/0/28464/coverbig.jpg?v=de444fe04ad2ba97d51e04c475d4c089&imageMogr2/format/webp)
Risa, seorang istri muda yang polos dan pemalu, menjalani kehidupan sederhana bersama Dika di sebuah desa kecil. Dari pertemuan tanpa sengaja, ancaman halus, hingga permainan terlarang yang membawanya ke dunia penuh kenikmatan terlarang. Awalnya terpaksa... namun perlahan, Risa menemukan dirinya tenggelam dalam candu yang tak pernah ia bayangkan. Segalanya berjalan biasa saja... hingga kedekatannya dengan Hardiman, tetangga ramah yang ternyata licik, mengubah segalanya. Satu langkah kecil menghancurkan batas, satu tatapan membangkitkan hasrat yang terus membara. Dan Risa tak pernah bisa kembali seperti dulu lagi.
Risa adalah definisi sejati dari bunga desa-bukan karena kecantikan yang mencolok, melainkan karena kesederhanaan, kepolosan, dan sifat pemalunya yang menguar seperti aroma melati setelah hujan. Rambut hitamnya selalu terawat rapi, disanggul sederhana, dan matanya yang lebar menyimpan ketenangan yang hampir selalu tampak rapuh. Pada usianya yang baru menginjak dua puluh dua, ia telah menjadi istri dari Dika, seorang pria pekerja keras yang tak banyak bicara, sepuluh tahun lebih tua darinya, dan menjabat sebagai kepala urusan pembangunan di kantor desa.
Kehidupan mereka di desa Jatiwangi adalah sebuah simfoni kesederhanaan. Rumah mereka, yang terbuat dari kayu jati tua dan beratap genteng merah, terletak agak menjorok ke belakang dari jalan utama, dikelilingi oleh kebun singkong dan pohon mangga. Di sana, rutinitas adalah sebuah mantra yang menenangkan: Dika berangkat subuh, Risa menyiapkan bekal dan menunggu kepulangannya menjelang magrib. Mereka mungkin tidak memiliki kekayaan materi, tetapi mereka memiliki ketenangan yang sering kali hilang dari hiruk pikuk kota.
Risa mencintai Dika, bukan dengan gairah yang membakar, melainkan dengan ketulusan yang mendarah daging. Dika adalah pelindungnya, jangkarnya. Dia menyediakan keamanan, stabilitas, dan yang terpenting, rasa hormat. Di mata Risa, Dika adalah pria baik yang tidak pernah menuntut banyak, kecuali kesetiaan dan hidangan makan malam yang hangat.
Namun, di balik ketenangan itu, ada kerinduan yang samar. Dika, meski bertanggung jawab, adalah pria yang kaku dan jarang mengekspresikan perasaannya. Kehidupan pernikahan mereka terasa... datar. Malam-malam mereka lebih sering dihabiskan dalam keheningan yang nyaman daripada dalam obrolan hangat atau sentuhan mesra. Risa sering mendapati dirinya menatap langit-langit, bertanya-tanya apakah semua pernikahan hanya seperti ini: damai, tetapi kurang gairah. Ia tidak berani menuntut lebih, takut merusak keharmonisan yang telah susah payah ia bangun. Rasa bersalah akan pikiran itu selalu menahannya untuk tetap diam.
Kedatangan Tetangga Baru
Tiga bulan yang lalu, ketenangan Jatiwangi sedikit terusik-tentu saja, dalam artian yang baik-dengan kepindahan Hardiman. Rumahnya, yang terletak hanya tiga rumah dari Risa dan Dika, adalah bangunan beton modern minimalis yang terasa kontras dengan arsitektur tradisional desa.
Hardiman, atau yang akrab dipanggil "Pak Hardi" oleh warga desa karena usianya yang menjelang kepala empat, adalah seorang pengusaha sukses dari kota yang memutuskan untuk mencari ketenangan (katanya) di desa. Dia tampan, dengan garis wajah yang tegas dan tatapan mata yang tajam namun penuh senyum. Dia mengenakan kemeja rapi yang selalu beraroma parfum mahal, dan motor matic besarnya seringkali memecah keheningan gang desa.
