Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Ditinggalkan Karena Burik

Ditinggalkan Karena Burik

Bun Say

5.0
Komentar
13.7K
Penayangan
33
Bab

Aisyah ditinggalkan oleh suaminya hanya karena kulitnya yang burik. Tanpa Andra tahu jika keadaan bisa berubah. Aisyah berubah dalam waktu sekejap dan itu membuat Andra menyesal telah membuangnya. Namun demikian mereka terlibat hubungan dimana mereka harus berpura-pura untuk baik-baik saja di depan kedua orang tua mereka.

Bab 1 Hinaan Andra

Hinaan Andra

Suara motor Mas Andra terdengar menderu di halaman. Setelahnya pria itu terdengar membuka pintu bahkan sebelum aku berjalan mendekat ke arahnya.

"Kamu sudah pulang, Mas?" tanyaku pada pria yang dua tahun ini sudah menikahiku.

Namun, bukannya menjawab, pria itu malah berpaling ke arah lain bahkan untuk mengulurkan tangannya padaku pun, sepertinya jijik. Tanpa kata, Mas Andra melewatiku begitu saja dengan wajahnya yang terlampau dingin. Sama sekali tidak menegaskan kesan sebagai seorang suami yang baik kepada pasangannya.

Ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, setidaknya aku harus tahu alasan Mas Andra membenciku. Berusaha menegarkan hati, aku mencoba bertanya kembali padanya.

"Kenapa kamu terus memperlakukan aku seperti ini, Mas? Apa salahku padamu?" tanyaku dengan mata yang pasti sudah berkaca-kaca, karena jujur aku tak mengerti. Aku tak nyaman mendapatkan perlakuan seperti ini terus-menerus. Kedua orang tuaku selalu bersikap lemah lembut saat di rumah, tak pernah kami berseteru apalagi dalam kemarahan hingga waktu berbulan-bulan. Tapi sekarang, suamiku sendiri yang bertingkah seperti itu.

Perlakuan Mas Andra padaku sudah berjalan selama lebih dari lima bulan lamanya.

"Kamu mau tahu alasannya?" Mas Andra berbalik dengan mata tajam, saat aku mengangguk dengan cepat. Terlihat kebencian di matanya yang kecoklatan untukku.

"Karena kamu itu burik! Dan nggak ada cantik-cantiknya sama sekali! Aku bosan dan benar-benar jijik sama kamu, Aisyah!" sarkas Mas Andra terdengar marah, lalu membanting pintu kamar dan menguncinya dari dalam bahkan sebelum aku sempat membalas ucapannya.

Setelahnya kudengar teriakan kesal. Aku mendekati pintu, dan mendengar Farel yang tengah tertidur, seketika terdengar menangis kencang.

Ya Allah, kenapa Mas Andra jadi nggak bisa mengontrol emosinya? batinku bicara. Apakah hanya karena kulitku yang burik, hingga Mas Andra berlaku kasar tiap hari padaku? Atau mungkin dia memiliki sebuah alasan lain untuk itu? Jujur aku tak mengerti.

Jika alasannya karena kulitku yang burik ini, itu sama sekali bukanlah kesalahanku. Kulitku memang sensitif, Mas Andra juga tak mampu membelikanku skin care, apalagi ditambah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari, sangatlah jauh dari kata layak. Ya, kami mengontrak rumah di kawasan padat penduduk dengan sumber air yang menguning, dan bau besi berkarat. Tapi seharusnya itu bukanlah kesalahanku, karena jika Mas Andra memiliki gaji yang lebih besar, kami bisa pindah ke tempat lain yang sumber airnya lebih baik. Setidaknya, jika tidak ada sumur bor, maka bisa menggunakan air PDAM yang bening dan tidak merusak kulitku.

Pintu kembali terbuka, saat tanpa sadar aku menatapnya yang berkacak pinggang. Mas Andra saat ini persis seperti seorang preman yang berniat menghab**i lawannya. Membuatku jelas sangat ketakutan.

"Aisyah, urus anakmu yang berisik itu! Dan Jangan biarkan dia menangis terus menerus! Aku pusing mendengarnya!" titahnya seperti seorang raja. Aku mengangguk dan enggan berdebat. Malu juga pada tetangga kanan kiri yang rumahnya jelas berdempetan.

"Baik, Mas." Benar saja Farel sudah nangis kejer. Segera kudekati dan kuberikan asi agar tangisnya berhenti. Setelahnya, terdengar suara motor yang menderu di halaman dan pengendaranya pergi. Kebiasaan Mas Andra jika sedang marah, maka pria itu akan memilih pergi sebagai pelarian.

Ya Tuhan, kenapa rumah tanggaku jadi seperti ini. Tanpa terasa air mataku berlinang begitu saja.

******

"Heh, Aisyah. Suamimu marah-marah lagi hari ini?" Bu Nur langsung bertanya ketika aku keluar rumah untuk membuang sampah.

