/0/24661/coverorgin.jpg?v=629f8f88baba399a125ab8ef389ce989&imageMogr2/format/webp)
Aluna menatap layar ponselnya sekali lagi, memastikan pesan itu memang benar. Hatinya berdebar begitu kencang, campuran antara kegembiraan dan ketegangan. Tiga tahun menikah, tiga tahun ia menunggu saat yang tepat, dan akhirnya detik itu tiba. Dua garis merah muda pada test pack itu tidak bohong. Ia hamil.
Rasa bahagia itu membuatnya tersenyum sendiri di ruang tamu apartemennya. Tangannya menekan perutnya yang mulai membulat, seakan ingin memastikan bahwa kehidupan kecil di dalam sana benar-benar nyata. "Aku... aku benar-benar hamil," bisiknya lirih, hampir tak percaya.
Suaminya, Raka, memang selalu ingin anak. Ia sering membicarakan masa depan mereka, bagaimana mereka akan memiliki keluarga kecil yang hangat, rumah yang dipenuhi tawa anak-anak. Namun, Aluna selalu menahan diri. Kariernya di dunia periklanan baru saja menanjak, dan ia ingin memastikan semua stabil sebelum menambah tanggung jawab. Tapi kini, dengan detik itu, keputusan itu datang sendiri.
Dengan langkah cepat, ia menyiapkan diri untuk pergi ke kantor Raka. Ia ingin memberinya kejutan, ingin melihat ekspresi bahagia itu secara langsung, bukan hanya melalui telepon atau pesan. Ia memilih pakaian sederhana-blus putih dan rok midi hitam-karena ia ingin terlihat elegan tapi tetap santai. Rambutnya dibiarkan tergerai, dan makeup tipisnya menambah kesan alami.
Begitu tiba di gedung kantor Raka, Aluna merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia masuk melalui pintu utama dan menyapa satpam dengan senyum hangat. "Selamat siang, Pak Teguh. Saya ingin menemui Pak Raka sebentar," katanya dengan nada lembut.
Satpam itu menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Silakan, Bu Aluna. Pak Raka sedang di ruangannya."
Aluna mengangkat tasnya dan berjalan menuju lift. Sepanjang perjalanan, pikirannya melayang pada Raka-suaminya yang dingin tapi penuh pesona, sosok yang selalu membuatnya merasa aman. Ia membayangkan momen ketika Raka memeluknya dan berkata bahwa ia akan menjadi ayah yang baik.
Namun, begitu pintu lift terbuka di lantai delapan, Aluna melihat sesuatu yang membuat seluruh tubuhnya membeku. Ruang kerjanya luas, dengan meja kayu besar di tengah. Cahaya matahari masuk melalui jendela besar, menyoroti sosok Raka yang duduk santai di kursinya, tapi bukan sendirian.
Di depannya, seorang wanita berparas lembut tersenyum pada Raka, dan di pangkuannya, seorang gadis kecil duduk sambil tertawa riang. Rambutnya hitam, ikal lembut, dan matanya besar, persis seperti Raka ketika ia masih kecil.
Aluna menelan ludah. "Apa... apa yang aku lihat ini?" pikirnya.
Raka belum menyadari kehadirannya. Ia menunduk, berbicara dengan lembut pada wanita itu, sambil sesekali menatap gadis kecil di pangkuannya. Ada tawa ringan yang terdengar, momen hangat yang seharusnya hanya mereka rasakan sebagai keluarga-namun bukan keluarga yang ia kenal.
Hati Aluna hancur seketika. Setiap detik yang berlalu seperti tusukan di dadanya. Ia merasa perutnya seperti dihantam gelombang badai. Perlahan, ia mengangkat langkahnya, mendekat, dan suara langkahnya membuat Raka tersadar.
Raka menoleh, dan seketika tatapannya membeku. Aluna bisa melihat keterkejutan itu, tapi bukan rasa bersalah yang terlihat. Hanya kejutan yang dingin, kosong. Ia membuka mulut, tapi sebelum sempat berkata apa-apa, Raka sudah bangkit dari kursinya.
"Aluna..." suaranya datar, tapi ada nada yang tajam di ujungnya. "Apa... kamu... kenapa di sini?"
Aluna menelan ludah, matanya berkaca-kaca. "Raka... aku... aku hamil," suaranya hampir tak terdengar, tapi penuh harap. "Aku ingin memberitahumu... aku ingin kita... kita bahagia..."
Namun jawaban yang datang bukanlah pelukan hangat, bukan senyuman gembira yang ia bayangkan. Raka menatapnya tanpa berkedip, lalu menatap wanita dan gadis kecil itu sebentar, seakan membandingkan sesuatu yang tak terlihat oleh Aluna.
