/0/28486/coverbig.jpg?v=20251201182532&imageMogr2/format/webp)
Setelah tiga tahun menjalani rumah tangga, Aluna memutuskan untuk hamil. Selain karena sang suami, Raka, yang terus memintanya, Aluna juga merasa kariernya kini telah berada di puncak dan waktunya tepat untuk membangun keluarga. Saat kehamilan itu benar-benar terjadi, Aluna bersemangat untuk memberikan kejutan. Ia berniat datang ke kantor Raka untuk mengabarkan kabar bahagia itu secara langsung. Namun, apa yang ia lihat di kantor benar-benar mengguncang hatinya. Di ruang kerja Raka, ia menemukan suaminya sedang duduk bersama seorang wanita berparas lembut, sementara seorang gadis kecil duduk di pangkuan wanita itu, tertawa riang. Hati Aluna hancur. Namun yang lebih menyakitkan adalah kata-kata yang keluar dari mulut Raka setelah ia menyadari kehadirannya: "Kita berpisah saja," ujarnya dingin, tanpa ragu sedikit pun. Aluna tak percaya. Bagaimana mungkin Raka, yang selama ini tampak mencintainya sepenuh hati, bisa berkata begitu dengan begitu mudah? Pertanyaan yang menghantui Aluna kini adalah: apa yang akan terjadi jika suatu hari Raka mengetahui bahwa ia telah menelantarkan darah dagingnya sendiri, sementara kasih sayangnya diberikan kepada seorang anak yang tak memiliki hubungan darah dengannya?
Aluna menatap layar ponselnya sekali lagi, memastikan pesan itu memang benar. Hatinya berdebar begitu kencang, campuran antara kegembiraan dan ketegangan. Tiga tahun menikah, tiga tahun ia menunggu saat yang tepat, dan akhirnya detik itu tiba. Dua garis merah muda pada test pack itu tidak bohong. Ia hamil.
Rasa bahagia itu membuatnya tersenyum sendiri di ruang tamu apartemennya. Tangannya menekan perutnya yang mulai membulat, seakan ingin memastikan bahwa kehidupan kecil di dalam sana benar-benar nyata. "Aku... aku benar-benar hamil," bisiknya lirih, hampir tak percaya.
Suaminya, Raka, memang selalu ingin anak. Ia sering membicarakan masa depan mereka, bagaimana mereka akan memiliki keluarga kecil yang hangat, rumah yang dipenuhi tawa anak-anak. Namun, Aluna selalu menahan diri. Kariernya di dunia periklanan baru saja menanjak, dan ia ingin memastikan semua stabil sebelum menambah tanggung jawab. Tapi kini, dengan detik itu, keputusan itu datang sendiri.
Dengan langkah cepat, ia menyiapkan diri untuk pergi ke kantor Raka. Ia ingin memberinya kejutan, ingin melihat ekspresi bahagia itu secara langsung, bukan hanya melalui telepon atau pesan. Ia memilih pakaian sederhana-blus putih dan rok midi hitam-karena ia ingin terlihat elegan tapi tetap santai. Rambutnya dibiarkan tergerai, dan makeup tipisnya menambah kesan alami.
Begitu tiba di gedung kantor Raka, Aluna merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia masuk melalui pintu utama dan menyapa satpam dengan senyum hangat. "Selamat siang, Pak Teguh. Saya ingin menemui Pak Raka sebentar," katanya dengan nada lembut.
Satpam itu menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Silakan, Bu Aluna. Pak Raka sedang di ruangannya."
Aluna mengangkat tasnya dan berjalan menuju lift. Sepanjang perjalanan, pikirannya melayang pada Raka-suaminya yang dingin tapi penuh pesona, sosok yang selalu membuatnya merasa aman. Ia membayangkan momen ketika Raka memeluknya dan berkata bahwa ia akan menjadi ayah yang baik.
Namun, begitu pintu lift terbuka di lantai delapan, Aluna melihat sesuatu yang membuat seluruh tubuhnya membeku. Ruang kerjanya luas, dengan meja kayu besar di tengah. Cahaya matahari masuk melalui jendela besar, menyoroti sosok Raka yang duduk santai di kursinya, tapi bukan sendirian.
