/0/13690/coverorgin.jpg?v=34d407bff7def1b62c3b6d9da1a2d824&imageMogr2/format/webp)
“Y
u. bisa enggak sih enggak bikin malu? Kenapa kamu antar makanan segala ke kantorku?” ucapku sembari menyeretnya keluar halaman gedung.
“Maaf Bang pesanannya lumayan banyak, aku butuh buat beli diaper Randi. ” Ayu tertunduk seraya mengusap pergelangan tangan, ada jejak merah di sana. Bekas cengkeramanku yang mungkin terlalu kuat.
“Emang 50 ribu yang aku kasih tiap hari, kamu pakai apa hah?” Aku sedikit membentak. Mau ditaruh di mana wajahku. Teman sekantor harus mengetahui istri seorang Manager berjualan makanan. Ditambah lagi bisa dipesan online. Kenapa juga dia harus mengantarnya sendiri, zaman sekarang kan banyak ojek.
‘Memalukan!’
“Uangnya sudah enggak cukup lagi, Abang juga enggak mau kasih tambahan lagi.” Ayu mundur selangkah menjauh dariku.
“Ya sudah enggak usah pakai diaper segala?”
“Kemarin Abang bilang enggak suka kalau tiba-tiba Randi Buang air sembarangan, jadi Adek pakaikan diaper.”
“Ah sudah sana pulang ke rumah, kamu saja yang enggak bersyukur.” Terlanjur kesal, akhirnya Ayu mengalah, lalu memilih pergi. Dengan setengah berlari wanita itu mengambil motornya di parkiran kantor. Sedang, aku masih terpaku di depan gerbang kantor. Bukannya segera berlalu Ayu justru memarkirkan motornya tepat di hadapanku.
“Adek pamit, Bang,” ucapnya mengulurkan tangan mengajakku bersalaman.
“Sudahlah sana.” Cepat-cepat kutepis. Emosi yang kian menggebu membuatku muak. Pelan-pelan wanita itu mengelus tangan kanannya. Kala itu dia hanya diam, hingga akhirnya memilih pergi dengan scooter matic pink yang kubelikan saat ulang tahun pernikahan yang pertama.
Di kantor teman-teman sudah siap dengan berbagai macam pertanyaan. Bagaimana bisa istri seorang Manager berjualan makanan bahkan sampai mau mengantarnya sendiri.
‘Sungguh memuakkan! Lihat sana nanti! Tunggu aku pulang, biar kuberi pelajaran kali ini!’
~~
Sesampainya di rumah, sengaja kubanting pintu, membukanya lalu menutupnya kembali dengan kasar, hingga menimbulkan bunyi gebrakan cukup keras. Randi Si bungsu, yang sepertinya tengah tertidur akhirnya menangis, mungkin terkejut karena ulahku. Tak lama setelah itu, sosok Ayu muncul dengan Randi dalam gendongannya. Dia menuruni tangga rumah, dengan sedikit tergesa-gesa, lengkap dengan wajah bingung tanpa dosa. Jelas-jelas dia sudah membuatku malu, masih tak tahu juga salahnya apa.
“Yu sejak kapan kamu jualan makanan sampai mengantarnya sendiri, bukannya biasanya dipaketkan?”
“Semenjak Randi lahir Bang, sekarang jualan camilan di Shopee lagi sepi, makanya Adek coba bikin makanan lain, maaf enggak izin dulu, Adek takut Abang enggak mengizinkan.” Ucap Ayu lembut.
“Apa uangku enggak cukup?”
“Bang anak kita sudah tiga, saat Randi lahir cuma dua bulan Adek menyusuinya, setelah itu ASI Adek enggak keluar lagi, Adek kan sudah pernah bilang, harus beli susu formula. Benar Bang, uangnya enggak cukup lagi.” Kali ini tampak netranya mulai mengembun.
“Memang berapa harga susunya?”
“Delapan puluh lima ribu, itu pun cuma cukup untuk lima hari, Bang,” jawabnya sembari memalingkan seperti mati-matian menahan tangisnya agar tak sampai pecah di depanku.
“Kamu itu bisanya cuma nangis. Pantas saja rumah ini bau masakan tiap hari!”
“Nih, besok enggak usah jualan lagi, bikin malu!” Kuserahkan uang 100 ribuan, saat uang itu telah berpindah ke tangannya raut wajahnya seketika berubah, ada semburat bahagia yang tampak di sana.
“Sekalian buat jatah besok, sisanya kamu masih ada untung jualan tadi pagi ‘kan?”
“Terima kasih.” Secepat kilat binar bahagia itu menghilang berganti dengan raut wajah yang ditekuk, lalu kembali meneruskan langkahnya menuju dapur. Sepertinya hendak mengambilkan segelas air putih hangat, untukku. Bisa kulihat dari sini, gerakkannya yang lambat. Sudah diberi uang masih saja begitu, tak pandai bersyukur.
“Apa kopi saja sampai tak terbeli, Yu?”
/0/5359/coverorgin.jpg?v=31dc0782c37317ab6efea0d844053c45&imageMogr2/format/webp)
/0/2398/coverorgin.jpg?v=20250120162351&imageMogr2/format/webp)
/0/3456/coverorgin.jpg?v=de716839bd98a0fdefee9093bf308d00&imageMogr2/format/webp)
/0/2314/coverorgin.jpg?v=83d6a252aa475c96b561cd00597ad4c5&imageMogr2/format/webp)
/0/4027/coverorgin.jpg?v=20250121182022&imageMogr2/format/webp)
/0/15445/coverorgin.jpg?v=20250123120822&imageMogr2/format/webp)
/0/22567/coverorgin.jpg?v=7c92bcb6385ea72a8db1d758256db4ae&imageMogr2/format/webp)
/0/16754/coverorgin.jpg?v=20240417130016&imageMogr2/format/webp)
/0/16151/coverorgin.jpg?v=20240206184600&imageMogr2/format/webp)
/0/15682/coverorgin.jpg?v=20240211020026&imageMogr2/format/webp)
/0/23722/coverorgin.jpg?v=99d347a720b226ce13c8e6b617d987ca&imageMogr2/format/webp)
/0/12754/coverorgin.jpg?v=e6ce11975e25da3381ac05989a07a327&imageMogr2/format/webp)
/0/14018/coverorgin.jpg?v=47bf9242167409c77e6f00bf9182166a&imageMogr2/format/webp)
/0/13056/coverorgin.jpg?v=4c5c425d88c3802dc6d1aad5d5a417f1&imageMogr2/format/webp)
/0/13466/coverorgin.jpg?v=20250123145256&imageMogr2/format/webp)
/0/16124/coverorgin.jpg?v=20240206184603&imageMogr2/format/webp)
/0/2656/coverorgin.jpg?v=20250120155751&imageMogr2/format/webp)
/0/6239/coverorgin.jpg?v=20250120175133&imageMogr2/format/webp)