"Kita... berpisah saja," katanya dengan nada dingin, memutus kata-kata Aluna seperti belati yang menembus hatinya.
Aluna terdiam. Sekali lagi ia menatap Raka, seolah berharap ini hanya mimpi buruk yang akan segera hilang. Tapi kenyataan menamparnya begitu keras. "Berpisah...? Sekarang? Setelah semua yang kita lalui?" Suaranya bergetar, mata mulai memanas.
Raka mengalihkan pandangannya kembali ke wanita di depannya. "Ya. Aku... aku tidak bisa lagi berpura-pura," katanya. Tidak ada penjelasan, tidak ada rasa bersalah, hanya keputusasaan yang membeku di wajahnya.
Aluna merasa dunia runtuh di sekitarnya. Air matanya menetes, tapi ia menahan diri untuk tidak menangis di depan mereka. Ia harus tetap kuat. Ia berjalan mundur perlahan, seakan setiap langkah menjauh dari Raka juga menjauh dari harapannya selama ini.
Di luar gedung, Aluna menempelkan punggungnya ke dinding dingin, menarik napas panjang. Ia merasa tubuhnya lemas, tapi pikirannya masih kacau. Bagaimana bisa Raka, suami yang selalu ia percayai sepenuh hati, mengkhianatinya dengan begitu mudah? Dengan siapa wanita itu? Dan siapa gadis kecil itu yang duduk di pangkuannya?
Hari-hari berikutnya, Aluna sulit tidur. Setiap malam ia memikirkan Raka, wanita itu, dan gadis kecil itu. Setiap kali ia merasakan gerakan kecil di perutnya, hatinya campur aduk antara rasa sayang dan sakit. Ia menyadari satu hal yang mengerikan: darah dagingnya akan lahir dalam dunia yang mungkin tidak akan pernah ia kenal, tanpa ayah yang seharusnya mencintainya.
Aluna mulai merencanakan langkahnya. Ia tidak bisa membiarkan anaknya tumbuh dalam kekosongan kasih sayang. Ia harus kuat, harus mandiri, dan suatu hari nanti, ia akan menunjukkan pada Raka apa artinya menelantarkan darah daging sendiri.
Di tengah kesedihannya, Aluna menemukan kekuatan baru. Setiap air mata yang jatuh, setiap rasa sakit yang ia rasakan, berubah menjadi tekad yang tak tergoyahkan. Ia akan melindungi anaknya, meski harus melawan pria yang pernah ia cintai sepenuh hati.
/0/28486/coverorgin.jpg?v=e6aa0b59babc32dbe139f109022f00c5&imageMogr2/format/webp)
/0/15164/coverorgin.jpg?v=da1c97bebc64f1a6357e51fd511347e3&imageMogr2/format/webp)
/0/6257/coverorgin.jpg?v=3b7b407dbda72bf48056115c9971ec78&imageMogr2/format/webp)
/0/23510/coverorgin.jpg?v=5edef706926659f99d3ed836d274efb0&imageMogr2/format/webp)
/0/16375/coverorgin.jpg?v=e56af4b1eb7de8d02d28ff39bff2e150&imageMogr2/format/webp)
/0/27059/coverorgin.jpg?v=5903509aada06024b89af520ef987f33&imageMogr2/format/webp)
/0/6251/coverorgin.jpg?v=95475b5bb5e62a6ede1cdc661ffbcd76&imageMogr2/format/webp)
/0/29624/coverorgin.jpg?v=f4b49d72034c00807fb6c6fb558fd1e1&imageMogr2/format/webp)
/0/20183/coverorgin.jpg?v=e68f92e0bd9403ae9542515c81ab2ee3&imageMogr2/format/webp)
/0/10982/coverorgin.jpg?v=d1deb3cc642b3b22d527c0877824c548&imageMogr2/format/webp)
/0/18016/coverorgin.jpg?v=c433198e5cf2153ea10bac61cea62a83&imageMogr2/format/webp)
/0/20189/coverorgin.jpg?v=b7deb36926a430a8e6c2e9b1ef3f5ab6&imageMogr2/format/webp)
/0/29104/coverorgin.jpg?v=b2ee863357d0ba5469db48d386e5a957&imageMogr2/format/webp)
/0/17290/coverorgin.jpg?v=7ccbd0cb91087b216bf988ef50b95682&imageMogr2/format/webp)
/0/17330/coverorgin.jpg?v=7c66d1c16840e12aeeb69361a904924c&imageMogr2/format/webp)