The Guardian Devil

The Guardian Devil

Viallynn

5.0
Komentar
2.2K
Penayangan
55
Bab

Sekarang Cindy paham kenapa hidupnya selalu berjalan dengan baik meskipun selalu kekurangan. Itu semua tidak lepas dari Mr. Auredo yang selalu menjaganya dari jauh, tapi semua kenyamanan itu hilang ketika Chris menggantikan posisi ayahnya untuk menjaga Cindy. Chris memang menjalankan tugasnya dengan baik, tapi dengan keegoisan yang tinggi apakah Cindy masih bisa bertahan? "Kau lebih mirip iblis dari pada malaikat." - Madeline Cindy "Seharusnya aku menghukummu karena bicara seperti itu, tapi kali ini akan kumaafkan karena memang aku lebih menyukai iblis dari pada malaikat." - Christopher Auredo *** Viallynn

Bab 1 Gadis Hebat

Madeline Cindy, gadis tangguh berusia 20 tahun yang mengambil banyak pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Menjadi tulang punggung keluarga sudah menjadi suatu keharusan untuknya. Cindy harus mengumpulkan banyak uang untuk operasi kaki Ibunya yang lumpuh karena kecelakaan.

Hidup di kota besar seperti New York sangatlah sulit. Kau harus bisa memutar otak jika tidak ingin tidur di pinggir jalan dan meminta belas kasihan dari orang lain. Cindy bersyukur jika Caleb mendapatkan beasiswa untuk sekolah menengah atas sehingga dia tidak perlu bingung dengan biaya sekolah adiknya itu.

Pernah terbesit rasa iri yang Cindy rasakan ketika melihat orang lain bisa tertawa dan membelanjakan uang mereka tanpa khawatir. Seperti remaja pada umumnya, dia juga ingin melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi tapi Cindy harus mengubur semua mimpi itu. Sekarang bukan saatnya dia memikirkan dirinya sendiri karena yang terpenting adalah Ibunya. Cindy ingin Ibunya bisa kembali berjalan sehingga wanita itu tidak perlu meminta Caleb mengantarnya ke gereja untuk mendoakan suaminya yang telah tenang di alam sana. Cita-cita yang cukup sederhana tapi sangat sulit untuk diraih.

"Bisakah kau memindahkan pot itu ke depan, Cindy?" Tunjuk Bibi Jane pada dua pot yang berisi bunga mawar.

"Baik, Bibi Jane," ucap Cindy mengangkat dua pot itu bersamaan dan membawanya ke luar toko. Diletakkannya pot itu dengan rapi agar dapat menarik perhatian pelanggan.

"Cantik sekali bunga ini." Cindy tersenyum sambil menyentuh kelopak mawar putih yang terlihat segar.

"Kau bisa membawa bibit ini dan menanamnya di rumah nanti," ucap Ron sambil memindahkan bibit mawar ke dalam pot yang lebih besar.

Cindy tertawa dan menggelengkan kepalanya pelan, "Percuma, Ron. Tidak ada yang merawatnya nanti."

"Kau bisa menyuruh Caleb."

Cindy berdecak, "Pria itu hanya mencintai bola basket. Aku tidak rela jika bunga ini akan layu begitu saja."

"Setidaknya cintanya kepada bola basket membawa keberuntungan, bukan?"

Cindy mengangguk membenarkan ucapan Ron. Jika bukan karena basket, adiknya itu tidak akan bisa mendapatkan beasiswa. Cindy bersyukur saat menemukan nama Caleb di daftar calon murid penerima beasiswa, biar bagaimanapun juga dia ingin adiknya mendapatkan pendidikan yang terbaik.

Cindy mengalihkan pandangannya pada kafe yang berada di seberang toko. Terlihat banyak anak muda yang sedang tertawa bahagia di sana. Rasa sedih kembali menghampiri Cindy. Seharusnya dia bisa berada di sana dan berkumpul dengan temannya jika Ayahnya tidak pergi meninggalkannya. Dia juga pasti bisa bersekolah di sekolah desain impiannya.

"Kedipkan matamu." Ron menjentikkan jarinya di samping Cindy.

Gadis itu hanya tersenyum kecut. Dia tahu jika Ron akan mengomelinya lagi karena memandang kumpulan anak muda itu dengan tatapan iri. Namun hal itu tidak bisa dicegah. Jauh di dalam hatinya, Cindy ingin merasakan itu semua, menikmati masa mudanya.

