Istri Bodoh Yang Terlalu Percaya Suaminya
rumah itu beraroma berbeda: perpaduan peppermint, vanila, dan aroma maskulin yang tajam, asing, dan entah mengapa, memabukkan
erti beludru, lembut dan menghasut. Ia menutup pintu tanpa suara, membuat Risa me
monokrom. "Jadi, di mana tikusnya, Pak Hardi?" tanyanya, suara
ekali tidak mencerminkan ketakutan pada tikus. "Oh, tikus itu. Dia licik, Ri
serba stainless steel, dan tertata rapi. Risa melihat-lihat sekeliling, mencari t
dia?" t
sana," bisiknya, suaranya kini sangat rendah, "di balik lemari es. Aku
ranya?" tanya Risa, kebingungan mula
i meja bar dan mendudukkan Risa di sana. "Sebelum kita berburu tikus, ki
gelas kristal yang elegan di meja. Di dalamnya sudah
i, Pak
cemas, Risa. Ini cuma jus anggur fermentasi. Dika sering m
dari Hardiman saat rapat. Tetapi ia tidak pernah m
repot-repot datang. Aku tidak punya air putih dingin," desak Hardiman, mat
oleh ketakutan jika menolak akan dicurigai, Risa akhirnya meraih gelas itu. Ia menyesapnya sedikit. Rasa manis dan as
" Hardiman tersenyum penuh kemenan
Terlaran
an ketegangan di bahu Risa. Ia menjadi se
un di teras," ujar Hardiman, menguba
jut. "Bapa
pian, Risa. Itu membuatku sedih," katanya dengan nada
Saya hanya memikirkan pekerja
ai fungsinya: istri, juru masak, pengurus rumah. Dia tidak melihat keindahan di balik mata itu.
melainkan karena terkejut oleh keintiman yang tiba-tiba dan tak terdug
erbisik, mencoba menarik diri, tetapi t
ajahnya. Jarak mereka kini hanya sejengkal. Risa bisa m
adamu bagaimana rasanya dilihat,
bayangkan. Ia meraih tangan Risa yang bebas dan menuntunnya, bukan ke le
diputar, volumenya dikecilkan. "Dika pasti tidak akan tahu. Dia tidak pernah datang ke rum
k Hardi. Mas Dika akan
menyalakan lampu redup di sudut ruangan, yang memberikan pencahayaan lembut yang romantis. Hardiman
yang melankolis dan sensual
kan sesuatu selain rutinitas. Dika t
u menariknya. Hardiman mulai bergerak, perlahan, memimpinnya dalam tarian yang sangat lambat, hanya pergeseran kecil
"Kau tahu, Risa. Kenikmatan terlarang itu ada karena ia jau
rdiman, permainan psikologis yang bertujuan menghancurkan pertahanan Risa, sedikit dem
si Gari
waktu terasa melebur. Hardiman semakin mendekat, tangan yang semula hanya memegang telapak tangannya kini meling
dari kontak fisik itu adalah sensasi baru yang menenangkan dan, secara mengejutkan, memuaskan. Sentuhan Hardi
ganya. "Sangat cantik. Jangan sembunyikan keindahan
teng terakhir Risa. Rasa cemburu pada kehidupan yang lebih bergairah
hampir jatuh. Ia tidak menangis kar
gambil langkah yang menentukan
, cepat, dan hampir bersifat kewajiban dari Dika. Ciuman Hardiman menuntut, panas
nnya menekan dada Hardiman. Ia adalah ist
memegang wajah Risa dengan lembut, seolah ia adalah harta karun yang rapuh. Ia memperd
mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam kenikmatan terlarang yang baru saja ia cicipi. Semua prinsip,
i api penyucian yang membakar h
askannya, napas Risa tersengal-sengal. Wajahnya merah padam
kamu menginginkannya. Kamu hanya butuh seseorang untuk
an Janj
sa tidak bisa kemba
ndukannya. Ia merindukan sentuhan yang mengakui eksistensinya sebagai wani
telah menang. Ia tidak memaksa
am dirinya ada kekosongan yang diisi oleh rasa bersalah yang manis. Di bawah selimut, s
setangkai bunga mawar merah yang terselip di antara dedaunan. Itu adalah bunga yang tidak tumbuh di Jatiwang
gan, ancaman, dan janj
tai Dika, meski Dika kaku. Namun, hasrat yang dibangkitkan oleh Hardiman begitu kuat
uk rapat mendadak di kota. Ini adala
ntulannya, ia melihat wanita yang berbeda-bukan lagi Risa yang polos dan pemalu, t
etapi berjalan perlahan, dengan jantung
, pria itu sudah menunggu di terasnya, me
ata Hardiman, senyumnya menyir
ardi. Ini salah," bisik Risa, s
li ini. Ia hanya berdiri di antara Risa dan pintu ruma
asa enak. Aku bisa memberimu apa yang tidak bisa diberikan Dika: gairah, pengak
an merusak. Di satu sisi, ada keamanan Dika yang hambar. Di si
agi menolak. Kali ini, ia tidak terpaksa. Perlaha
curkan batas, dan Risa tak perna
senyum ramah tetangga, melai