Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
Novel ini aku peruntukkan untuk seorang Bunda hebat yang pernah bersama membesarkan griya riasku. Juga untuk seorang Ibu yang pernah membuatku bisa mewujudkan satu diantara impianku dalam hidup,... Bu Gita Andhini di Jl. Mangga II Perum Pondok Candra Sidoarjo. Sugeng wilujeng, Bu Gita?
********
Hari telah menjelang sore. Suara adhan Ashar telah berlalu. Gayatri sudah mematuk dirinya dengan berdandan secantik mungkin, sama seperti tiap hari Jum'at yang sering dia lakukan tiap sebelum sholat Ashar.
Diliriknya kalender yang berada di ruang keluarga. Ini adalah minggu ke empat setelah tiga minggu yang lalu suaminya tak juga nampak pulang. Dan Gayatri tak pernah lelah berharap, akan kedatangan suaminya itu. Walau harapan itu dibarengi dengan rasa cemas karena selama itu pula handphonenya tak bisa dihubungi, padahal dia pekerjaannya di jalan> Yang ditakutkan Gayatri, terjadi sesuatu dengan pekerjaannya. Dan dia tidak tau harus menghubungi siapa, selama ini dia tak mengenal siapapun teman suaminya itu. Termasuk tidak pernah tau nomer telpon bosnya. Yang dia tau hanya telpon Praygoi dari duluh pun handpone-nya hanya ada nomer Prayogi dan beberapa nama guru dari anak-anaknya sekolah.
Dia belum juga memasak, sementara sebentar lagi kedua buah hatinya akan pulang dari sekolah. Sengaja Gayatri berpuasa walau hari ini hari Jum'at. Tak ada tuntunan untuk puasa hari Jum'at, selain puasa Daud yang dilakukan Gayatri. Setidaknya selain mendapat pahala, dengan puasa dia akan lebih menghemat pengeluaran, mengurangi jatah nasi yang akan masuk ke perutnya.
"Assalamualikum!" Ternyata anak laki-lakinya sudah pulang dari sekolah.
"Waalaikumussalam!" jawab Gayatri sambil mengulurkan tangannya untuk dicium putranya itu. Lalu memandang putranya dengan sedikit bingung karena dia belum masak.
"Kamu sudah lapar, Ling?" tanyanya hanya basa basi, dia mana mungkin tidak tau anaknya sudah lapar mengingat tubuhnya yang tinggi melebihi dia dan membutuhkan makanan lebih. Sedangkan bekal yang dia bawa tadi juga sedikit.
"Ghak juga, Bund. Aku tadi ditraktir teman makan bakso, jadi agak kenyang," ucap Galing sambil melepas sepatu dan kaos kakinya. "kenapa? Bunda belum masak ya kok tanya gitu?" Galing yang mengetahui keadaan keluarganya bertanya dengan hati-hati.
"Nunggu sebentar Bunda masak, barangkali ayahmu pulang hari ini, bisa untuk membeli beras." kata Gayatri sambil tetap berusaha tersenyum.
"Bunda hari ini juga puasa?" tanya putranya lagi setelah melepas baju seragam dan menaruhnya di bak cucian.
Gayatri mengangguk.
"Sabar ya, Bund. Nanti kalau Galing sudah besar, Galing akan bekerja agar Bunda tidak dalam kelaparan terus," hiburnya sambil memeluk Bundanya.
"Ih, bau nih adik!" seloroh Gayatri untuk tak membuat suasana makin dalam kesusahan.
Galing terkekeh. "Bunda sih sudah harum, sudah dandan cantik begini," kata Galing lalu beranjak ke kamar mandi dengan hanya melilitkan handuk di pinggangnya.
Gayatri melirik jam di dinding ruang keluarga. Tak terasa sudah jam 16.30. Dia menghela nafas panjang. Haruskah dia masih menunggu sementara yang ditunggu tak datang jua. Sedangkan untuk melangkah ke warung bu Ratih, rasanya dia malu. Yang kemarin saja belum dibayar, apa dia kini harus berhutang lagi. Uang yang diberikan suaminya biasanya memang hanya cukup untuk kebutuhan mereka selama seminggu dengan menyisakan sedikit untuk keperluan sekolah anak-anak. Setelah tiga minggu suaminya tak pulang, uang itu pun kini sudah habis.
"Kamu tadi ghak lihat kak Galuh?" tanyanya setelah Galing keluar dari kamar mandi dengan handuk yang hanya melilit di pinggangnya. Nampak dia lebih besar dari usianya yang masih 12 tahun.
"Engak tuh Bund. Aku pikir tadi sudah pulang kok sepedanya ghak ada."
"Terus kemana dia, Ling?" tanya Gayatri cemas. Akhir-akhir ini Galuh memang sering pulang telat, bahkan pernah malam hari. Kalau ditanya ke mana, dia pasti marah-marah dengan menghubungkan uang sakunya yang sekarang memang berkurang.
"Bund, aku nyoba cari kak Galuh." Galing sudah memakai kaos santai dan pamit, lalu mengayuh sepeda gunungnya.
"Iya. Ling. Terimakasih."
Lagi-lagi Gayatri melihat ke halaman rumahnya yang tak seberapa luas. Rumah yang mereka tempati hanyalah perumahan dengan tipe 21 yang tak jua direnofasi, kecuali ditambah satu kamar untuk Galuh. Dua orang yang ditunggu tak jua nampak. Akhirnya Gayatri kemudian ke warung bu Ratih dengan menebalkan mukanya karena malu.
Setelah mengayuh sepedanya, dia menunggu agak lama sampai yang antri sudah pergi semua.
"Maaf, Bu,.. boleh ngebon lagi?"
"Ghak apa-apa, mbak. Jangan sungkan. Sekarang minta apa?" kata bu Ratih ramah. Dia memang orangnya baik, kapan hari sudah berpesan untuk tak segan-segan meminta bantuannya jika memerlukan sesuatu.