"Aku bosan mengomelimu Cindy." Ron mendesah kecewa.

Cindy tertawa dan memukul bahu Ron pelan, "Aku hanya memandang mereka, Ron. Apa salahnya?"

"Kau menatap mereka seolah ingin mencuri tas mereka, kau tahu?!"

"Aku tidak!" Cindy dengan cepat mengelak dan berlalu masuk ke dalam toko.

Ron mengikuti Cindy dan menemukan Bibi Jane yang sedang duduk di balik meja kasir. Kaca mata yang terpasang di matanya menandakan jika wanita paruh baya itu sedang membaca majalah favoritnya.

"Aku bisa membawamu ke kafe nanti malam jika kau mau, aku yang traktir." Ron kembali menghampiri Cindy dan menyenggol bahu gadis itu.

"Kau tahu aku harus menjaga Violet nanti malam."

"Rose masih bekerja di kelab, Cindy?" tanya Bibi Jane sambil melepas kaca matanya.

"Masih, Bi."

"Kenapa tidak bekerja saja di sini?" tanya Ron bingung.

"Dia sudah punya anak, Ron. Biaya sekolah tidaklah murah," sahut Cindy.

"Ron kan memang bodoh! Jadi dia tidak tahu bagaimana sulitnya mencari uang," ucap Bibi Jane menghina keponakannya. Dia berdiri dari kursi dan berjalan ke luar toko untuk menghampiri pelanggan yang sedang melihat-lihat bunga di luar toko.

"Jika aku tidak tahu, aku tidak mungkin bekerja denganmu Bi!" ucap Ron tidak terima saat Bibinya selalu saja menghinanya.

"Seharusnya kau bisa memanfaatkan gelar arsitekmu, sayang sekali jika tak berguna." Cindy tertawa dan ikut memojokkan Ron.

"Kau juga!" Ron mendelik dan mendengus tidak suka, "Bisakah kau ijin nanti malam? Aku benar-benar ingin mengajakmu ke kafe."

"Tidak bisa, Ron. Rose sudah mengatakannya jauh-jauh hari. Dia juga memintaku untuk menginap."

"Sayang sekali wanita secantik Rose harus bekerja menjadi wanita panggilan. Aku yakin jika dia mendaftar menjadi model Victoria Secret dia akan mejadi angel tercantik."

"Well, hidup memang keras," ucap Cindy menepuk bahu Ron dan meninggalkannya untuk membantu Bibi Jane.

***

Chris menatap gundukan tanah yang berisi jasad Ayahnya dengan diam. Suara tangisan dari Neneknya tidak membuat Chris terganggu sedikitpun. Tidak, dia tidak menangis. Hanya saja matanya sedikit memerah, oleh karena itu dia harus menutupinya dengan kaca mata hitam.

Chris menggaruk hidungnya yang gatal dan tanpa diduga Anton langsung memberikannya selembar tisu. Chris menatap tisu yang ada di hadapannya itu dengan bingung.

"Aku tidak menangis, bodoh!" Chris menghempaskan tangan asistennya dan membuat tisu itu terjatuh. Anton hanya berdehem pelan dan mengambil tisunya.

"Sampai kapan kita akan berada di sini?" tanya Chris pada Anton dengan berbisik.

"Saya tidak tahu, Tuan. Kita harus menunggu Mrs. Auredo untuk pulang."

Chris menghela nafas panjang dan menatap Neneknya yang masih menangisi kepergian anaknya. Jangan katakan Chris durhaka karena tidak merasakan simpati sedikitpun atas kematian Ayahnya. Dia tidak dididik seperti itu. Tentu saja dia sedih, serangan jantung yang menyerang Ayahnya benar-benar tidak terduga. Kini dia hanya sendiri sekarang. Kedua orang tuanya telah bahagia karena bisa berkumpul kembali di surga.

Surga? Apa kau yakin Chris?

"Nek, kita harus pulang." Chris menghampiri Neneknya yang masih menangis sambil mengelus batu nisan.

"Ayahmu, Chris. Kenapa dia meninggalkan Nenek sendiri?" Anton dengan sigap memberikan selembar tisu pada Mrs. Auredo yang dengan cepat diambilnya.

"Takdir, Nek. Mungkin Ayah merindukan Ibu."

Mrs. Auredo berdiri dan mengusap air matanya. Dia menatap cucunya dengan serius. Disentuhnya bahu kekar Chris dan menepuknya pelan, "Kau jangan pergi meninggalkan Nenek, ya? Kau akan tahu akibatnya nanti."

