"Paman, tolong... Ania sakit." Awalnya, Ania hanyalah seorang gadis kecil. Dia diselamatkan oleh seorang pria dari ambang kematian. Sembari merintih kesakitan, Ania memeluk erat tubuh sang penolongnya. Cinta pertamanya. Emilio pun memutuskan membesarkan dan merawat gadis tujuh tahunan itu. Hingga belasan tahun, Ania tumbuh menjadi gadis jelita yang memikat. Namun, dia menepis semua perasaannya bahwa kini Ania sudah berusia dua puluh tahunan. Terlebih ada seorang Jenith. Ania jadi bingung. Setiap ada lelaki yang mendekatinya, sang paman akan marah besar kepadanya. Sedang Emilio terkesan tak menganggapnya sebagai gadis cantik. Hingga dia bertanya, "Jadi, pria yang baik untuk Ania itu seperti apa, Paman?" tuntutnya. Emilio pun terkesiap. Akankah dia menjawab dengan jujur? Atau membiarkan cinta seorang Ania bertepuk sebelah tangan, selamanya?
Paman... sakit, tolong..."
Seorang gadis kecil berusia tujuh tahun memeluk kaki Emilio. Keadaannya begitu mengenaskan di tambah dengan pakaiannya yang lusuh.
Emilio berjongkok, menangkup wajah gadis kecil itu. Setelah dia perhatikan, diwajahnya terdapat begitu banyak bintik-bintik merah, dan gadis itu tidak berhenti menggaruk seluruh anggota tubuhnya.
"Ania takut, paman... hiks. Ania sakit..." Gadis kecil yang mengaku bernama Ania itu mulai menangis kejar, bola mata bulat dan indahnya banyak mengeluarkan cairan. Ania menggaruk tubuhnya hingga bercak merah timbul di area kulitnya yang putih.
Pria berusia dua puluh lima tahun itu hendak bertanya kepada Ania, namun naas gadis kecil itu tak sadarkan diri di pangkuannya. "Hei, kau sakit apa? Ania!" Menepuk pelan pipi kecil itu.
Emilio bergegas membawa Ania menuju rumah sakit tempatnya bekerja. Dalam perjalanan, Ania menunjukkan reaksi, gadis itu terlihat kejang-kejang hebat dengan nafas tersenggal. Matanya tak pernah berhenti mengeluarkan cairan bening.
Dia pasti sangat kesakitan.
Ketika sampai di sana, para dokter dan perawat tampak menyambut kedatangannya, karena Emilio adalah anak dari pemilik rumah sakit ini.
"Siapa anak ini, Dok?"
Yang ditanya tidak menjawab, terus berlari menuju Unit Gawat Darurat dengan menggendong Ania kecil, tanpa ingin menunggu perawat membawakan brangkar.
"Ini reaksi alergi. Alergi parah," gumamnya setelah melakukan pemeriksaan. Emilio bergegas melakukan penanganan kepada Ania.
Dia menghela nafas setelah selesai memberikan pengobatan. Gadis kecil itu kini tertidur akibat suntikan yang dia berikan.
Wajah manis itu, sempat membuat Emilio terpikat lama. Kecantikan Ania tak pudar meski wajahnya mengalami sedikit bengkak akibat alergi yang dialaminya.
Memasukan tangan di saku celananya, Emilio memandang Ania dengan tatapan tak bisa diartikan. Gadis kecil ini adalah pasien pertamanya setelah lima tahun Emilio tidak menangani pasien.
Tidak ada yang bisa dihubungi karena tidak ada yang tahu tentang Ania. Di mana dia tinggal dan siapa keluarganya, semua itu hanya bisa ditanyakan saat gadis kecil itu bangun nanti.
Pria itu berjalan dengan tenang seperti biasa, keluar dari ruangan.
"Selamat atas kebebasan anda, Dokter." Tiana, seorang dokter wanita spesialis anak yang pertama kali menyambut Emilio dengan uluran tangannya, memberikan selamat.
"Hemm." Pria itu berdehem, menjabat tangan Tiana dan langsung menariknya.
"Selamat, Dok."
"Selamat."
"Kami senang bisa bekerja bersama anda lagi."
Yang lain ikut memberikan selamat atas kebebasannya, entah tulus atau tidak Emilio tidak peduli. Yang pasti dia tahu, mereka hanya mencari wajah di depannya sebagai anak pemilik rumah sakit ini.
"Bagaimana rasanya tinggal di balik jeruji besi selama lima tahun?" Seseorang bertanya dengan senyuman mengejeknya, Emilio tak peduli dan berlalu begitu saja dari sana.
"Aku tak menyangka, seorang Dokter sekaligus pemilik rumah sakit besar sepertinya, bisa menghilangkan nyawa seseorang." Cibiran itu sempat terdengar di telinga Emilio. Pria itu berdecih sinis.
Waktunya terlalu berharga untuk meladeni hal-hal tidak penting. Ini memuakkan.
Dia harus menemui kekasihnya yang sudah lama tidak dia temui. Emilio sangat merindukan wanita itu. Bagaimana ya kabarnya sekarang?
Terakhir kali kekasihnya itu berkunjung ke lapas adalah tiga tahun lalu, itu pun sangat sebentar.