Di depannya, seorang wanita berparas lembut tersenyum pada Raka, dan di pangkuannya, seorang gadis kecil duduk sambil tertawa riang. Rambutnya hitam, ikal lembut, dan matanya besar, persis seperti Raka ketika ia masih kecil.
Aluna menelan ludah. "Apa... apa yang aku lihat ini?" pikirnya.
Raka belum menyadari kehadirannya. Ia menunduk, berbicara dengan lembut pada wanita itu, sambil sesekali menatap gadis kecil di pangkuannya. Ada tawa ringan yang terdengar, momen hangat yang seharusnya hanya mereka rasakan sebagai keluarga-namun bukan keluarga yang ia kenal.
Hati Aluna hancur seketika. Setiap detik yang berlalu seperti tusukan di dadanya. Ia merasa perutnya seperti dihantam gelombang badai. Perlahan, ia mengangkat langkahnya, mendekat, dan suara langkahnya membuat Raka tersadar.
Raka menoleh, dan seketika tatapannya membeku. Aluna bisa melihat keterkejutan itu, tapi bukan rasa bersalah yang terlihat. Hanya kejutan yang dingin, kosong. Ia membuka mulut, tapi sebelum sempat berkata apa-apa, Raka sudah bangkit dari kursinya.
"Aluna..." suaranya datar, tapi ada nada yang tajam di ujungnya. "Apa... kamu... kenapa di sini?"
Aluna menelan ludah, matanya berkaca-kaca. "Raka... aku... aku hamil," suaranya hampir tak terdengar, tapi penuh harap. "Aku ingin memberitahumu... aku ingin kita... kita bahagia..."
Namun jawaban yang datang bukanlah pelukan hangat, bukan senyuman gembira yang ia bayangkan. Raka menatapnya tanpa berkedip, lalu menatap wanita dan gadis kecil itu sebentar, seakan membandingkan sesuatu yang tak terlihat oleh Aluna.
"Kita... berpisah saja," katanya dengan nada dingin, memutus kata-kata Aluna seperti belati yang menembus hatinya.
Aluna terdiam. Sekali lagi ia menatap Raka, seolah berharap ini hanya mimpi buruk yang akan segera hilang. Tapi kenyataan menamparnya begitu keras. "Berpisah...? Sekarang? Setelah semua yang kita lalui?" Suaranya bergetar, mata mulai memanas.
Raka mengalihkan pandangannya kembali ke wanita di depannya. "Ya. Aku... aku tidak bisa lagi berpura-pura," katanya. Tidak ada penjelasan, tidak ada rasa bersalah, hanya keputusasaan yang membeku di wajahnya.
Aluna merasa dunia runtuh di sekitarnya. Air matanya menetes, tapi ia menahan diri untuk tidak menangis di depan mereka. Ia harus tetap kuat. Ia berjalan mundur perlahan, seakan setiap langkah menjauh dari Raka juga menjauh dari harapannya selama ini.
Di luar gedung, Aluna menempelkan punggungnya ke dinding dingin, menarik napas panjang. Ia merasa tubuhnya lemas, tapi pikirannya masih kacau. Bagaimana bisa Raka, suami yang selalu ia percayai sepenuh hati, mengkhianatinya dengan begitu mudah? Dengan siapa wanita itu? Dan siapa gadis kecil itu yang duduk di pangkuannya?
Hari-hari berikutnya, Aluna sulit tidur. Setiap malam ia memikirkan Raka, wanita itu, dan gadis kecil itu. Setiap kali ia merasakan gerakan kecil di perutnya, hatinya campur aduk antara rasa sayang dan sakit. Ia menyadari satu hal yang mengerikan: darah dagingnya akan lahir dalam dunia yang mungkin tidak akan pernah ia kenal, tanpa ayah yang seharusnya mencintainya.
Aluna mulai merencanakan langkahnya. Ia tidak bisa membiarkan anaknya tumbuh dalam kekosongan kasih sayang. Ia harus kuat, harus mandiri, dan suatu hari nanti, ia akan menunjukkan pada Raka apa artinya menelantarkan darah daging sendiri.
Di tengah kesedihannya, Aluna menemukan kekuatan baru. Setiap air mata yang jatuh, setiap rasa sakit yang ia rasakan, berubah menjadi tekad yang tak tergoyahkan. Ia akan melindungi anaknya, meski harus melawan pria yang pernah ia cintai sepenuh hati.
Malam itu, ia menatap perutnya, tersenyum lemah, tapi tulus. "Tenang, Nak. Ibu akan selalu ada untukmu. Tidak peduli apa yang terjadi, kita akan baik-baik saja," bisiknya.
Di saat itulah, Aluna menyadari bahwa hidupnya telah berubah selamanya. Keputusan Raka untuk pergi bukan hanya menghancurkan pernikahan mereka, tapi juga membuka jalan bagi kekuatan baru dalam dirinya-seorang wanita yang siap menghadapi dunia, seorang ibu yang siap menaklukkan segala rintangan demi anaknya sendiri.
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai jendela apartemen Aluna dengan lembut. Namun, alih-alih memberikan rasa hangat, cahaya itu justru terasa pahit, seolah mengingatkan Aluna pada kekosongan yang kini memenuhi hidupnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap tangan yang menempel di perutnya. Anak dalam kandungannya bergerak pelan, seakan menegaskan keberadaannya di dunia yang belum pernah ia kenal sepenuhnya.
Aluna menghela napas panjang. Tiga hari telah berlalu sejak kejadian itu-hari ketika Raka memutuskan untuk pergi. Tiga hari sejak ia menyaksikan suaminya tersenyum hangat pada wanita lain dan anak kecil yang bukan darah dagingnya sendiri. Hati Aluna masih hancur, tapi ia tahu bahwa menangis saja tidak akan menyelesaikan apa pun. Ia harus bangkit, setidaknya demi anaknya.
Segera setelah sarapan sederhana-roti panggang dan teh hangat-Aluna mulai merapikan apartemennya. Ia membersihkan meja, menyapu lantai, dan menata kamar tidur dengan rapi. Setiap gerakan sederhana itu memberinya rasa kontrol, sesuatu yang telah lama hilang dalam hidupnya. Memulai ulang sendirian bukanlah hal yang mudah, terutama ketika ia sedang hamil.
Pekerjaan di perusahaan tempat Aluna menjadi manajer kreatif tetap menunggu, namun kini segalanya terasa berbeda. Ia tidak bisa lagi membawa semua energi dan perhatian ke kantor. Tubuhnya lelah lebih cepat, dan kadang rasa mual muncul tiba-tiba, membuatnya harus menepi di ruang kecil yang disediakan untuk ibu hamil. Rekan-rekannya, walaupun peduli, tak sepenuhnya memahami beban emosional yang Aluna bawa.
Hari-hari berjalan lambat. Aluna belajar menyesuaikan diri dengan ritme baru: mengatur jadwal istirahat, makan makanan bergizi, dan melakukan pemeriksaan rutin ke dokter kandungan. Dokter selalu tersenyum ramah dan memberinya dorongan. "Aluna, jangan terlalu khawatir. Janin sehat, dan ibu juga harus tetap sehat. Jangan bebankan pikiran dengan hal-hal yang bisa diatasi nanti," kata dokter itu suatu sore.
Namun, di dalam hati Aluna, kekhawatiran tak pernah benar-benar hilang. Ia memikirkan Raka, gadis kecil yang ia lihat di kantor, dan masa depan anaknya sendiri. Bagaimana mungkin ia bisa membesarkan seorang anak sendirian, ketika sosok ayah yang seharusnya menjadi pelindungnya telah memilih pergi begitu saja?
Suatu malam, Aluna duduk di sofa sambil menatap kalender di dinding. Ia menandai setiap minggu kehamilan dengan hati-hati, mencatat perubahan yang ia rasakan. Ia mulai menulis jurnal, menumpahkan semua rasa sakit, harapan, dan ketakutannya di atas kertas. Menulis memberinya rasa lega-seolah tangisan yang tidak bisa ia keluarkan dari mata, bisa tercurah melalui kata-kata.
Sementara itu, jauh di kantor yang sama, Raka duduk di kursi kulitnya, memandangi ruang yang kini terasa kosong tanpa Aluna. Gadis kecil yang selalu ia pangku di meja kerja itu, kini bermain sendiri di sudut ruangan. Senyumannya yang biasanya hangat kini memudar ketika ia menyadari kenyataan yang mulai menghantuinya: keputusannya untuk berpisah telah membawa konsekuensi yang tak pernah ia bayangkan.
Raka mengingat malam itu ketika ia menatap Aluna, ketika ia begitu mudah mengucapkan kata-kata perpisahan. Ia merasa lega pada saat itu, percaya bahwa ia hanya mengikuti kata hatinya. Namun sekarang, rasa lega itu berganti menjadi kebingungan dan penyesalan yang tajam. Ia mulai bertanya-tanya-apakah ia sudah melakukan hal yang benar? Gadis kecil itu, anak Aluna yang belum lahir, dan senyum hangat yang ia lihat di wajah Aluna... semuanya mulai menimbulkan pertanyaan yang tak nyaman.
Di malam-malam sepi, Raka duduk di balkon kantornya, memandangi lampu-lampu kota. Ia bertanya pada dirinya sendiri, "Apakah aku benar-benar tahu apa yang aku inginkan? Apakah aku sudah kehilangan sesuatu yang seharusnya tak boleh hilang?" Perasaan bersalah itu mulai muncul, tertanam di antara kebanggaan dan ego yang selama ini menutup hatinya.
Sementara itu, Aluna mulai belajar hal-hal kecil yang ia abaikan sebelumnya. Ia menyiapkan makanan sehat untuk diri sendiri, membaca buku tentang kehamilan, dan bahkan mencari kelompok dukungan online untuk ibu hamil yang menghadapi tantangan sendirian. Setiap malam, sebelum tidur, ia berdoa dengan khusyuk, berharap anaknya lahir sehat dan bahagia, meski tanpa kehadiran ayah.
Satu minggu setelah perpisahan itu, Aluna menerima telepon dari sahabatnya, Dina. Suara Dina terdengar lembut namun khawatir. "Aluna, kamu baik-baik saja? Aku dengar dari kantor... apa yang terjadi...?"
Aluna menghela napas. "Aku... aku baik, Din. Hanya... butuh waktu untuk menyesuaikan diri." Suaranya tegar, meski di balik itu tersimpan rasa sakit yang belum ia ceritakan pada siapa pun.
Dina menekankan suara penuh perhatian. "Kamu harus jaga diri, Aluna. Jangan sampai terlalu menekan diri sendiri. Anakmu butuh ibunya sehat dan bahagia."
Mendengar itu, Aluna tersenyum tipis. "Aku tahu, Din. Terima kasih sudah selalu ada."
Di sisi lain kota, Raka mulai menyadari sesuatu yang tak bisa dihindari. Ia mulai melihat gadis kecil itu dengan mata yang berbeda-bukan hanya sebagai anak dari wanita lain, tetapi sebagai cermin dari konsekuensi keputusannya sendiri. Setiap tawa gadis itu, setiap momen hangat yang ia bagi, mengingatkannya pada Aluna dan anak mereka yang belum lahir. Penyesalan mulai merayap masuk, tapi ego dan ketakutannya masih menahan langkahnya untuk kembali.
Raka mulai melakukan hal-hal yang sebelumnya tak pernah ia lakukan: ia memantau jadwal Aluna dari jauh, tanpa sepengetahuannya, sekadar memastikan bahwa mantan istrinya aman. Namun, setiap kali melihat Aluna menjalani hidupnya dengan tegar, ia merasakan rasa kagum yang bercampur dengan rasa bersalah. Aluna, wanita yang ia tinggalkan dengan mudah, kini berdiri tegak sendiri, menghadapi dunia dengan keberanian yang bahkan Raka tak pernah sadari selama ini.
Hari-hari berganti menjadi minggu, dan Aluna mulai merasa tubuhnya semakin berat. Rasa sakit di punggung bawah, mual, dan sering lelah membuatnya harus menyesuaikan ritme kerja. Namun, ia menolak untuk menyerah. Ia terus berjalan dengan kepala tegak, belajar bahwa kekuatan bukan hanya soal fisik, tapi juga tentang kemampuan untuk tetap bertahan di saat hati terasa hancur.
Suatu sore, Aluna duduk di taman dekat apartemennya, menatap anak-anak bermain. Ia merasakan gerakan kecil dari perutnya, dan tersenyum hangat. "Ibu janji, Nak. Kita akan melewati semua ini bersama. Tidak ada yang bisa mematahkan kita." Hatinya terasa hangat, walau ada rasa sakit yang masih tersisa dari pengkhianatan Raka.
Di saat yang sama, Raka berada di ruang kerjanya, menatap jam di meja. Ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi menghindar dari konsekuensi keputusannya. Ia mulai menyadari bahwa meninggalkan Aluna bukan hanya membuatnya kehilangan seorang istri, tapi juga kesempatan untuk menjadi ayah bagi anak yang belum lahir.
Pertanyaan yang terus menghantuinya kini lebih dalam: apakah masih ada waktu untuk memperbaiki semuanya? Atau apakah ia harus menerima kenyataan bahwa keputusannya telah menciptakan jurang yang terlalu dalam untuk dijembatani?
Aluna, tanpa mengetahui pergulatan batin Raka, mulai menemukan ritmenya sendiri. Ia mulai menata hidup, menghadapi rasa sakit, dan menyadari bahwa kekuatan sejati bukan datang dari orang lain, tapi dari kemampuan untuk berdiri sendiri, menghadapi ketakutan, dan mencintai anak yang sedang tumbuh di dalamnya.
Dan di dalam hati Raka, penyesalan mulai berakar. Setiap keputusan yang ia ambil, setiap langkah mundur yang ia lakukan, kini berhadapan dengan kenyataan yang tak bisa diubah: hidup telah bergerak maju, dan Aluna telah menemukan kekuatannya sendiri-sebuah kekuatan yang bahkan Raka, pria yang dulu begitu ia percayai, mungkin tak akan pernah bisa mengimbangi.
Bab 1 Memastikan pesan itu memang benar
09/10/2025
Bab 2 kamu makan belum
09/10/2025
Bab 3 gadis kecil yang dulu ia lihat di kantor
09/10/2025
Bab 4 Hanya sedikit lelah
09/10/2025
Bab 5 waswas
09/10/2025
Bab 6 memeluk perutnya yang semakin besar
09/10/2025
Bab 7 kontraksi ringan
09/10/2025
Bab 8 memeluk bayi mungilnya
09/10/2025
Bab 9 Hari pertama mereka pulang
09/10/2025
Bab 10 memandangi bayi mereka
09/10/2025
Bab 11 mengirim pesan atau mengintai
09/10/2025
Bab 12 Aku merasakannya juga
09/10/2025
Bab 13 terungkap
09/10/2025
Bab 14 malam ini berbeda
09/10/2025
Bab 15 menguji batas
09/10/2025
Bab 16 Suara bayi mereka
09/10/2025
Bab 17 seorang anak kecil yang ceria
09/10/2025
Bab 18 bergantung penuh pada mereka
09/10/2025
Bab 19 agak muram saat bangun
09/10/2025
Bab 20 mengumumkan
09/10/2025
Bab 21 Nikmati prosesnya
09/10/2025
Bab 22 percayalah pada dirimu
09/10/2025
Bab 23 anak mereka ada gelombang perasaan
09/10/2025
Bab 24 melibatkan
09/10/2025
Bab 25 kafe yang ramai
09/10/2025
Bab 26 Di ruang tengah
09/10/2025
Buku lain oleh Moh. Munif
Selebihnya