Chris memutar matanya jengah, untung saja dia memakai kaca matanya saat ini sehingga Neneknya tidak akan menyadarinya. Mau tidak mau Chris mengangguk agar dia bisa cepat pulang dari makam mengerikan ini. Chris berjalan di samping Neneknya yang berjalan dengan bantuan tongkat. Kesehatan wanita itu menurun akhir-akhir ini. Anton masih setia mengikutinya di belakang.

"Kau akan pulang ke rumah, Chris?" tanya Mrs. Auredo.

"Tidak, Nek."

"Kenapa? Apa kau tidak ingin menemani Nenek?"

"Bukan begitu, hanya saja aku ada rapat besok pagi," ucap Chris mencari alasan.

"Nenek sekarang sendiri, Ayahmu tidak ada Chris." Chris memutar matanya lagi. Tentu saja Ayahnya tidak ada karena pria itu akan tidur di dalam tanah mulai dari sekarang.

"Nenek bisa menghubungi Lexa." Tiba-tiba Chris teringat dengan wanita yang menjadi tunangannya itu.

"Kau lupa? Lexa sedang berada di Miami sekarang."

"Untuk apa?"

"Tunangan Anda sedang berlayar di yacht bersama teman-temannya, Tuan," ucap Anton membuka mulut.

Mrs. Auredo dan Chris menghentikan langkahnya saat mendengar penjelasan dari Anton. Anton langsung gugup begitu dia menerima tatapan tajam khas Auredo itu.

"Dari mana kau tahu?" tanya Mrs. Auredo kembali melanjutkan langkahnya.

"Tadi pagi Nona Lexa memberi tahu saya karena ponsel Tuan tidak aktif."

"Kau harus terus mengaktifkan ponselmu, Chris. Jangan membuat Lexa sedih."

"Kenapa kau masih menyukainya, Nek? Padahal dia tidak datang di pemakaman Ayah." Chris tidak habis pikir kenapa dia mau menerima permintaan Neneknya untuk bertunangan dengan Lexa.

"Anggap saja dia sedang bekerja." Mrs. Auredo menepuk bahu Chris pelan dan berlalu untuk masuk ke dalam mobilnya.

Chris hanya diam menunggu mobil itu berlalu pergi. Setelah menghilang dari pandangannya, dia berbalik menatap Anton yang ada di belakangnya.

"Katakan Anton, katakan bagaimana caranya agar aku bisa menjauh dari Lexa?"

Anton terlihat berpikir tapi kemudian dia menggeleng, "Tidak ada, Tuan."

"Dasar tidak berguna!" umpat Chris kasar dan berlalu masuk ke dalam mobil.

Seharusnya Chris tahu jika Neneknya akan melakukan segala cara untuk dapat mengatur hidupnya. Entah apa saja yang wanita itu inginkan, Chris tidak bisa menolak. Jika orang yang tidak mengenal Neneknya pasti akan beranggapan jika wanita tua itu terlihat sangat rapuh dan sama seperti orang tua lainnya. Namun semua itu tidak benar, kelicikan yang dia punya juga berasal dari Neneknya.

Bisnis bukanlah sesuatu yang bersih. Jika ingin berkuasa maka harus melakukan segala cara untuk mendapatkannya, meskipun dengan cara terlarang sekalipun. Itu yang diajarkan keluarga Auredo kepadanya. Chris tidak menyesal dilahirkan dalam keluarga ini karena dia bisa mendapatkan segala hal yang dia inginkan dengan sangat mudah.

"Apa jadwalku setelah ini?" Chris menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi dan memijat keningnya pelan.

"Jadwal Tuan setelah ini adalah bertemu dengan Mr. Ronald untuk pembacaan surat wasiat."

"Surat wasiat?" Chris bertanya bingung.

"Iya, Tuan. Mr. Ronald sudah membuat janji semalam." Chris hanya mengangguk paham.

"Di mana?"

"Di kantor Mr. Ronald."

Chris kembali mengangguk dan mengambil ponselnya di saku jas. Dinyalakannya ponselnya yang dia matikan sejak semalam. Begitu menyala, banyak sekali notifikasi yang masuk dan yang paling mendominasi adalah Lexa, tunangannya.

Chris membuka pesan terakhir dari Lexa dan membacanya. Dia mendengus begitu wanita itu hanya menyampaikan maaf karena tidak bisa hadir ke pemakaman Ayahnya karena sedang berada di tengah laut. Alasan konyol itu membuat Chris semakin yakin jika Lexa hanyalah wanita bodoh yang hanya bisa berfoya-foya. Hilang sudah respek Chris terhadap wanita itu.

"Oh iya, Tuan. Mr. Ronald berkata jika Tuan harus merahasiakan pertemuan ini kepada siapapun."

Dahi Chris berkerut bingung, "Nenek tidak ikut dalam pembacaan wasiat?"

"Tidak, Tuan."

"Apa mungkin ada sesuatu yang rahasia, Anton?" gumam Chris menanyakan isi pikirannya.

"Bisa jadi, karena Mr. Ronald mengundang Anda secara personal."

Chris memejamkan matanya dan berpikir. Kehidupannya akan berubah mulai dari sekarang. Dia harus bisa memegang banyak perusahaan sekaligus. Meskipun perusahaan itu milik keluarga, tapi menjadi cucu satu-satunya keluarga Auredo tentu tidaklah mudah. Siapa lagi jika bukan dirinya yang akan mengurus semuanya.

Neneknya? Pftt yang benar saja!

***

TBC

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Viallynn

Selebihnya

Buku serupa

Bosku Kenikmatanku

Bosku Kenikmatanku

Juliana
5.0

Aku semakin semangat untuk membuat dia bertekuk lutut, sengaja aku tidak meminta nya untuk membuka pakaian, tanganku masuk kedalam kaosnya dan mencari buah dada yang sering aku curi pandang tetapi aku melepaskan terlebih dulu pengait bh nya Aku elus pelan dari pangkal sampai ujung, aku putar dan sedikit remasan nampak ci jeny mulai menggigit bibir bawahnya.. Terus aku berikan rangsang an dan ketika jari tanganku memilin dan menekan punting nya pelan "Ohhsss... Hemm.. Din.. Desahannya dan kedua kakinya ditekuk dilipat kan dan kedua tangan nya memeluk ku Sekarang sudah terlihat ci jeny terangsang dan nafsu. Tangan kiri ku turun ke bawah melewati perutnya yang masih datar dan halus sampai menemukan bukit yang spertinya lebat ditumbuhi bulu jembut. Jari jariku masih mengelus dan bermain di bulu jembutnya kadang ku tarik Saat aku teruskan kebawah kedalam celah vaginanya.. Yes sudah basah. Aku segera masukan jariku kedalam nya dan kini bibirku sudah menciumi buah dadanya yang montok putih.. " Dinn... Dino... Hhmmm sssttt.. Ohhsss.... Kamu iniii ah sss... Desahannya panjang " Kenapa Ci.. Ga enak ya.. Kataku menghentikan aktifitas tanganku di lobang vaginanya... " Akhhs jangan berhenti begitu katanya dengan mengangkat pinggul nya... " Mau lebih dari ini ga.. Tanyaku " Hemmm.. Terserah kamu saja katanya sepertinya malu " Buka pakaian enci sekarang.. Dan pakaian yang saya pake juga sambil aku kocokan lebih dalam dan aku sedot punting susu nya " Aoww... Dinnnn kamu bikin aku jadi seperti ini.. Sambil bangun ke tika aku udahin aktifitas ku dan dengan cepat dia melepaskan pakaian nya sampai tersisa celana dalamnya Dan setelah itu ci jeny melepaskan pakaian ku dan menyisakan celana dalamnya Aku diam terpaku melihat tubuh nya cantik pasti,putih dan mulus, body nya yang montok.. Aku ga menyangka bisa menikmati tubuh itu " Hai.. Malah diem saja, apa aku cuma jadi bahan tonton nan saja,bukannya ini jadi hayalanmu selama ini. Katanya membuyarkan lamunanku " Pastinya Ci..kenapa celana dalamnya ga di lepas sekalian.. Tanyaku " Kamu saja yang melepaskannya.. Kata dia sambil duduk di sofa bed. Aku lepaskan celana dalamku dan penislku yang sudah berdiri keras mengangguk angguk di depannya. Aku lihat di sempat kagett melihat punyaku untuk ukuran biasa saja dengan panjang 18cm diameter 4cm, setelah aku dekatkan ke wajahnya. Ada rasa ragu ragu " Memang selama ini belum pernah Ci melakukan oral? Tanyaku dan dia menggelengkan kepala

Terjebak Gairah Terlarang

Terjebak Gairah Terlarang

kodav
5.0

WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku