Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Tuan Muda Mencari Cinta

Tuan Muda Mencari Cinta

faiz bellzz

5.0
Komentar
63
Penayangan
10
Bab

Orion Palguna merupakan tuan muda yang tengah mencari seorang gadis dari masa lalu. Yang ia miliki hanya sebuah gantungan kunci sebagai petunjuk. Dan hal itu membuatnnya kesulitan. Dalam rasa putus asa karena tidak kunjung menemukannya. Tiba-tiba Orion dijodohkan dengan Mahika Nada. Seorang perempuan yang merupakan kekasih dari adiknya, Oza Partha. Bagaimana kisah cinta segitiga itu? Siapa yang akan Hika pilih?

Bab 1 Tabrakan

"Ayo anak-anak, kerjakan soalnya. Ibu tunggu kalian sampai tiga puluh menit ke depan."

"Iya, Bu!" seru para Murid.

Perempuan yang dipanggil ibu itu tersenyum lalu duduk di bangkunya. Mahika Nada nama perempuan itu. Ia mengambil sebuah penggaris yang bada di atas meja.

Hika berdiri dan berjalan menuju anak didiknya. Perempuan itu berjalan mengitari tiap meja. Mengawasi para murid agar menyelesaikan soal tanpa menyontek.

"Dimas, kerjakan soalnya. Bukan main ponsel terus," tegur Hika seraya mengambil ponsel dari tangan Dimas. "Ibu pinjam dulu, nanti pulang sekolah ambil ke ruang Guru," sambungnya.

Dimas yang merupakan siswa bandel itu hanya bisa diam. "Baik, Bu."

Perempuan dengan balutan kemeja batik itu kembali mengawasi anak-anak didiknya. Hingga akhirnya tiga puluh menit telah berlalu. "Kalian kumpulkan di depan!" perintahnya.

"Baik, Bu." Para murid mulai maju ke depan. Mengumpulkan lembar jawaban.

"Kalian boleh istirahat," ujar Hika.

"Baik, Bu."

Para murid berbondong-bondong keluar dari kelas. Sementara Hika masih membereskan lembar jawaban dan buku paketnya. Setelah itu ia keluar dari kelas menuju ruang guru.

"Kenapa, Bu? Kayak lelah gitu," tanya Oza.

Hika yang baru saja duduk di kursinya menoleh lalu tersenyum. "Enggak ada apa-apa, Pak."

"Kirain," ujar Oza. "Mau makan di kantin luar atau di kantin, Sayang?" tanyanya lirih.

"Mas!" tegur Hika tersentak kaget. "Ini masih di sekolah," ujarnya mengingatkan.

"Enggak apa-apa lah. Ini di ruang Guru. Bukan di kelas. Lagian mereka juga udah pada tahu kalau kita pacaran," ujar Oza dengan kerlingan mata.

Tidak ada sahutan dari Hika selain embusan napas kasar. Perempuan itu mengeluarkan dua kotak makan siang dari dalam tasnya lalu menyerahkan satu kepada Oza. "Aku tadi buatnya kelebihan."

Oza menerimanya dengan senang hati. "Enggak usah buat alasan. Mas tahu, kamu sengaja buat lebih."

Hika mengulum senyum sambil menunduk. Mencoba menyembunyikan wajahnya yang merona. Namun, dengan cepat Oza menarik dagu lancip itu.

"Ehem! Ini masih di sekolah, Pak Oza, Bu Hika." Seorang pria paruh baya yang merupakan kepala sekolah itu menegur.

Sontak Oza dan Hika segera menunduk lalu berkata, "Maaf, Pak."

"Tidak apa-apa, tetapi jangan diulangi. Walaupun ini ruang Guru, tapi suka ada murid yang masuk."

"Iya, Pak."

Setelah mengatakan itu, Oza memilih kembali ke mejanya. Mereka makan terpisah dengan menu yang sama. Hingga tidak terasa, jam pelajaran kembali di mulai.

***

"Kamu pulang kapan?" tanya Oza kepada Hika.

Mereka bisa sedikit bebas karena para murid sudah lebih dahulu pulang. Hika yang tengah mengecek hasil ulangan anak-anak muridnya mendongak. "Aku nanti aja, ini tanggung."

"Tapi ini udah sore, Sayang."

"Enggak apa-apa. Ada Mang Dono yang keliling."

"Aku khawatir, tapi enggak bisa nemenin kamu. Ada jadwal les," ujar Oza penuh sesal.

Hika tersenyum lalu mengangguk. "Enggak apa-apa, Mas. Aku juga bentar lagi selesai."

"Ya sudah. Aku pergi dulu, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Setelah Oza tidak terlihat, Hika kembali melanjutkan kegiatannya. Hingga tidak terasa langit jingga telah datang. Suara adzan magrib berkumandang.

