua rakaat. Membaringkan badan kemudian memejamkan mata, merasakan ketenangan dan kenyamanan di rumah Allah, di kampung halaman tercinta.
Tiba waktu Zuhur, aku mengumandangkan adzan memanggil warga sekitar untuk menunaikan ibadah sholat Jum’at. Selesai membacakan adzan beberapa warga yang sudah datang menyalamiku dan menyapa ala kadarnya. Dari penjelasan para tetangga, aku menyimpulkan bahwa bapak dan ibu masih di klinik tempat Kartika bersalin. Lalu pandanganku menjurus pada sosok pria yang paling pertama kulihat dimuka bumi ini. Bapak masuk ke dalam masjid dengan menggunakan baju koko coklat dan peci hitam berjalan ke arahku. Aku berlutut di depannya, lalu mencium punggung tangan yang hampir keriput. Bapak mengangkat bahuku, kemudian merangkulku sangat lama. Butiran air mata sontak mencelos dari kedua sudut mataku.
“Maafin Imam, Pak.”