Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Semilir angin berembus melalui kaca jendela setinggi dua meter yang terbuka. Dari lantai 7 apartemen, gorden abu tua berkibar sesekali saat hembusannya menerpa cukup kuat. Temaram penerangan lampu duduk kalah terang oleh sorot rembulan yang menyorot tepat ke arah karpet beludru kamar itu. Sebagian cahaya bulan yang menyorot meja kaca, memantul tepat ke wajah tampan seorang pemuda berusia awal 20an.
Dialah Archiles Germaino Putra. Pewaris tunggal pemilik perusahaan jasa pelayanan dan makanan cepat saji AG Foods. Salah satu perusahaan retail terbesar dan terpopuler di Indonesia abad ini. Kekayaan yang jelas melimpah, bahkan tak akan habis seandainya dipakai hingga tujuh turunan sekali pun. Jelas tak ada sesuatu hal pun yang tak bisa ia beli dengan uangnya yang terus mengalir dari setiap penjuru.
Lantas apa yang membuat pemuda kaya itu renungkan hingga ia melipat dahi dengan serius? Yang pasti ia tengah membingungkan sesuatu yang tak bisa ia beli dengan kekayaannya. Menghela nafas leymah, ia lantas bangkit dari duduk nyamannya. Menepis segala kegundahan hati, Archiles pun menggeser duduknya lalu menuangkan wine putih ke gelas berlian antik digenggamannya.
Setelah beberapa kali meneguk cairan bening candu itu, Archiles beralih ke sebatang rokok yang lalu ia bakar dan sesap begitu saja. Dihisapnya dalam-dalam, lantas ia hembuskan dengan nyaman. Hingga asap rokok itu mengepul berwarna putih seperti awan. Perlahan matanya terpejam, kegundahan hatinya pun ikut memudar bersamaan dengan asap yang juga perlahan sirna berpendar di udara.
Suhu udara malam itu, sebenarnya cukup membuat para insan menggigil kedinginan. Bahkan para pembantu di kediaman Archiles pun sudah meringkuk di balik selimut masing-masing. Namun tidak dengan Archiles, ia terlihat menikmati suasana malam itu. Terlebih alkohol cukup membuat tubuhya terhangatkan.
Dalam keheningan, hanya suara detak jam yang terdengar. Archiles pun terlihat mengantuk hingga tanpa sadar ia menyandar ke pegangan sofa. Namun sebuah suara membuatnya terjaga kembali. Suara yang lembut dan menenangkan.
"Tuan, tuan muda mengantuk?" tanya sebuah suara.
Sontak Archiles terperanjat lalu mengerjakan matanya beberapa kali.
"Eh? Kau?" Archiles kembali mengerjakan matanya seolah tak percaya saat mendapati seorang wanita muda berdiri di hadapannya.
Terlihat wanita muda itu melempar senyum pada Archiles. Melihat hal itu, Archiles membenarkan duduknya lalu beringsut mundur.
"Sejak kapan Nona ada di sini? Saya kira saya sedang bermimpi," racau Archiles sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Hihi. Tidak tuan. Tuan muda tidak sedang bermimpi.
Saya baru saja tiba. Tadinya mau membersihkan kamar ini tapi tuan muda tertidur di sini. Sepertinya lelah sekali," ucap wanita muda yang dipanggil Nona oleh Archiles itu.
"Oh, sepertinya ruangan ini sudah cukup rapi," ucap Archiles sambil mengedarkan pandangannya.
Memang sangat rapi. Selain botol wine, asbak, dan beberapa puntung rokok di atasnya, tidak ada hak yang perlu dibersihkan di sana.
"Hm ... Sepertinya benar juga. Sebaiknya saya kembali besok pagi saja kalo begitu," ucap Nona sambil hendak beranjak dari ruangan itu.
Namun tanpa diduga Archiles mencekal lengannya hingga Nona tertarik mendekat ke arahnya.
"Ah, maaf Nona. Apa kau ada waktu?" tanya Archiles sambil memalingkan wajah saat netra mereka bertemu tatap.
Terlihat Nona ikut salah tingkah berada sangat dekat dengan Archiles.
"Emh ... Ya?" tanya Nona kikuk. Disertai rona merah dikedua pipinya, membuat Archiles gemas melihatnya.
"Apakah Nona mau menemaniku minum sebentar?" tanya Archiles memberanikan diri.
"Ya? Apakah tuan muda serius?" tanya Nona ragu.
"Saya hanya seorang pembantu. Apakah boleh menemani tuannya seperti ini?" tanya Nona lagi dengan nada rendah.
Archiles mengangkat dagu pembantunya itu lantas menautkan alisnya.
"Apa masalahnya dengan itu? Duduklah. Temani aku minum," ajak Archiles sambil menepuk-nepuk dudukan sofa di sampingnya.
Meski malu dan ragu-ragu, Nona pun akhirnya dengan sukarela duduk di samping Archiles.
"Biar saya tuangkan winenya tuan muda," tawar Nona.
"Ah, iya Nona. Terimakasih," ucap Archiles dengan senyuman merekah di dua sudut bibirnya.
"Maaf tuan muda, kenapa tuan selalu memanggilku Nona?"
"Karna kau memanggilku Tuan, memangnya kenapa lagi?" tanya balik Archiles membuat Nona tertawa renyah.
"Hahaha, saya memanggil tuan karna anda memang majikan saya. Saya merasa tidak enak dipanggil dengan sebutan itu sementara saya hanya seorang pembantu," ucap Nona.
"Selalu seperti itu. Memangnya apa bedanya? Kau dan aku sama-sama manusia. Seperti yang pernah kau bilang kan?
Lagipula apa kau tak suka sebutan Nona?" tanya Archiles dengan seringaian saat ia menatap Nona dengan tatapan sulit diartikan.
Nona segera menggeleng, lalu mengangguk, "saya suka," jawab Nona antusias.
"Kalo begitu aku akan terus memanggilmu Nona. Tapi ... Jangan panggil aku tuan," tuntut Archiles.
"Lah? Kok curang," protes Nona sembari meneguk wine digelas miliknya.
"Panggil namaku," pinta Archiles.
"Ayo, sebut namaku, kumohon," tuntut Archiles.
Terlihat Nona menatap dalam-dalam wajah Archiles yang memelas di hadapannya. Nona tersenyum lalu menunduk malu. Diam-diam ia membisikkan nama ... "Archiles," bisiknya hampir tak terdengar.
Mendengar hal itu Archiles tersenyum penuh kemenangan.
"Katakan sekali lagi Nona, katakan dengan jelas. Aku ingin mendengarnya."
"Archiles, tuan Archiles," ucap Nona dengan jelas.
"Tidak-tidak, jangan pakai tuan," protes Archiles.
"Kenapa? Kau sendiri tetap memanggilku Nona?" tanya Nona.