Jadi janda itu berat, apalagi punya anak satu. Beban di bahu Sonya masih ditambah lagi dengan kondisi anaknya yang kerdil akibat menderita sindrom Turner. Punya paras cantik, orang tua kaya dan terhormat, ternyata tidak membuat Sonya bahagia. Sonya yang dulu menikah muda, lalu bercerai beberapa bulan kemudian, sangat sulit untuk membuka hati. Bukan berarti dia tidak ingin punya pasangan lagi. Mau, tetapi ... ragu. Beberapa pria datang mendekat. Mana yang harus dia pilih? Yang pasti, dia tidak mau terluka untuk ke sekian kalinya.
Sial! Pagi-pagi Tanya sudah mengamuk. Selalu begini kalau dia bangun lebih dulu dan tidak ada aku di sampingnya. Aku terlalu sibuk mempersiapkan properti untuk sesi pemotretan setengah jam lagi. Wait a minute, thirty minutes more?
"Sayang, mandi, yuk! Mama harus cepat pergi. Kita ... jalan-jalan. Nanti pulangnya sekalian beli Barbie." Meski panik, aku coba merayu selembut mungkin.
Entah mainan ke berapa yang harus aku beli setiap kali dia tantrum seperti ini. Bukan bermaksud untuk memanjakan, tetapi aku sudah kehabisan cara. Kalau tidak ada urusan, sih, bisa santai menghadapi dia. Kalau pas harus ketemu klien atau ada pemotretan outdoor seperti pagi ini, mau tidak mau, merayu jadi satu-satunya jalan. Apa lagi yang bisa menarik perhatian bocah perempuan berusia empat tahun, kalau bukan Barbie?
"Mau!" teriak Tanya, penuh semangat. Tangan pendek yang dari tadi memukul-mukulkan boneka kuning ke kasur, langsung terulur. Teriakan otomatis bungkam dan berganti jadi senyuman.
Thanks, God! Finally!
"Go!" Aku angkat tubuh mungil Tanya dari ranjang, lalu memandikan secepat kilat. Aku sendiri? Tadi sudah cuci muka dan gosok gigi.
Bedak tipis yang dipulas buru-buru, ala kadarnya, sudah cukup untuk membuat wajah jadi cerah ceria. Toh, tidak ada siapa pun yang akan menciumku, kecuali Tanya tentunya. Orang lain hanya memandangku dari jarak beberapa jengkal saja. Jadi, kenapa harus mandi di saat genting seperti ini? Yang penting anak terlihat rapi, lucu serta menggemaskan. That's enough for me.
Untung saja kami tinggal di Malang, kota kecil yang tidak menghabiskan waktu berjam-jam untuk pergi ke sana kemari. Apalagi, ini masih pukul setengah enam pagi. Jalanan belum terlalu macet.
"Nanti selama Mama kerja, kamu mainan sendiri, ya. Nggak lama, kok. Kalau Tanya jadi anak baik, nggak rewel, kerjaan Mama lebih cepat kelar dan kita bisa segera beli mainan," ucapku di tengah perjalanan.
Tanya hanya mengangguk sambil mengunyah roti sisir kesukaannya. Dia bisa menghabiskan satu bungkus itu sendirian dalam satu kali makan. Nafsu makannya memang tergolong tinggi, tetapi ... tubuh tidak lekas meninggi. Sindrom Turner membuat pertumbuhan Tanya terhambat. Tinggi 58 sentimeter untuk anak seusia dia, cukup menyedihkan, bukan?
"Ah, syukurlah. Akhirnya kamu datang juga." Troy langsung menyambut kedatanganku.
"Sori, tadi anakku agak rewel." Terlambat sepuluh menit. Aku harus cepat agar tidak kehilangan sinar matahari pagi.
"Tanya, kamu mainan di sana, Sayang." Aku menunjuk tempat duduk dari semen yang dibuat seperti kursi penonton di Colosseum.
Pemotretan pagi ini untuk kepentingan promosi sebuah kafe. Karena konsep foto produknya outdoor, aku mengandalkan sinar matahari. Pagi, tentunya.
"Itu ... anakmu?" Troy menatap keheranan.
"Iya. Aku janda anak satu. Kenapa? Terkejut?" Aku menjawab sembari menata properti.
"Jelas aku kaget. Kamu ... masih muda."
"Nikah muda, mudah cerai," tuturku singkat. Mata dan tangan tetap fokus ke arah meja yang sedang aku tata.
"Tapi, anakmu lucu, lho. Imut banget, kayak boneka." Troy terkekeh-kekeh. "Usia berapa?"
"Kita mau foto produk atau wawancara?" Aku menatap sekilas, lalu menuntaskan penataan.
Troy langsung terdiam. Aku tidak suka kalau orang terlalu mengulik kehidupan pribadi. Apalagi, dia ini bukan temanku. Dia hanya sebatas klien. Belum tentu kami ketemu lagi setelah project ini selesai.
Ini pertemuan kedua kami setelah membicarakan konsep dan dia membayar DP, setengah dari tarif yang sudah aku tentukan. Tidak hanya memotret, aku juga akan membuatkan konten promosi, baik digital maupun cetak. Troy bahkan memercayakan urusan percetakan ke aku sekalian.
Aku bukan orang bodoh. Dari awal bertemu, aku sudah tahu kalau dia menyukaiku. Jelas terbaca dari gelagat, juga tatapannya. Playboy! Aku sudah sangat hafal. Bahkan, di ruangan gelap sekalipun, aku pasti bisa melihat pancarannya. Pengalaman? Ya, karena aku pernah menikahi laki-laki brengsek dengan mata seperti itu!
"Anakmu anteng banget, ya. Hebat, lho. Dia nggak rewel mainan sendiri."
Troy masih saja berkomentar tentang Tanya ketika aku mulai memotret. Rupanya, dia hanya bungkam beberapa saat. Dasar mulut bawel!
"Kalau kutaksir, usiamu mestinya belum sampai 25 tahun, Sonya. Tebakanku betul, nggak?" Troy terkekeh-kekeh. Apa ada yang lucu? Pertanyaan tidak penting. Apa dia tidak tahu kalau aku butuh ketenangan ketika bekerja?
"Anakmu ... mestinya sekitar satu atau dua tahun kalau lihat dari ukurannya." Troy mengetuk-ngetukkan telunjuk ke dagu sambil menatap ke arah Tanya. Aku hanya melirik sekilas.
Ukuran, kata dia? Memangnya anakku baju atau sepatu? Laki-laki bodoh!
"Anggaplah pernikahan kamu tiga tahun lalu. Berarti ... kamu nikah setelah lulus kuliah. Ya ... nggak terlalu muda juga, sih. Tergolong cepat, tapi bukan nikah muda menurutku. Kenapa buru-buru? Terlalu cinta atau keburu ...." Troy membuat gerakan dengan tangannya, persis di depan perut.
Lirikan sinisku ternyata tidak membuatnya jera. Terbuat dari apa manusia satu ini? Laki-laki, tetapi ....
"Terus, kenapa cerai? Dia selingkuh? Belum siap jadi ayah?"
"Mas, tolong jangan ganggu konsentrasiku, dong. Waktu kita ini sempit, lho. Aku ngejar sinar matahari biar hasil fotonya bagus," keluhku, masih memegang kamera dengan kedua tangan.
"Memangnya kalau siang, hasilnya jelek?"
"Beda cahaya, beda hasil." Aku lanjut memotret.
"Beda pria, beda rasa," ucap Troy, menggoda.
Sialan! Pasti dia pikir, aku ini janda kegatelan. Aku tidak butuh belaian laki-laki! Project ini harus cepat selesai. Aku malas berurusan sama dia.
"Biasa bobok bareng, terus tiba-tiba sendirian. Pasti nggak enak. Nggak kangen?" tanya dia lagi.
Astaga! Tuhan, bagaimana cara menyumpal mulut lemes dia ini? Kalau tidak ingat nilai kontrak yang cukup lumayan, mana mau aku bertahan.
"Mas, bisa tinggalin aku, nggak? Aku perlu tenang." Semoga ucapan tegasku bisa mengusir dia.
"Perlu tenang apa perlu tegang? Punyaku udah tegang, nih." Dia malah mencengkeram sesuatu di selangkangan.
Aku hanya bisa geleng-geleng sambil mendengkus kesal. Percuma bicara sama orang gila! Lebih baik cepat selesaikan pemotretan, lalu pergi dari sini.
"Kalau perlu aku di kamar, tinggal bilang aja. Boleh di kamarku, boleh di kamar kamu, kok. Mana aja, yang penting sama-sama enak."
Ini bukan pertama kali laki-laki merayuku. Hampir semua klien selalu seperti itu. Namun, baru Troy yang berani blak-blakan dan sampai sekurang ajar ini. Jengah? Lumayan.
"Anakmu ... kecil banget, ya. Mini," celetuk Troy, kembali membahas soal Tanya. "Ukurannya nggak normal, kayak kurcaci."
"Memangnya kenapa, Mas? Anakku bukan urusan kamu. Camkan itu!" Aku memelotot marah. "Uang DP nanti aku transfer balik. Cari saja fotografer lain."
"Nggak bisa gitu, dong! Ini ... belum selesai." Troy tampak tidak terima.
"Terserah!"
Dia boleh melecehkan aku, tetapi tidak dengan anakku!
Bab 1 Tentang Tanya
11/12/2022
Bab 2 Sang Penyelamat
11/12/2022
Bab 3 Hari Baru!
11/12/2022
Bab 4 Kelahiran Tanya
11/12/2022
Bab 5 Pangeran Tampan
11/12/2022
Bab 6 Datang dan Pergi
11/12/2022
Bab 7 Dunia Kejam
11/12/2022
Bab 8 Masa Hilang
11/12/2022
Bab 9 Sisi Sendu
11/12/2022
Bab 10 Bincang Malam
11/12/2022