Seorang gadis mungil sebut saja Hilya. Dia telah ditinggal oleh kedua orang tuanya menjadikan kehidupannya berubah, namun itu tidak membuat dia terlarut dan tenggelam dalam keterpurukannya. Suatu saat dia mencari kerja, tapi pekerjaan yang ia dapatkan datang dengan sendiri. Dia ditawarkan bekerja sebagai ART dirumah Tuan muda kaya raya. Tak hanya sebagai itu, dia juga bekerja merawat seorang bayi. Beriringnya waktu keterdekatan antara Hilya dan lelaki itu membuihkan rasa nyaman. Tuan muda awalnya hanya berniat mencari hiburan dan bercanda, tapi lama kelamaan dia terjerat akan cintanya. Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Kuy baca!!
Hilya adalah gadis yang berumur 19 tahun anak pertama dan baru lulus sekolah, kehidupannya cukup sederhana bukan lahir dari kalangan orang kaya. Tapi dia sangat bersyukur dengan kehidupannya dan banyak pelajaran yang dapat dia ambil.
Kedua orang tuanya sudah meninggal dunia ketika dia berumur 9 tahun, saat itu kehidupannya sangat terpuruk orang-orang yang dia sayang telah meninggalkannya. Ketika orang tuanya sudah meninggal, dia tinggal bersama paman dan bibinya tepat saat dirinya beranjak 17 tahun, dia hidup sendiri sampai detik sekarang sudah terbiasa. Banyak pengalaman yang telah dia pelajari dan sangat berharga.
"Sudah saat-nya aku mencari kerja, semoga lancar," ucapnya berharap ada pekerjaan yang dapat menerimanya.
"Mau kemana, Neng Hilya?" sapa tetangga kosan yang sedang menyiram tanaman.
"Eh, Mbak. Emm mau cari kerja. Do'ain yah semoga dapet."
"Iya, Mbak do'ain."
"Makasih, Mbak. Aku duluan yah."
"Iya semangat, Neng."
"Iya makasih, Mbak," teriaknya karena jarak mereka sudah cukup lumayan jauh.
Hilya berjalan dengan santai sesampainya dijalan raya tak lama angkot datang, dia langsung menghentikan angkot itu lalu naik. Saat Hilya sudah duduk dia menyapa semua orang dengan senyuman manisnya dan diterima ramah oleh semuanya.
Selama diperjalanan Hilya tak mengeluarkan suara, dia pokus dengan handphone yang berada dalam genggamannya sesekali dia melihat jalan takutnya kebablasan.
Beberapa menit kemudian Hilya menerbitkan senyumnya dia bersiap-siap akan turun. "Mang kiri," ucapnya. Angkot itu berhenti, Hilya turun dengan pelan-pelan sembari memberi uang kepada supir angkot, setelah keluar dari angkot itu, dia mengedarkan pandangannya dilihat tempatnya sangat ramai banyak orang berlalu lalang, para pedagang kaki lima yang sedang jual beli, toko baju, dan masih banyak lagi.
Langkah kakinya pelan-pelan sambil mencari banner lowongan pekerjaan. Saat lirikannya tak sengaja disana ada satu banner matanya langsung terbinar secepat mungkin dia mengunjungi namun yang tertera bukanlah lowongan pekerjaan tapi sebuah event. Senyumannya memudar satu harapan hilang, tapi tekadnya tak akan menyerah dia kembali semangat dan mencari.
Diujung sana terlihat seorang wanita paruh baya sedang berdagang, Hilya berniat akan menanyakannya dan berharap dia bisa membantunya. Hilya berjalan dan mendekat, berlainan arah wanita itu melihat kearah Hilya sambil menyunggingkan bibir manisnya. Awalnya Hilya malu tuk bertanya tapi setelah mendapatkan senyumannya hati Hilya lega.
"Maaf, Bu. Mau tanya disini ada lowongan pekerjaan ngga?"
"Aduh kurang tau, Neng. Saya bukan orang sini asli."
"Uwalah gitu. Terima kasih, Bu permisi saya pamit," pamitnya dan diangguki wanita paruh baya itu.
"Susah juga yah cari kerja!" keluhnya sambil duduk beristirahat sejenak.
GLEDEG
Suara petir menggelegar awan sudah menghitam tak lama hujan akan turun, baru saja sejenak menghilangkan penat suara petir menyuruhnya berpindah tempat, Hilya langsung berdiri lalu melangkah sambil tergesa-gesa takut hujan mengguyur tubuhnya, tiba-tiba tubuh Hilya beradu dengan seseorang mengakibatkan pergerakannya terhenti.
"Eh ... maaf, Mas," ucapnya langsung pergi.
Matanya langsung mencari tempat untuk berteduh tak lama bibirnya tersenyum menandakan dia sudah mendapatkan tempatnya, Hilya langsung lari menuju lokasi itu dan duduk disana sambil menunggu hujan reda.
"Ekhem," dehem seorang lelaki yang duduk disamping Hilya.
Hilya tersentak kaget kapan lelaki itu berada disampingnya? Eh bukankah dia lelaki yang beradu? Kenapa? Oh tidak mau ngapain dia? Pikir Hilya.
"Eh, Mas yang tadi yah? Sok silahkan, Mas duduk yang nyaman," ucap Hilya mempersilahkan duduk bagaikan pembantu pada majikannya.
Lelaki itu tak mengeluarkan suara matanya tetap fokus pada rintikan hujan yang berada didepannya.
"Ih makasih atau apa gitu? Ini mah datar," protes Hilya yang merasa diabaikan.
"Saya dengar!"
"Eh hehe."
"Kamu sedang mencari pekerjaan?"
Hilya sedikit heran. Kepada siapa lelaki itu bertanya?
"Saya berbicara kepada kamu," ucapnya lagi yang sudah tahu jika gadis itu heran.
Hilya terkekeh. "Iya, Pak," ucapnya pelan.
"Saya bukan, Bapak kamu! Jadi jangan panggil, Bapak."
"Hah!"
"Jadi bagaimana?"
"Bagaimana apanya? saya heran loh, Pak. Tiba-tiba Bapak menanyakan saya sedang cari pekerjaan? Terus saya panggil Bapak jawabannya ketus cuek banget. Dasar yah manusia kutub," ucap serapahnya karena jengkel.
"Sudah? Saya tidak suka kamu panggil Bapak! Lagian saya belum menikah jadi ga pantas dibilang, Bapak!"
"Saya ga nanyain dan kenapa anda curhat yah?"
"Terserah saya. Jadi bagaimana? Kamu sedang mencari pekerjaan?"
Hilya mengeluarkan beban napasnya yang sedari tadi ditahan untungnya bukan dari bawah keluarnya. "Hmm iya saya lagi cari pekerjaan."
"Kalo seperti itu kamu bekerja dengan saya."
"Hah? Kerja apa, Pak?"
Lelaki itu melirik kearah Hilya dengan tatapan elang.
"Paan sih?" tanya Hilya heran. Kenapa diberi tatapan seperti itu?
"Kamu bekerja dengan saya mengurus saya seperti istri."
Mata Hilya membuka lebar selebar daun kalor mulutnya ikut terbuka juga. Apa seperti istri?
"Istri?"
"Ya."
"Istri gimana maksudnya?"
"Kamu bekerja seperti istri yang mengurusi suaminya. Tenang saya gaji, terserah kamu mau gaji berapa."
"Hah? Ngga deh, Maaf. Nanti minta yang macem-macem ngga ah ngeri. Lagian saya ini baru lulus sekolah mana bisa kek pekerjaan istri."
Lelaki itu menyentil kepala Hilya yang membuatnya meringis. "Pikiran kamu kemana-mana. Tugas kamu hanya nyiapin makan, cuci pakaian, sama nyiapin pakaian. Bisa? Masa anak gadis segede kamu ngga bisa," ledeknya.
"Dih bisalah gitu doang. Ya udah kalo itu saya mau, tapi gaji terserah saya 'kan?" tanyanya dengan mata terbinar-binar seperti penuh harap.
"Ya."
Jawaban singkat namun membuat Hilya bahagia.
"Yeeeee. Saya mau sebulan 5JT. Gimana?"
"Sebulan 5JT? Yang benar saja gaji saya sebulan tidak segitu. Lagian mulai juga belum udah maen gaji."
"Ya terserah saya dong 'kan, Bapak yang nawarin," ucapnya tak mau kalah.
"Nama kamu siapa?"
"Hilya."
"Hilya dengerin saya yah ... kalo gaji segitu saya tidak punya yang ada saya rugi. Lagian kamu masih mencari pengalaman jangan maen gaji dinaikin dulu. Gimana kalo misalnya sebulan 2JT. Gimana?"
Hilya mencernanya dan ada benarnya. "Ya udah iya sebulan 2JT?"
"Iya."
"Okey saya ambil."
"Ya udah yu."
"Kemana?"
"Kamu mau kerja? Ya tinggalnya sama saya kalo kamu pulang pergi yang ada habis pake angkot."
"Jadi saya tinggal seatap maksudnya?"
"Iya."
"Emang istri, Bapak ga bakalan marah?"
"Saya belum punya istri."
"Oh iya ya makanya, Bapak nawarin saya kerja ART juga. Terus dirumah ada siapa aja, Pak?"
"Berdua."
"Maksudnya?"
"Telat banget yah otak kamu nyampe nya. Bikin emosi. BERDUA SAYA SAMA KAMU," ucapnya jelas.
"Hah? Ngga ah saya mending pulang pergi."
"Ngeyel banget belum juga kerja. Kamu tinggal sama saya seatap berdua kalo kamu pulang pergi nantinya cape terus yang bikin sarapan pagi siapa? Percuma dong kalo punya ART tapi ngga dipake."
"Heuh yadeh, tapi ada kamarnya 'kan?"
"Takut banget saya apa-apain yah?"
"Hah? Ngga!"
"Ikut saya."
Hilya mengikuti dari arah belakang, sesampainya dirumah Hilya tersentak kaget rumahnya bagus cukup lumayan gede.
"Ini rumah saya. Kamu tidak perlu kerja keras untuk membersihkan rumah ini cukup semampu dan sebisa kamu. Paham!"
Hilya mengangguk sebagai jawabannya.
"Yu masuk."