Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Ratapan Kekasih: Kembalilah padaku
Jesika adalah nama gadis cantik itu. Gadis yang kini sedang duduk di lobi salah satu hotel berbintang yang berada di pusat kota. Diantara gadis-gadis lain yang kebetulan ada disana, Jesika memang terlihat lebih mencolok. Parasnya yang cantik alami pastilah membuat laki-laki tergoda untuk meliriknya.
Termasuk beberapa laki-laki yang kebetulan juga berada disana. Tidak sedikit diantara lirikan tersebut sempat beradu dengan tatapan Jesika. saat itu terjadi diantara mereka ada yang melempar senyuman, ada pula yang langsung tertunduk malu. Sebuah hal yang biasa bagi Jesika, sehingga ia terlihat tidak terlalu terganggu karenanya.
Jesika mengalihkannya pandangan dari layar smart phone yang dipegangnya. Matanya melirik lagi ke arah laki-laki paruh baya yang duduk beberapa meter didepannya. Tatapan laki-laki itu masih ke arah yang sama seperti saat tadi pertama kali ia memergokinya. Tatapan nanar ke arah kedua pahanya. Ekspresi ‘mupeng’ tergambar jelas diwajahnya. Keberadaan sang istri disampingnya seakan dianggapnya tak ada.
“Huuupt...”
Jesika merubah posisi duduk dengan menyilangkan kedua kakinya. Mengunakan tas jinjing ia menutup celah diantara rok jeans pendek yang dipakainya. Perhatiannya pun kembali tertuju kepada sosial media yang tadi sempat teralihkan. Sebenarnya Jesika tidak masalah apabila laki-laki paruh baya itu ingin menikmati apa yang ada di balik roknya, asalkan ada kompensasi yang cocok.
Kompensasi? Iya, kompensasi berupa uang.
Di balik profesinya sebagai mahasiswi semester akhir, Jesika juga memiliki profesi lain sebagai wanita penggilan kelas atas alias lady escort. Profesi ini sudah ia jalani cukup lama, hampir sejak awal ia mulai menyandang gelar sebagai mahasiswi. Jika anda ingin saya membuka paha, maka kuraslah isi dompet anda.
Itulah persyaratan yang ditetapkan Jesika. Jesika tidaklah kebetulan berada di hotel berbintang itu. Di hotel itu Jesika sedang menunggu laki-laki yang memiliki cukup modal untuk memenuhi persyaratannya. Entah apa yang mendasari ia menjalani profesi ini.
Faktor ekonomi? Oh tentu tidak.
Jesika bukanlah tergolong gadis yang berasal dari keluarga berkekurangan secara ekonomi.
Faktor sosial? Jawabannya tidak juga.
Jesika tidak berada dalam lingkungan yang memungkinkan untuk menjerumuskannya kepada profesi tersebut. Mungkin untuk alasannya, biarlah gadis cantik itu saja yang mengetahuinya sendiri.
Beberapa menit menunggu akhirnya ponsel yang dipegangnya berbunyi. Jesika menekan tombol jawab. “Halo.”
“Kamu dimana?”
“Jesika udah di lobi nih Om.”
“Udah lama nunggu? Maaf tadi Om kejebak macet.”
“Gak apa-apa kok Om,” sahut Jesika.
“Kalau gitu kita ketemu di resepsionis aja, gimana?”
“Oke Om.”
Jesika menutup ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas. Sebelum berdiri, sekali lagi Jesika melirik ke arah laki-laki dihadapannya. Masih dengan tatapan yang sama, masih dengan ekpresi yang sama. Dengan sengaja Jesika membuka sedikit lebar kedua paha saat mengembalikan silangan kakinya.
Jesika kembali membuka kedua pahanya saat memperbaiki posisi high heel yang dipakainya. Hanya saja kali lebih lebar dari sebelumnya. Semua gerakan itu sengaja ia lakukan dengan pelan dan perlahan. Jesika tahu benar kalau posisi kakinya saat ini membuat apa yang seharusnya tidak terlihat, menjadi terlihat.
Lirikan Jesika berubah menjadi tatapan tepat saat laki-laki itu mengalihkan arah pandangannya. Kedua mata mereka beradu. Ekspresi laki-laki itu mendadak berubah tegang. Oke cukup, pikir Jesika. Diapitkan kembali kedua pahanya, lalu gadis cantik itu berdiri.
Laki-laki itu terlihat semakin tegang ketika Jesika berjalan menuju ke arahnya dan melempar senyuman. Laki-laki itu menjadi salah tingkah karena perbuatan nakalnya ketahuan. Melihat Jesika yang tersenyum kepada suaminya, si istri langsung melengos dan mencubit paha suaminya.
“Rasakan itu,” gumam Jesika dalam hati.
Jesika dengan santainya berjalan melewati pasangan tersebut. Sekilas gadis cantik itu bisa mendengar sang istri menghardik suaminya. Guratan kepuasan terpancar di wajah Jesika. Paling tidak disaat yang sama ia mendapat pahala karena menghilangkan rasa penasaran laki-laki itu, sekaligus memberikan sedikit ‘pelajaran’ atas kenakalannya. Ia pun terus melanjutkan langkahnya menuju resepsionis.
“Jesika?” tanya seorang laki-laki yang berpenampilan necis di depan meja resepsionis.
“Pak Ganwa?”
“Waw ternyata benar kata teman Om, kamu cantik sekali.”
“Terima kasih,” ucap Jesika singkat sambil tersenyum. Mungkin pujian seperti ini sudah terlalu sering ia dengar, sehingga bukanlah sesuatu yang luar biasa untuk Jesika.
Laki-laki yang dipanggil Pak Ganwa itu berperawakan semampai. Agak terlihat pendek dibanding postur tubuh Jesika yang saat itu memakai high heel. Beberapa helai rambutnya sudah tampak memutih metampakkan kematangan usia – kalau tidak boleh disebut tua. Belum lagi kerutan-kerutan di wajahnya menambah kesan ‘tua’ tersebut.
Dari segi wajah, Pak Ganwa ini jauh dari yang dapat didefisikan sebagai tampan. Menurut informasi dari ‘klien’ langganan Jesika yang memperkenalkan mereka, Pak Ganwa ini adalah seorang pengacara. Ini juga terlihat dari setelan jas hitam yang dipakainya saat itu. Setelan itu jelas terlihat mahal.
Tapi wajah dan penampilan bukanlah yang utama. Di mata Jesika yang utama adalah si ‘klien’ bisa memenuhi standar harga yang ditetapkannya, itu saja.
“Kamu tunggu sebentar, biar Om nyelesaiin administrasinya dulu.”
Jesika hanya mengangguk. “Silakan.”
Sambil menunggu Pak Ganwa menyelesaikan urusannya, Jesika melihat-lihat dan berjalan-jalan ke sekitar. Ada sepasang turis asing di sampingnya terlihat sedang menyelesaikan pembayaran untuk check out. Dia mengambil brosur hotel yang disediakan di sudut meja resepsionis.
Jesika berdecak kagum dengan harga kamar hotel yang tertera di brosur. Pak Ganwa ini pastilah berdompet tebal sampai mampu mengajaknya ke hotel dengan tarif setinggi ini. Jesika terkesan.
“Oke sudah, yuk kita ke kamar.”
Jesika meletakkan brosur itu kembali dan mengikuti langkah Pak Ganwa menuju lift. Tak lama pintu lift terbuka. Keduanya kemudian masuk ke dalam lift yang kebetulan kosong.
“Kamu gak kuliah hari ini?” tanya Pak Ganwa.
“Gak Om, Jesika udah gak kuliah tinggal nyusun.”
“Oh dikit lagi wisuda dong?”