Yang paling membuat Hardiman segera diterima adalah sikapnya yang ramah dan dermawan. Ia sering membagikan sembako, menyumbang untuk perbaikan mushola, dan selalu punya waktu untuk mendengarkan keluh kesah warga. Di mata Dika, Hardiman adalah aset desa, seorang warga kota yang membawa angin segar. Di mata Risa, Hardiman adalah sosok yang kontras dengan suaminya: ia riang, humoris, dan pandai merangkai kata.
Risa pertama kali berinteraksi dengannya saat Dika memintanya mengantarkan sekantong besar pisang hasil panen ke rumah Hardiman sebagai ucapan selamat datang resmi.
"Silakan masuk, Bu Risa. Terima kasih banyak, ini terlalu banyak," ujar Hardiman dengan senyum yang begitu tulus, nyaris memukau. Ia berbicara dengan intonasi yang lembut, berbeda dengan cara bicara Dika yang cenderung bernada perintah atau laporan.
Risa, seperti biasa, hanya menunduk malu, "Tidak apa-apa, Pak. Ini dari Mas Dika. Katanya biar Bapak kerasan."
"Saya sudah sangat kerasan. Terutama sekarang, setelah tahu tetangga saya seramah ini." Hardiman melirik sekilas ke mata Risa, kilatan singkat namun penuh makna yang membuat pipi Risa memanas. Itu adalah tatapan yang meluluhkan, sebuah jenis perhatian yang sudah lama tidak Risa rasakan.
Sejak saat itu, interaksi mereka mulai terjadi. Tidak sering, hanya kebetulan. Saat Hardiman menyiram tanaman, Risa sedang menyapu halaman. Mereka akan bertukar sapa singkat, namun setiap sapaan dari Hardiman selalu meninggalkan jejak, membuat jantung Risa berdebar sedikit lebih cepat dari biasanya. Ia sering mencela dirinya sendiri karena respons tubuh yang tidak sopan itu. Aku sudah bersuami, selalu ia ingatkan.
Pertemuan Tanpa Sengaja
Puncak dari interaksi yang "tidak sengaja" ini terjadi pada suatu sore, sekitar pukul empat, saat matahari mulai condong ke barat, melemparkan bayangan panjang di jalan setapak.
Risa baru saja kembali dari warung di ujung desa. Ia membawa bungkusan plastik berisi telur dan bumbu dapur. Karena sibuk melihat jalanan yang licin sehabis hujan, ia tidak memperhatikan ada sepeda motor yang datang pelan dari arah belakang.
"Awas!" seru sebuah suara.
Tiba-tiba, sebuah tangan kuat mencengkeram lengan atas Risa dan menariknya cepat ke samping. Risa limbung, bungkusan di tangannya jatuh, dan ia berakhir menempel pada dada bidang seseorang.
"Maaf, Risa, kamu tidak apa-apa?"
Suara itu. Itu adalah Hardiman. Motor yang hampir menyerempetnya adalah seorang kurir yang sedang melaju kencang tanpa klakson.
Risa segera melepaskan diri, wajahnya merah padam. "Saya... saya tidak apa-apa, Pak Hardi. Terima kasih. Ya ampun, saya ceroboh sekali."
"Tidak, ini salah pengemudi itu. Untung saya ada di belakangnya." Hardiman berjongkok untuk memunguti telur yang pecah dan bumbu dapur yang tumpah. "Maafkan saya, harusnya saya lebih cepat menahanmu. Lenganmu pasti sakit."
Tanpa meminta izin, Hardiman membalikkan lengan Risa yang tertutup kain, memperlihatkan sedikit kemerahan bekas genggamannya yang kuat tadi. Jari-jari hangat Hardiman menyentuh kulitnya. Sentuhan itu begitu cepat dan tidak disengaja, namun terasa sangat intim. Risa merasakan gelombang listrik halus menjalar di lengannya, naik ke tengkuknya.
