Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Aku akan ke klub mencari kenikmatan," kata Ian pada Eugene, teman kantornya yang menjadi tangan kanannya. Ia mengenakan jasnya dan mengantongi dompet serta ponselnya. Kunci mobil sudah berada di tangannya.
"Apa? Lagi? Hey! Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu ini?"
Ian tersenyum pada Eugene. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Eugene. Tenang saja, gajimu akan kutambahi. Selamat malam."
Eugene hampir dibuat kesal oleh temannya sendiri, tapi ketika ia mendengar bahwa gajinya akan ditambahi, ia langsung tersenyum lebar. Dan ian memang tahu bagaimana agar membuat seseorang bertahan hanya dengan uang. Apalagi ia tahu bahwa Eugene adalah bujang yang tak memiliki banyak urusan kecuali mengurusi kantornya ketika ia tak ada.
Mobil menyala dan mulai berjalan menuju klub yang kali ini akan ia datangi, berbeda dengan klub semalam. Ia ingin mencoba beberapa klub sekaligus mencari-cari apakah ada yang menarik di matanya atau tidak.
"Hmm ... ramai," katanya saat menatap sekitar parkiran klub itu.
Ia keluar dari mobil, memandang sekelilingnya. Ada banyak pasangan-pasangan yang menunjukkan dirinya begitu napsu terhadap pasangannya di tempat-tempat terbuka. Ada yang mabuk dan tak terkendali karena alkohol menguasai mereka.
Ian berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mereka lemah sekali." Mereka adalah orang-orang yang mudah dikontrol oleh alkohol. Ian tidak suka dengan hal itu mengingat ia adalah seorang pria yang mudah mengontrol alkohol dalam dirinya. Ia tak pernah membiarkan minuman keras itu mengontrol dirinya karena ia tahu akibat apa yang akan ia dapatkan.
Ia masuk ke dalam klub itu setelah melewati pemeriksaan. Musik yang berdentum-dentum dengan lampu kerlap-kerlip mengisi klub itu. Matanya mulai menerawang ke segala arah, mencari tempat yang kosong dan cocok untuknya. Ia lalu berjalan ke bartender saat melihat ada kursi yang kosong.
Sebagai permulaan, Ian memesan bir sambil tetap mengamati keadaan.
Beberapa perempuan datang sambil menyentuh bagian pahanya, Ian hanya diam, tidak menggubrisnya. "Aku tidak tertarik." Begitulah yang ia katakan jika memang ada yang tidak menarik baginya.
"Dasar sok jual mahal!" gerutu perempuan yang mencoba menggodanya.
"Hey, sir! Jika ada yang mendekatimu, kusarankan agar kau mencobanya," kata salah satu bartender yang memerhatikan cara menolak Ian pada mereka.
Ian kembali berdecak, "aku tidak tertarik dengan yang seperti itu."
Tiba-tiba ada satu perempuan yang menarik perhatian matanya. Seorang perempuan yang duduk sendiri sambil menikmati minumannya yang terlihat seperti lemon tea saja sambil kepalanya bergoyang-goyang karena dentuman musik.
Ian lalu menatap ke bartender untuk bertanya, "siapa dia? Apa kau kenal?"
"Well, dia si cantik Eleanor. Sikapnya dingin tapi dia seperti perempuan-perempuan yang menyentuhmu. Bedanya, sepertinya dia pemilih."
"Apakah karena itu dia duduk sendiri?"
"Benar. Sir, apa kau mencoba untuk mendekatinya?"
"Sepertinya begitu. Apa yang dia pesan?" tanya Ian penasaran.
"Dia selalu memesan lemon tea. Kurasa dia tidak mengkonsumsi alkohol."
Ian menepuk-nepuk bahu bartender itu untuk berterima kasih atas informasi sedikit yang ia dapatkan.
Ian mulai mendekatinya sambil membawa botol birnya. Tak langsung menyapanya, ia malah duduk di hadapan perempuan itu. Perempuan yang bernama Eleanor itu memandangnya dengan tatapan biasa yang selalu ia tujukan pada pria-pria hidung belang lainnya. Kakinya yang sempurna menyilang, terlihat begitu jenjang dan tampak terawat.
"Aku tak memiliki waktu untuk melayani pria hidung belang!" kata Eleanor tiba-tiba.
"Bagaimana jika aku bukanlah pria hidung belang?" tanya Ian, menggoda dengan tegas.
Satu alis Eleanor terangkat. "Berapa yang bisa kau bayar untukku?"