Cinta dan pernikahan menjadi hal yang paling akhir dipikirkan oleh Ervano Bhalendra- chef tampan rupawan nan menawan banyak perawan. Apalagi setelah hancurnya rumah tangganya dengan Irina, ibu dari dua buah hatinya, juga kehilangan Elvin Eleanor yang menjadi penyebab patah hati terdalamnya. Tapi sejak bertemu dengan Magisa Prastiwi, semuanya serba terbalik. Ervan yang kaku dan menutup diri setelah tragedi masa lalunya kembali hidup dan antusias mengejar cinta sejatinya.
Ervan melirik sekilas pada jam digital di pergelangan tangan kirinya, menghitung sesaat, ternyata sudah lebih dari tiga puluh menit ia duduk tanpa melakukan pergerakan apapun di salah satu sudut Crystal View yang ia miliki di kawasan Jakarta Timur. Selama itu pula matanya tak beralih dari tubuh putra bungsunya yang tidur sangat pulas hingga sedikit menganga. Bocah lelaki dengan rambut ikal dan pipi sebulat bakpao merekah itu tertidur sangat nyenyak di atas pangkuan seorang gadis muda yang Ervan yakini adalah salah satu dari guru pengajar Giri di sekolah barunya.
Sudah dua bulan ini Ervan mengajak Tama dan Giri untuk pindah ke ibu kota. Hal tersebut dikarenakan ia menerima tawaran dari salah satu stasiun televisi yang mengajaknya menjadi salah satu juri di ajang lomba memasak bergengsi tanah air. Ervan tak perlu berpikir dua kali untuk menerima tawaran menarik tersebut, apalagi sudah satu tahun ini ia membuka cabang cafenya di Jakarta. Selain itu Ervan memang sudah lama berencana pindah dari pulau Dewata, karena terlalu banyak kenangan menyesakkan di sana. Entah itu kenangan indah bersama perempuan yang tak bisa ia miliki ataupun kenangan pahit akan hancurnya rumah tangganya bersama Irina.
Ini pemandangan yang langka. Batin Ervan tergelitik penasaran.
Sangat langka. Karena itu sedari tadi chef tampan itu tak melarikan netranya kemana-mana selain pada putranya, sesekali juga melirik pada perempuan yang siang ini tampil modis dengan blouse berwarna hijau tua dipadukan kulot panjang berwarna cerah. Tak heran jika Ervan menyebut ini sebagai pemandangan tak biasa, karena sebelum-sebelumnya Giri sangat sulit untuk akrab dengan orang asing. Dengan Sashi yang notabene adalah kakak kandung Ervan saja balita itu cenderung menghindar, juga dengan beberapa pengasuh yang sudah sangat sering berganti-ganti karena tak ada yang mampu 'menaklukkan' seorang Giri. Tapi lihat saja sekarang, bocah itu tidur dengan damainya di pangkuan orang yang baru ia kenal.
Baru saja Ervan hendak bangkit berdiri, terpaksa kembali mendaratkan bokongnya pada sofa tunggal yang tadi ia duduki. Hal tersebut karena ada satu sosok lain yang mendekati perempuan muda tersebut. Yang sepertinya masih rekan satu profesi si gadis yang kini tangannya mengusap lengan Giri dengan perlahan itu.
"Gis, belom pulang juga lo?" tanya perempuan berkacamata hitam yang baru saja memasuki area café.
"Lo gak liat gue gak bisa gerak gini. Ni bocah anteng banget dari tadi. Mana tega gue bangunin." jawab si perempuan yang tadi dipanggil 'Gis' itu.
"Bokapnya belom dateng?"
"Boro-boro dateng, pesan terakhir gue aja belom dibaca." jawab si Gis Gis ini dengan wajah sebal.
Ervan sontak merogoh saku celana guna mencari benda pipih yang sedari tadi belum ia rubah dari mode silent. Cepat-cepat ia membuka aplikasi berlogo hijau itu, dan benar saja di sana ada tiga pesan yang ternyata terlewat belum ia buka.