Akhirnya Hika memilih melaksanakan salat magrib lebih dulu. Lalu kembali melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam.

Hika memilih untuk pulang. Ia akan memeriksa sisanya di rumah. Dengan mengendarai motor matic, Hika meninggalkan sekolah.

Saat akan membelokkan arah, tiba-tiba ada mobil menubruk motor Hika. Sontak, Hika yang tidak bisa menjaga keseimbangan terjatuh. "Kalau motor yang benar!" bentak seorang laki-laki yang turun dari mobil tersebut.

"Liat mobilku jadi penyok!" bentak Orion lagi.

"Kamu yang salah. Kenapa malah menyalahkan aku?" tanya Hika tidak terima.

Dengan sisa tenaganya, Hika berdiri lalu membenarkan posisi motornya. "Kamu harus ganti rugi! Liat motorku jadi rusak."

Bukannya merasa bersalah, Orion malah tertawa terbahak-bahak. Hal itu jelas membuat Hika keheranan. Dengan berani perempuan itu menghampiri.

"Pantas, lagi mabuk." Hika dapat mencium aroma menyengat dari tubuh pria di hadapannya.

Sadar jika tidak akan ada gunanya berbicara dengan manusia setengah sadar. Hika memilih pergi. Walaupun berat karena motornya rusak, tetapi ia tidak mau membuang-buang waktu.

"Mau ke mana woy! Gantiin dulu," teriak Orion.

Tidak ada sahutan dari Hika karena perempuan itu sudah pergi jauh. "Ah. Sial!" umpat Orion sambil menendang bagian depan mobilnya.

"Bangsat! Sakit."

***

"Dari mana kamu baru pulang jam segini?" tanya Rama, papa Orion.

Tidak ada sahutan dari Orion. Pria itu berjalan begitu saja. Namun, langkahnya terhenti karena Sinta menahannya.

"Ya ampun! Kamu minum lagi, Yon?"

"Cuma sedikit, Pa. Buat hangat aja," sahut Orion.

"Astagfirullah, Yon. Sedikit juga tetap enggak boleh. Itu haram, Nak."

Orion menarik satu sudut bibirnya ke atas. "Udah tanggung, Mam." Setelah mengatakan itu, Orion masuk ke dalam kamar.

Rama memijat pangkat hidungnya. Ia merasa pusing dengan anak sulungnya. "Bagaimana ini, Pa? Orion enggak bisa dibiarkan begitu saja. Mama takut dia semakin tersesat."

"Papa akan pikirkan."

"Apa perjodohan kita percepat saja?" tanya Sinta memberikan solusi.

"Assamu'alaikum," ucap Oza saat kakinya menginjak rumah orang tuanya.

Kedua orang tuanya yang tengah berunding mengenai Orion pun menjawab salam Oza. "Wa'alaikumussalam, Za."

"Kamu dari mana jam segini baru pulang?" tanya Sinta.

"Aku habis ngajar di tempat les, Mam."

Sinta tersenyum dan menatap bangga anak bungsunya. "Kamu memang hebat, Sayang."

"Mama bisa aja. Aku enggak hebat kok," ujar Oza. "Tumben jam segini masih di ruang tamu. Habis ada tamu?" tanyanya.

"Bukan, Za."

"Lalu?"

"Kami membahas soal perjodohan Kakakmu," jawab Sinta.

Oza sedikit tersentak mendengar ucapan mamanya. "Yang benar, Mam? Emang Kak Orion mau?"

"Kita belum membahas dengannya. Tapi walaupun dia tidak mau, perjodohan harus tetap terjadi."

"Kok bisa?"

"Itu karena ini sebuah wasiat yang almarhum Kakek berikan."

"Bagaimana bisa?" tanya Oza tidak habis pikir.

"Itu bisa terjadi, Za. Ceritanya panjang, dan kamu tidak perlu mengetahuinya." Oza mengangguk lalu memilih masuk ke dalam kamarnya.

***

"Ada apa nih? Serius banget," tanya Orion saat melihat wajah orang tuanya yang tidak seperti biasa.

Pagi itu, mereka tengah berada di meja makan untuk sarapan. "Setelah makan, kamu jangan dulu pergi ke kantor. Ada yang ingin kami bahas denganmu, Yon."

Alis Orion bertautan mendengar ucapan mamanya. "Penting banget ya? Aku ada meeting soalnya," tanya Orion seraya melihat ke arah jam mewah yang melingkar di lengannya.

"Ini lebih penting dari meeting kamu." Rama menegaskan.

Jelas hal itu semakin membuat dahi Orion berkerut. "Bikin penasaran aja. Ini meeting dengan Investor loh," ujarnya menjelaskan. "Apa hal itu lebih penting?"

"Ini jauh lebih penting. Udah kamu jangan banyak tanya! Mending sekarang habiskan makannya."

Orion mendengus, tetapi menuruti perintah mamanya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku