Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Sang Pemuas
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Berlian Andini, gadis berumur dua puluh tahun itu berbinar saat seorang pria paruh baya memberinya handphone baru. Sebenarnya dia sangat senang dengan hadiah kesekian kalinya dari ayah sambungnya tersebut. Hanya saja ada rasa tidak enak dan sungkan.
Lian, begitu ia kerap disapa. Bibir mungilnya melengkung tipis sambil memberikan lagi barang pemberian Darma. Pria itu merengut tidak mau mendengar penolakan.
"Ayah ikhlas membelikan ini untukmu. Masa anak muda pake Hp jadul! Jadi, ambil saja!" Dia menarik tangan Lian untuk memberikan lagi kotak handphone, sengaja ingin menyentuh kulit bersih anak tirinya.
Lian menarik tangannya. Ada perasaan was-was saat melihat kilat mata jelalatan dan senyum penuh seringai milik Darma. "Te-terima kasih, Yah. Nanti setelah aku gajian, uangnya kuganti."
"Lho … gak usah! Ayah tersinggung kalau kamu melakukan itu," ucapnya masih tersenyum mencurigakan.
Mau tak mau benda itu diterima. Tapi Lian tetap berniat menggantinya nanti jika sudah punya uang.
Wanita paruh baya menghampiri mereka. Tersenyum bahagia karena melihat keharmonisan antara suami dan putri semata wayangnya.
"Lian, apa kamu suka handphone baru itu? Ayah memang bilang ingin membelikannya untukmu tapi Ibu tidak sangka akan secepat ini," tutur Ayu Sari, ibu dari Berlian.
"Ayah kan memang sayang sama Lian. Apapun akan Ayah lakukan untuknya," timpal Darma sambil memegang kursi roda yang diduduki istrinya tapi tatapannya tertuju pada si anak tiri.
"Handphone-nya bagus, Bu! Eh, iya. Aku harus segera berangkat takut kesiangan!" Lian menatap jam di pergelangan tangan lalu masuk ke dalam kamar untuk mengambil tas.
"Ayah akan mengantarmu," tawar Darma.
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Lian diantar-jemput oleh ayah sambung menuju ke tempat kerja. Tapi saat ini rasanya ada kecemasan yang melanda sejak Darma menatapnya berbeda tadi.
"Ini hanya ketakutan yang tidak jelas. Aku memang harus ikut sama ayah biar tidak telat ke pabrik. Tenanglah! Kemarin-kemarin aman dan dia tidak melakukan hal aneh. Jadi, tidak usah cemas!" pikir Lian yang disusul dengan anggukan yang tertuju pada Darma.
Ayu mengusap kepala putrinya saat gadis itu berpamitan. Senyumnya makin mengembang. Rasanya lega karena dia mempunyai suami yang juga menyayangi Lian seperti anak sendiri.
**
Seperti biasa, Lian duduk dengan posisi menyamping saat menaiki motor matic milik ayah sambungnya. Tangannya selalu berpegangan pada besi ujung jok.
"Yah, gak usah ngebut biar aman!" Memang saat ini Lian sedang berlomba dengan waktu untuk sampai di tempat kerja. Tapi jika harus membahayakan nyawa, itu juga salah.
Darma sama sekali tidak mempedulikan permintaan dari Lian. Dia sengaja membawa si kuda besinya untuk memacu lebih kencang. Si gadis masih bertahan untuk tidak berpegangan pada pinggang ayah tirinya.
"Lihat saja, kamu pasti akan memelukku dengan erat!" batin Darma yang diiringi senyum seringai.
Pria setengah botak itu menambah kecepatan motor seperti pembalap liar hingga membuat Lian benar-benar menyentuh pinggangnya dengan sebelah tangan. Bagian benjolan di dada sedikit menyundul pada punggung Darma, membuat pria itu makin berotak miring.
Lian segera melepas tangannya saat kendaraan berhenti di depan gerbang sebuah pabrik garmen.
"Sun tangan dulu kalau mau pergi!" Darma mengulurkan tangannya saat Lian baru saja turun dari kendaraan.
Dengan sungkan, gadis itu menurut. Dia terhenyak ketika pipinya dielus oleh Darma. Lian sedikit mundur kemudian buru-buru pergi tanpa berkata apa-apa.
"Hem, manis sekali. Aku suka!"
Seringai itu muncul lagi sebelum Darma meninggalkan tempat tersebut.
**
Lian berkutat di dapur setelah pulang dari bekerja. Memasak untuk makan malam seperti biasanya.
Kompor dimatikan. Dia mengambil wadah untuk nasi goreng dan telur dadar. Menyimpannya di atas meja makan kemudian bergerak membersihkan dapur dan mencuci tangan.
Gadis itu tersentak karena pinggangnya dipeluk seseorang dari belakang. Segera berbalik dan menjauh. Matanya membeliak dan dadanya berdegup-degup.
"Lian, Ayah bikin kamu kaget ya?" Darma tersenyum tanpa dosa.
Gadis tersebut gemetaran menatap takut. Kakinya dipaksakan bergerak meski terasa lemas. Dia harus menjauh dari ayahnya yang makin menakutkan.
Darma menyeringai. "Aku suka aroma tubuhnya."
Pria itu duduk tenang di ruang makan, menunggu yang lainnya datang. Sekitar sepuluh menit, Lian muncul bersama ibunya.
"Akhirnya … yang ditunggu-tunggu datang juga," ucap Darma dengan senyum tipis yang menyeringai.
Ayu tersipu karena berpikir jika suaminya sedang menggombal. Dia salah, perkataan Darma sebenarnya tertuju pada anaknya.
Pria itu menatap Lian yang tengah menyendokkan makanan. "Bu, anak gadismu mirip denganmu. Sepertinya dulu kamu juga secantik Lian."