"Tidak, Pak. Saya tidak apa-apa," bisik Risa, nyaris tak bersuara. Ia menarik lengannya kembali, tidak tahan dengan kehangatan dan kedekatan yang berbahaya itu.
Hardiman berdiri tegak, membuang sisa-sisa telur yang pecah ke pinggir jalan. Senyumnya, yang biasanya riang, kini memiliki sedikit bayangan penyesalan dan kepedulian yang mendalam.
"Biarkan saya mengganti semua belanjaanmu. Tolong, jangan tolak. Ini sebagai permintaan maaf karena hampir mencelakakanmu."
Risa mencoba menolak, tetapi Hardiman sudah memegang lengannya, kali ini hanya di pergelangan, dan menariknya perlahan menuju rumah. "Ayo, Risa. Jangan mempersulitku untuk menjadi tetangga yang baik."
Di dalam rumah Hardiman-yang beraroma vanila dan peppermint, jauh berbeda dari rumahnya yang berbau kayu dan masakan-Hardiman memberinya uang tunai yang jauh melebihi harga belanjaannya, dan bahkan menawarkan Risa segelas air dingin.
Saat Risa hendak pamit, Hardiman menahannya di ambang pintu. "Risa," katanya, kali ini tanpa 'Bu' atau 'Pak', "Saya senang kamu aman. Jaga dirimu baik-baik. Kalau ada perlu apa-apa, jangan sungkan. Anggap saja aku... kakakmu di sini."
Ucapan itu terdengar tulus, sebuah tawaran persahabatan murni. Tapi bagi Risa, ada sesuatu di balik tatapan Hardiman-sebuah janji tersembunyi, sebuah pengakuan diam-diam bahwa dia melihatnya tidak hanya sebagai istri Dika, tetapi sebagai Risa yang utuh.
Ancaman Halus dan Garis yang Kabur
Setelah insiden itu, Hardiman mulai sering datang ke rumah Dika. Alasannya selalu profesional: berkonsultasi tentang izin pembangunan gudang, membahas iuran keamanan desa, atau sekadar membawakan oleh-oleh kopi. Dika senang dengan kedekatan ini. Ia melihat Hardiman sebagai mentor bisnis dan teman yang berharga.
"Hardiman itu orangnya pintar, Sa. Kita harus bergaul dengannya," kata Dika suatu malam sambil membaca koran. Risa hanya mengangguk sambil mencuci piring. Ia merasa tenggorokannya tercekat.
Namun, di sela-sela pertemuan bisnis dengan Dika, Hardiman mulai melancarkan ancaman halusnya.
Hardiman memiliki kebiasaan datang di saat Dika tidak ada. Suatu pagi, Dika sudah berangkat ke kota, dan Hardiman muncul di pintu.
"Pagi, Risa. Maaf mengganggu, aku cuma mau memastikan Dika sudah menerima berkas ini," katanya sambil menyerahkan amplop cokelat.
Risa mengambilnya, jarinya menyentuh jari Hardiman. Hardiman tidak melepaskan kontak itu dengan cepat. Ia menahan tangan Risa sedikit lebih lama.
"Kau tahu, Risa," bisik Hardiman, suaranya pelan dan mengarah pada rahasia, "Dika sangat beruntung memilikimu. Dia pria yang baik, tapi dia sibuk. Dia tidak melihat betapa cantiknya kamu saat sedang melamun di teras itu."
Risa terperanjat, matanya membulat. Ia sering melamun di teras setelah Dika pergi. Ia tidak tahu ada yang memperhatikan.
"P-Pak Hardi..."
Hardiman melepaskan tangannya, tersenyum sinis. "Aku hanya mengatakan kebenaran. Jangan cemas. Aku tidak akan memberitahu Dika kalau istrinya kurang perhatian," katanya dengan nada ringan, tetapi ada tekanan yang jelas di balik kata-katanya. Itu bukan pujian; itu adalah sebuah pengakuan bahwa dia tahu kelemahan pernikahan Risa.