Wali kelas Giri : Giri bilang minta diantar ke tempat makan yang namanya Crystal View pak. Saya tunggu bapak di sana lima belas menit lagi. Kasihan kalau Giri terlalu lama rewel.
Wali kelas Giri : Kami sudah sampai pak. Pak Ervan dimana?
Wali kelas Giri : Bapak dimana? masih jauh? Giri mengantuk pak.
"Ngapain sih Giri minta antar ke sini?" tanya si sahabat Gis-Gis, membuat Ervan menajamkan pendengarannya lagi pada dua sahabat yang sedang berbincang santai itu.
"Mana gue tau, tadi pas dia nangis kejer. Cuma bilang minta antar ke tempat papanya sering ajak dia makan. Namanya Crystal View. Laah di Jakarta, tempat makan yang namanya Crystal View cuma ini kan?"
"Gisa.. Gisa..."
Oke ternyata namanya Gisa.
"Ribet banget dah nasib lo jadi guru toddler, tiap hari gak senewen apa hadepin bocah piyik yang bikin repot gitu? Salah lo sendiri deh, kemaren sempat nolak tawaran jadi dosen di Bina Bangsa." protes si sahabat Gisa ini.
"Ribet sih nggak Ra, gemes aja kadang-kadang. Ni anak masih baru satu minggu trial di Eleven School, pindahan juga dari luar kota. Masih adaptasi gitu, makanya agak rewel." jawab si Gisa santai. Jemarinya asik berputar-putar memainkan rambut ikal Giri yang mulai memanjang.
"Ckk... alasan lo aja." sahabat Gisa mengangkat tangannya untuk memanggil salah satu pramusaji café.
"Elo tau sendiri lah kenapa gue lebih milih jadi guru toddler dari pada jadi dosen kan?"
"Iya deh iya... elo suka anak kecil karena peris-"
"Bentar.. bentar, gue telpon aja deh bapaknya si Gigi ini. Kaku nih paha gue." potong Gisa lantas sibuk mencari kontak ayah dari salah satu muridnya itu.
"Giri maksud lo?"
"Gue lebih suka manggil dia Gigi, kalo ketawa kocak banget pas keliatan gigi kelincinya gitu." Gisa terkekeh pelan. Perlahan ia menempelkan ponselnya pada telinga kiri, berharap kali ini panggilannya akan diangkat oleh orang tua dari muridnya ini.
Ervan yang sadar ponselnya berdering nyaring mendadak diserang panik saat melihat nama Wali kelas Giri berkedip di layar ponselnya. Apalagi selang satu detik kemudian sepasang netra dari gadis bernama Gisa itu menatapnya tak putus seolah penasaran dengan gerak geriknya yang mendadak kikuk. Sejak mendaftarkan sang putra bungsu ke Elven School, Ervan memang belum sempat bertemu langsung dengan wali kelas Giri. Karena saat itu sang wali kelas sedang berhalangan hadir, jadi Ervan langsung berurusan dengan kepala sekolah di sana. Dan sekarang, terjawab sudah rasa penasaran Ervan pada sosok wali kelas yang beberapa hari ini sering diceritakan oleh Giri.
"Pak Ervano, saya Magisa wali kelas Giri di Eleven School." ucap Gisa masih fokus pada sosok pria yang duduk tak jauh dari tempatnya.
"I- iya saya Ervan." Ervan mendadak berdiri salah tingkah, seolah penyamarannya terkuak secara paksa.
Gisa menurunkan ponselnya perlahan. Telunjuk kanannya terangkat menunjuk pada Ervan yang tengah berjalan dengan canggung mendekatinya.
"Sa- sa- saya Ervan." seru Ervan terbata-bata seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Pak Ervano, papanya Narendra Giri?" tanya Gisa lirih sambil menatap pada balita yang masih nyaman terbuai mimpi dalam pangkuannya.
"I- iya saya papanya Narendra Giri."
Gisa lantas memutar bola matanya jengah. Seolah sedang dikerjai habis-habisan oleh sepasang ayah dan anak ini. "Astaga..." Gisa sedikit mengacak rambutnya kesal.
"Bapak gak baca pesan dari saya?" protes Gisa masih bisa mengontrol suaranya agar Giri tak terkejut.
"Ponsel saya silent, jadi gak denger. Ma- maaf miss."
"Terusss?? Dari tadi bapak duduk kayak patung hampir satu jam disitu ngapain? padahal udah jelas-jelas tau anak bapak lagi sama saya." Gisa sedikit mendelik kesal pada wali murid aneh yang baru ia temui ini.
Ervan gelagapan. Tak bisa menemukan alasan tepat untuk menjawab pertanyaan dari perempuan berlesung pipi yang terlihat sangat jengah siang hari ini. "Hmm.. itu.. itu karena.. hmm takut Giri terbangun."
"Gigi.. hmm.. Giri kan anak bapak. Tanggung jawab dong."
"I- iya.. miss. Ma- maaf. Sekali lagi maaf." Ervan heran kenapa ia mendadak gagap seperti ini. Pria itu bergerak pelan mendekati Gisa. Sedikit menunduk untuk memindahkan sang putra ke dalam gendongannya.
"Biar Giri sayang gendong." Ervan mengulurkan tangannya perlahan.
"Ya iyalah. Masa saya yang bapak gendong!! Gimana sih?"
Gisa sedikit menaikkan nada suaranya. Membuat balita di pangkuannya menggeliat pelan. Bukan menggeliat untuk bangun dari tidurnya, si kecil Giri justru makin erat memeluk perut wali kelasnya dan melanjutkan perjalanan mimpinya lagi.
Ervan memejamkan mata sejenak. Baru sekali ini ia bertemu dengan perempuan yang nampak kalem serta tenang dari luar namun ternyata ketus dan banyak bicara blak-blakan. Sudah hampir tiga tahun sejak ia menyandang status duda, baru kali ini Ervan temui perempuan dengan perangai unik seperti sosok mungil di depannya ini. Sosok yang sepertinya akan membuat hidupnya lebih berwarna untuk beberapa waktu ke depan, karena sosok mungil inilah yang ternyata mampu menaklukkan tingkah ajaib putra bungsunya.
▪️
Tbc
Bab 1 1 - Gis Gis
15/02/2022
Bab 2 2 - Siapa Sih Bapaknya
16/02/2022
Bab 3 3 - Bukan Nanny
16/02/2022
Bab 4 4 - Duda Hawt
16/02/2022
Bab 5 Papa Nakal
18/02/2022
Bab 6 Calon Istri
22/02/2022
Bab 7 Gisa Serba Bisa
22/02/2022
Bab 8 Miss Mama
23/02/2022
Bab 9 Panggilan Rahasia
24/02/2022
Bab 10 CCC
28/02/2022
Bab 11 Nanny Mingguan
28/02/2022
Bab 12 Benci Pantai
28/02/2022
Bab 13 Maafkan
28/02/2022
Bab 14 Cerita Lama
28/02/2022
Bab 15 Parah!!
28/02/2022
Bab 16 PDKT
01/03/2022
Bab 17 Ini Serius
02/03/2022
Bab 18 Tanda-tanda
03/03/2022
Bab 19 Belajar dari Kesalahan
07/03/2022
Bab 20 Kepincut Duda
08/03/2022
Bab 21 Mama Beneran
08/03/2022
Bab 22 Dilamar
09/03/2022
Bab 23 Serius Mendekat
12/03/2022
Bab 24 Kejutan Lain
12/03/2022
Bab 25 Siapa Renjana
12/03/2022
Bab 26 Aku Jelaskan Semua
12/03/2022
Bab 27 Jika Nanti
15/03/2022
Bab 28 Mana Cincinku
18/03/2022
Bab 29 Otewe Dilamar
19/03/2022
Bab 30 The Day
21/03/2022
Bab 31 Rasanya Malam Pertama
26/03/2022
Bab 32 Romansa Pagi
01/04/2022
Bab 33 Adik Baru
05/04/2022
Buku lain oleh Rinai Hening
Selebihnya