Pria itu bergegas menuju tempat di mana kekasihnya berada. Melajukan mobil dengan jantung berdegup hebat.
Emilio akan datang dan memberikan kejutan besar.
Jenith pasti senang melihatnya sudah bebas dari penjara, kan?
Dia terkekeh bangga dengan pengorbanan yang sudah dilakukannya lima tahun lalu.
Emilio yakin, tidak ada pria yang sehebat dirinya dalam melakukan pengorbanan.
Ingatannya menerawang pada kejadian lima tahun lalu.
"Tidak, aku tidak membunuhnya. Tidak, Emilio... bukan aku."
Emilio mengerutkan dahi, ada apa dengan kekasihnya? Tiba-tiba menghubungi Emilio dan berteriak ketakutan seperti itu. "Hei, ada apa, Jen?" tanya pria berusia 20 tahun itu kepada kekasihnya. "Kamu baik-baik saja? Di mana sekarang?"
"Aku... tidak! Emilio... aku... aku tidak membunuh siapa pun." Isakan terdengar dari sebrang telepon.
Merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan kekasihnya. Emilio bangkit, melepas jas berwarna putih yang dia kenakan, lalu pria itu berlalu dari ruangannya dengan ponsel menempel di telinga.
"Kamu di mana? Aku ke sana sekarang." Emilio berucap penuh kekhawatiran. Jantungnya berpacu cepat, takut terjadi sesuatu kepada Jenith.
Pria itu berlari secepat mungkin menuju basemant rumah sakit untuk mengambil mobilnya. Emilio mengemudi dengan kecepatan maksimal, menuju hotel, tempat di mana Jenith berada.
Emilio masuk ke dalam kamar nomor 207. Kakinya yang panjang perlahan melangkah masuk lebih dalam.
Kamar ini adalah tempat menginap kekasihnya selama beberapa hari ini karena pekerjaan.
Tak!
Kunci mobil dan ponsel dalam genggaman tangan Emilio jatuh begitu saja, seiring dengan tubuhnya yang melemas saat itu juga.
Seorang pria terkapar tak berdaya dengan mata terbuka di lantai, tepat dihadapan Emilio sekarang.
Di sekitar kepala pria itu, cairan berwarna merah kental mengalir menodai lantai putih. Darah itu berceceran di sana, sangat banyak.
Pria itu berjongkok, memeriksa denyut nadi pria berlumur darah di sana.
Dan pria itu sudah tak bernyawa.
Jantung Emilio semakin berpacu cepat kala dia melihat pecahan botol kaca di dekat kepalanya. Siapa yang melakukan hal sekeji ini?
"Jen..." Emilio melemas ketika dia teringat kekasihnya yang membuat Emilio datang kemari.
Berdiri, dan Emilio mulai mencari-cari keberadaan Jenith ditemani dengan rasa takut dan khawatir dalam dadanya.
Jenith tidak mungkin melakukan ini. Tidak mungkin! Emilio percaya itu.
Namun, hatinya bergetar hebat saat menemukan Jenith di pojok ruangan. Memeluk dirinya sendiri sambil menangis hebat hingga bahunya berguncang.
Semakin tidak bisa dipercaya lagi saat Emilio melihat sepotong pecahan botol di tangan kekasihnya. Itu pasti benda yang digunakannya untuk memukul kepala pria tadi.
"Emilio!"
Jenith memeluk Emilio yang baru saja merunduk untuk memeriksanya. "Aku... tidak, Emilio. Bukan aku... hiks." Dia menangis hebat, tangannya yang terdapat bercak darah bergetar beriringan dengan isakannya yang tak kunjung reda.
"Aku tidak membunuhnya. Bukan... bukan aku."
Emilio hanya diam. Tak membalas pelukan atau berkata apa pun. Semua ini terlalu mengejutkan untuknya, Emilio tidak tahu harus apa.
"Kamu percaya padaku, kan. Aku tidak membunuhnya!" Menunjuk tempat di mana jasad pria tadi berada.
Mata Jenith menatap tangannya yang menggenggam sepotong botol kaca. Secara refleks wanita itu menjatuhkan benda tersebut. "Bukan aku, Emilio. Bukan aku..." Menggelengkan kepala, bersikeras menyangkal dirinya sudah menghilangkan nyawa seseorang.
Dia menangis lagi tanpa henti. Semakin takut karena Emilio diam saja. Siapa lagi yang akan membantunya selain pria ini?
Meski seribu kali Jenith menyangkal bahwa dia tidak membunuh pria itu, semuanya sudah jelas.
"Siapa dia?" Emilio menjauhkan diri dari Jenith, menunjuk jasad pria tadi.
"Asistenku," jawab Jenith sambil menggelengkan kepala dan terisak lagi. "Bukan aku, Emilio..." ujarnya dengan nada putus asa.
Emilio meraih bahu Jentih. Menatap mata wanita itu dalam, menyiratkan betapa dia sangat mencintai wanita ini meski apa pun yang sudah dilakukan Jenith.
Bahkan membunuh sekali pun.
"Serahkan dirimu kepada polisi." Pria itu berucap tegas.