Sejak saat itu, Risa merasa diawasi. Hardiman tidak lagi hanya menjadi tetangga yang ramah. Dia adalah predator yang sabar, yang bersembunyi di balik topeng kepedulian. Risa mulai merasa paranoid. Ia menghindari teras, menutup rapat jendela, dan sebisa mungkin tidak keluar rumah saat Dika tidak ada.
Suatu sore, Risa sedang menyiram tanaman saat Hardiman muncul di pagar. "Risa," panggilnya lembut.
"Ya, Pak Hardi?" jawab Risa, mencoba menjaga jarak.
"Aku butuh bantuan. Ada tikus di dapurku, dan aku benar-benar takut. Bisakah kamu..." Hardiman membuat gerakan memohon.
"Minta tolong Pak Rahmat saja, Pak. Beliau kan juru kunci," potong Risa cepat.
Hardiman tersenyum penuh arti. "Tapi aku ingin kamu, Risa. Lagipula, bukankah kita tetangga yang baik? Aku cuma butuh lima menit. Dika kan percaya padaku."
Kalimat terakhir itu-Dika kan percaya padaku-adalah pukulan telak. Itu adalah kode, sebuah pengingat bahwa kepercayaannya Dika adalah izin Hardiman untuk mendekati Risa. Risa tahu ia harus menolak, tetapi kepolosannya menjebaknya. Menolak akan menciptakan kecurigaan. Berarti ia mengakui adanya ketegangan.
Dengan napas tertahan, Risa meletakkan selang air. "Baik, Pak Hardi. Tapi sebentar saja."
Ia tidak tahu bahwa langkah kecil yang ia ambil menuju pintu rumah Hardiman adalah langkah pertama yang menghancurkan batas, yang akan membawanya ke dalam permainan terlarang yang ia tak pernah bayangkan. Di ambang pintu itu, Risa merasa seperti boneka yang tali-talinya sedang ditarik oleh kekuatan yang lebih besar dan licik. Ia, si polos Risa, baru saja membuka pintu ke dunia yang penuh kenikmatan terlarang dan candu.
Bab 1 definisi sejati
09/10/2025
Bab 2 kotak Pandora yang elegan
09/10/2025
Bab 3 Hidup Risa kini terbelah menjadi dua
09/10/2025
Bab 4 Hubungan gelap Risa dan Hardiman
09/10/2025
Bab 5 Risa tidak lagi mencari kenikmatan
09/10/2025
Bab 6 Keheningan yang ditinggalkan
09/10/2025
Bab 7 Perpisahan terakhir
09/10/2025
Bab 8 pencapaian kecil
09/10/2025
Bab 9 Kehidupan Risa sebagai istri Ridwan
09/10/2025
Bab 10 bekas luka
09/10/2025
Bab 11 sang pembalas dendam
09/10/2025
Bab 12 seorang ibu yang bijaksana
09/10/2025
Bab 13 mengubah cara ia berinteraksi
09/10/2025
Bab 14 berkumpul di rumah mereka
09/10/2025
Bab 15 hanyalah ketenangan
09/10/2025
Bab 16 Ridwan dan Damara
09/10/2025
Bab 17 Kina tidak puas
09/10/2025
Bab 18 Warisan
09/10/2025
Bab 19 bukan di meja kerja
09/10/2025
Bab 20 menunggunya di kota
09/10/2025
Bab 21 Penyesalan
09/10/2025
Bab 22 kesempatan
09/10/2025
Bab 23 dikunjungi oleh ribuan orang
09/10/2025
Bab 24 keturunan
09/10/2025
Bab 25 Cincin itu kusam
09/10/2025
Bab 26 Ruangan
09/10/2025
Bab 27 sepasang suami istri
09/10/2025
Buku lain oleh Moh. Munif
Selebihnya