"Biasa saja, Bu," kilahku karena tidak ingin membuat wanita itu merasa memiliki jalan untuk semakin menghinaku.

Di lingkungan ini, Bu Nur sudah terkenal karena mulutnya yang kadang tidak bisa disaring dan suka sekali mencampuri masalah orang lain. Dan akhir-akhir ini, sasarannya tentu saja adalah aku dan Mas Andra. Mungkin karena sering mendengar suamiku itu berkata keras, hingga memancing kuping tetangga untuk semakin mencari tahu tentang keadaan rumah tanggaku yang sebenarnya.

"Ya sudah sih, kamu tinggalkan aja suamimu yang kasar dan pemarah itu. Lagi pula kalau aku punya suami seperti itu, malas banget. Udah gajinya kecil, suka marah-marah lagi. Aku sih pasti udah tinggalin dari dulu. Lagian kamu itu cantik dan masih muda lho, pasti bisa mendapatkan suami yang lebih baik daripada si Andra yang cuma karyawan biasa itu."

"Di sini saya posisinya saya adalah istrinya Mas Andra lho. Kenapa ibu yang malah lebih gemes sepertinya?"

"Eh, kamu itu kalau dibilangin memang benar-benar nggak nurut, ya. Bodoh, dasar mentang-mentang datang dari kampung. Digituin sama lakinya aja, kamu tetap aja masih sabar!" Suara Bu Nur naik beberapa tingkat, langsung berlalu masuk ke dalam rumahnya. Setelahnya, terdengar pintu yang ditutup sedikit kencang, membuatku lagi-lagi harus mendesah berat, melihat perlakuan orang-orang di sekitarku, yang bukannya saling menguatkan saling menolong malah saling menjatuhkan.

Daripada aku memikirkan wanita itu yang jauh dari kata ramah, dan hanya mencari gara-gara saja, kuputuskan untuk kembali ke dalam dan pergi ke dapur, menyiapkan makan malam. Kebetulan hari juga beranjak sore dan gelap sebentar lagi menyapa.

Kulihat beras ternyata tinggal dua liter saja. Dan beras ini harus cukup sampai hari sabtu, sebelum Mas Andra memberi uang belanja di hari minggu. Sayur kangkung yang seikat dengan tempe di sampingnya itu, kuputuskan untuk memasaknya segera, sebelum Farel kembali bangun. Bayi berusia dua bulan itu memang tidak rewel, dan itu membuatku sedikit terobati, ditengah sikap Mas Andra yang masih saja buruk.

******

Lega rasanya setelah menunaikan ibadah salat magrib dan berdzikir sebentar, lalu mencurahkan segenap keluh kesah kepada Sang Pemilik Takdir. Kulipat mukena dan sajadah dan mengembalikan ke tempatnya semula. Farel masih anteng di tempat tidur, bahkan bayi itu tengah anteng sambil mengemut ujung jarinya.

Kudekati putra tampanku itu, kemudian membawanya ke ruang tamu. Kontrakan yang hanya tiga petak ini membuatku wara- wiri hanya disekitaran itu-itu saja.

Kuputuskan untuk menonton tv sambil menunggu makan malam. Meski kuakui perutku semakin keroncongan karena tadi siang hanya makan sedikit, semua itu demi menghemat pengeluaran.

Suara Mas Andra terdengar berbincang dengan seseorang di luar rumah. Tampak akrab dengan lawan bicaranya yang kuduga adalah Pak Tarso, suaminya Bu Nur.

Pintu dibuka dari luar. Mas Andra seperti biasanya langsung masuk tanpa mengucap salam terlebih dahulu. Kebiasaan yang turut hilang selama lima bulan ini. Entah apa kesalahanku yang begitu besar, hingga membuat pria itu sama sekali tidak mentolerir dan sama sekali tidak menganggapku berada di sisinya. Padahal dulu sikap pria itu sangat manis, terlebih lagi ketika berkunjung ke kampung untuk meminangku kepada kedua orang tuaku.

"Mas, kamu mau makan sekarang?" tanyaku sambil berdiri dengan Farel di gendongan.

"Aku sudah makan di luar!" ucapnya tanpa mau repot-repot mengalihkan pandangan padaku. Seperti biasanya, akan masuk ke dalam kamar kemudian menutup pintu dengan kasar. Aku sampai memegangi dadaku saking terkejutnya, dan kembali duduk di ruang tv. Membaringkan Farel di atas tempat tidur, lalu segera berjalan ke dapur untuk mengambil nasi dan lauk.

Sepertinya tak guna terus-terusan membaik-baiki pria itu, jika Mas Andra sendiri tidak mencoba untuk merubah akhlak dan perlakuannya kepadaku.

Rasa lapar yang kutahan sejak tadi, membuatku sampai gemetaran. Apalagi Farel kuat sekali jika menyusu, hingga beberapa puluh menit lamanya, membuatku makan dengan rakus sambil menonton sinetron yang belakangan ini booming dan menjadi idola kaum emak-emak sepertiku.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Bun Say

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku