Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
Windy menyeka bulir keringat pada dahi. Nafas berat keluar dari belah bibirnya. Satu per satu box coklat berbagai ukuran ia pindai sembari berhitung dalam hati.
Pas. Semuanya dalam jumlah yang sama persis sebelum ia berangkat 2 jam yang lalu. Windy bergerak mendekati pintu balkon, dia buka lalu ia hirup udara senja yang menyapa hangat paras jelitanya.
Windy terpaku manakala netra kilaunya melihat serat lembayung yang terbentang luas di langit biru. Menarik kedua ujung bibirnya hingga membentuk sebuah kurva senyuman.
Lembayung senja selalu menjadi hal yang paling ia sukai. Selain wujudnya yang elok, menyaksikan langit berselimut oranye keemasan terbilang cukup jarang terjadi bagi Windy. Maka dari itu, Windy rela berdiam diri di jendela maupun pintu balkon demi menatap sang cakrawala.
"Windy, mau sekalian aku bantu nyusun barang?" Chacha, gadis bertubuh mungil dengan poni samping yang menutupi setengah dahi. Gadis itu baru saja selesai berkeliling memandang tiap sudut ruangan.
"Boleh deh, tolong susun barang-barang buat bagian dapur ya Cha? Aku susun buat yang di kamar, sisanya biar besok aja," ujar Windy menerima bantuan Chacha.
***
Matahari telah sepenuhnya berpulang ke ufuk barat. Begitu pula dengan Windy dan Chacha yang baru saja selesai menata barang. Keduanya kini sedang menunggu makan malam yang mereka pesan melalui aplikasi.
"Tumben orang tua kamu kasih izin buat tinggal sendiri dan pisah jauh dari mereka."
Chacha meneguk sekaleng soda ketika serbuk bumbu pada keripik kentang mulai membuat tenggorokannya tidak nyaman. Sembari menunggu hidangan utama datang, keduanya mengganjal rasa lapar lebih dulu dengan kudapan yang sempat mereka beli saat perjalanan kemari.
"Itu pun nggak mudah, Cha. Terutama Papa, kamu tahu sendiri kan Papa gimana."
Chacha mengangguk pelan.
Papa Windy adalah salah satu orang yang cukup over protektif terhadap Windy. Selain karena ia anak tunggal, hidup sendiri dan jauh dari orang tua tidak selalu menjadi pilihan baik untuk perempuan.
Wajar. Sampai sekarang pun, masih banyak orang tua yang enggan melepas jauh putri mereka. Menurut sebagian besar orang tua, sangat beresiko bagi kaum hawa tinggal seorang diri di luar sana. Apalagi insiden kejahatan lebih rentan terjadi pada wanita.
Akan tetapi, separuh dari mereka jadi merasa sulit untuk bergerak, terutama dalam meraih mimpi atau cita-cita.
"Aku harus yakinin Papa setiap hari. Terutama membangun kepercayaan Papa sama aku. Mama juga bantu supaya hati Papa luluh. Dan ya, usaha tidak menghianati hasil. Papa setuju, dengan syarat setiap akhir pekan aku harus pulang ke rumah orang tua, juga lebih rajin kasih kabar.”
Sebenarnya, salah satu alasan kuat Windy diizinkan lepas karena kondisi kesehatannya. Perjalanan dari rumah ke kampus butuh menempuh waktu sekitar 1 jam lebih, bahkan bisa hampir 2 jam bila kondisi jalanan terlalu macet. Aktivitas kampus yang kian padat, ditambah lagi perjalanan pulang yang sangat menguras tenaga serta waktu, Windy akhirnya jatuh sakit dan dirawat.
Tidak ingin kondisi putrinya semakin memburuk, akhirnya orang tua Windy mengizinkan Windy tinggal di salah satu apartemen di tengah hiruk pikuk ibu kota.
"Eh, itu makanannya udah dateng."
Chacha sontak berdiri dan berjalan cepat menuju pintu utama. Diterimanya 1 kantong berukuran cukup besar yang berisi berbagai menu makanan yang mereka pesan.
"Terima kasih ya Pak," ucap Chacha.
Usai memberikan beberapa lembar uang, Chacha berbalik masuk, menaruh makanan di atas meja pantry lalu mengeluarkan semua kotak sekaligus membukanya.
Windy datang menghampiri dan duduk di salah satu kursi.
"Kamu besok ngampus Win?"
Windy menggeleng pelan seraya berujar, "aku nggak ada jadwal kuliah besok, jadi bisa fokus beresin sisa barang yang belum disusun," jelas Windy kemudian balik bertanya.
"Kamu sendiri gimana?"
"Aku ada kelas pagi besok. Cuman 4 sks sih. Dari jam 8 sampai jam 12 siang. Kalau kamu mau, besok pas pulang aku langsung ke sini buat bantu-bantu."
"Nggak usah Cha. Tinggal sedikit lagi. Tapi kalau kamu mau mampir buat main, aku welcome kok."
Ting!
Ting!
Ting!
Chacha dan Windy menoleh ke arah benda pipih yang tergeletak di sofa.
"Eh, siapa tuh? Papa kamu?"
Windy berjalan mendekat guna mengintip. Sebuah nama yang amat familiar terpampang di layar kunci. Nama yang akhir-akhir ini buat hari-hari Windy cukup terganggu.
"Siapa?" tanya Acha lagi.
"Bukan siapa-siapa," jawab Windy malas.
Baru saja mereka hendak menikmati makan malam, dering telepon Windy menjeda kegiatan mereka. Windy menghela nafas berat, dia kembali berjalan guna meraih gawainya. Ketika dilihat, lagi-lagi nama itu yang muncul.