/0/30174/coverbig.jpg?v=3fce10af200491cc19356ae3f7a2b9fa&imageMogr2/format/webp)
Aurora Valencia dihancurkan oleh intrik licik saudari tirinya, Sabrina. Ia dijebak, dikirim ke kamar seorang pria asing di malam terlarang, dan tak lama kemudian, kenyataan pahit menghantam: ia hamil. Skandal ini tak terhindarkan. Ayahnya, Jenderal Wirya Atmaja, seorang tokoh militer yang menjunjung tinggi kehormatan, murka besar. Nama baik yang ia jaga selama ini tercoreng, dan tanpa belas kasihan, ia mengusir Aurora dari rumah. Enam tahun berlalu, dan wanita yang kembali bukanlah Aurora yang rapuh. Ia adalah badai yang tenang, sosok yang bertekad menuntut keadilan. Dengan langkah pasti, ia kembali ke Jakarta, siap membalikkan semua keadaan. Tujuan utamanya jelas: membongkar semua kebusukan dan topeng kemunafikan yang selama ini dipakai oleh Sabrina dan ibu tirinya. Di samping misi balas dendam, ia harus memecahkan misteri terbesar dalam hidupnya: siapa pria yang telah memberinya sepasang anak kembar yang luar biasa?
Malam itu, di kediaman keluarga Valencia yang megah, udara terasa tebal, bukan karena panasnya Jakarta, tapi karena beban ekspektasi. Jenderal Wirya Atmaja, si empunya nama, sedang mengadakan jamuan besar-besaran, menyambut para kolega militer dan investor kelas kakap. Musik klasik mengalun pelan, beradu dengan gemerlap kristal yang tergantung di langit-langit setinggi sepuluh meter.
Di sudut ruangan, Aurora Valencia, dalam gaun cocktail hitam yang sederhana-pilihan termurah yang bisa dia temukan tanpa melanggar dress code-berusaha keras menjadi tak terlihat.
Percuma. Tubuhnya jangkung, kulitnya putih bersih, dan matanya yang besar selalu menarik perhatian. Tapi bukan itu yang Aurora takuti. Yang dia takuti adalah mata sinis yang mengawasinya, mengira dia sedang mencoba 'menggoda' tamu penting Jenderal.
Mata itu milik Sabrina, saudari tiri yang usianya hanya berbeda setahun.
Sabrina berdiri di tengah ruangan, dikelilingi sekumpulan sosialita yang tertawa genit pada setiap lelucon murahan yang dia lontarkan. Sabrina mengenakan gaun merah menyala, mahal, dan jelas-jelas sengaja menyaingi semua orang. Dia memang selalu begitu: ingin menjadi matahari, sementara semua orang lain harus menjadi bayangan.
Aurora hanya ingin malam cepat berlalu. Dia sudah cukup kenyang dengan tatapan Jenderal Wirya yang dingin, seolah kehadiran Aurora di pesta itu hanyalah noda yang tak sengaja tumpah di karpet mahal. Setelah Jenderal menikah lagi dengan Mama Karina, hidup Aurora berubah dari putri tunggal kesayangan menjadi beban yang harus ditanggung.
"Kenapa sendirian di sini?"
Suara itu datang dari samping, lembut dan terlalu manis untuk dipercaya. Aurora menoleh dan melihat Sabrina berdiri di sebelahnya, senyumnya secerah berlian palsu.
"Aku lagi istirahat, Sab," jawab Aurora datar.
"Istirahat? Ayolah, Ra. Ini pesta. Semua mata tertuju pada kita. Sebagai anak Jenderal, kita harus tampil ramah," kata Sabrina sambil meraih gelas champagne yang Aurora pegang. "Kamu perlu minum yang lebih kuat dari air soda ini. Santai sedikit."
Aurora mengernyit. "Aku nggak minum alkohol, kamu tahu itu."
"Astaga, Ra. Sudah enam tahun, kamu masih konservatif begini? Come on. Jangan malu-maluin aku. Minum ini," desak Sabrina, kali ini menyodorkan gelas baru berisi cairan kuning keemasan yang terlihat seperti cocktail mahal. "Ini cuma jus buah dengan sedikit sparkling water. Biar wajahmu nggak pucat kayak hantu."
Ada sesuatu yang terasa salah. Tapi tatapan Sabrina kali ini, entah kenapa, tampak tulus. Tulus dalam artian, dia benar-benar ingin Aurora minum.
"Ambil, Ra. Demi Ayah," bisik Sabrina, menggunakan kartu AS.
Mendengar nama Ayah, pertahanan Aurora runtuh. Dia tahu ayahnya benci melihatnya murung. Dia menarik napas panjang. "Oke. Sedikit saja."
Aurora menyambut gelas itu dan menyesapnya. Rasa manis buah yang kuat langsung menyerbu lidahnya, tapi disusul dengan sensasi hangat yang aneh, berbeda dari alkohol biasa. Rasa hangat itu tidak terbakar, tapi justru menenangkan... dan membuat kepalanya sedikit pusing.
"Nah, begitu dong," senyum Sabrina lebar, lalu berbalik pergi untuk menyambut dua orang petinggi militer, meninggalkan Aurora sendiri di sudut.
Aurora menghabiskan isinya dalam dua tegukan. Dia merasa lebih baik, lebih ringan. Tapi sensasi ringan itu dengan cepat berubah menjadi sensasi berat. Jantungnya mulai berdebar kencang, dan suhu tubuhnya terasa melonjak.
Kenapa panas banget di sini? pikirnya sambil menarik-narik kerah gaunnya.
Pandangannya mulai kabur. Lampu kristal di atasnya tampak berputar, seperti kincir angin raksasa yang kehilangan kendali. Suara orang-orang berdengung, seperti kawanan lebah yang terbang di kejauhan. Kaki Aurora terasa seperti jeli, tidak mampu menopang berat badannya.
Dia menyandarkan tubuhnya ke dinding marmer dingin, berharap hawa dingin itu bisa meredakan panas di dalam dirinya.
Seketika, sebuah tangan mendarat di pinggangnya, membantu menahan tubuh Aurora agar tidak merosot.
"Ra? Kamu kenapa? Kamu pucat sekali," suara Sabrina terdengar panik, tetapi ada nada puas yang tersembunyi di baliknya.
"Pusing, Sab. Aku... nggak enak badan," ucap Aurora terbata, berusaha fokus pada wajah Sabrina yang sekarang tampak ganda.
"Astaga, ya sudah. Jangan di sini. Nanti Ayah lihat, dia pasti marah. Kita ke kamar kamu saja, biar kamu bisa tidur. Ayo, aku bantu."
Sabrina memapah Aurora, seolah dia adalah penyelamat yang penuh kasih sayang. Mereka berjalan perlahan, melewati lorong mewah yang dipenuhi lukisan-lukisan Eropa klasik. Setiap langkah terasa seperti memimpin Aurora ke dasar jurang.
Obat bius yang dicampurkan Sabrina bekerja terlalu cepat dan terlalu efektif. Aurora tidak bisa berpikir jernih. Satu-satunya naluri yang tersisa adalah mengikuti siapa pun yang memegangnya.
"Tunggu, Sab... ini bukan kamarku," Aurora bergumam samar, saat Sabrina berhenti di depan pintu kayu jati yang diukir rumit. Kamar Aurora ada di sayap timur, lebih dekat ke tangga pelayan. Kamar ini-kamar tamu VIP, terletak di area eksklusif yang hanya bisa diakses tamu-tamu kehormatan Jenderal Wirya.
"Ssttt... kamarmu bising, Ra. Aku mau kamu istirahat yang tenang. Kamar ini kosong. Ayo, masuk," desis Sabrina, mendorong gagang pintu.
Pintu terbuka, memperlihatkan kamar suite yang luas dan didominasi warna gelap-marun, emas, dan navy. Kamar itu dipenuhi aroma parfum pria yang berat, mahal, dan sangat asing.
Aurora sempat memberontak sedikit, otaknya mengirimkan sinyal bahaya terakhir yang mampu menembus kabut obat. "Jangan, Sab... aku mau kamar... sendiri..."
"Diam, Ra!" bentak Sabrina, suaranya kembali ke nada aslinya yang keras dan dingin. Dia mendorong Aurora ke dalam ruangan.
"Tidurlah, Ra. Nikmati malam kamu. Ini semua sudah direncanakan, dan kamu, Aurora, kamu akan menyesal sudah lahir di keluarga ini."
Sabrina tersenyum bengis, senyum yang tak pernah dilihat Aurora. Senyum itu mengandung dendam selama bertahun-tahun, cerminan kebencian yang dipendam ibu tiri dan kini diwariskan ke putrinya.
Sebelum Aurora sempat memproses kata-kata kejam itu, Sabrina sudah meninggalkannya, mengunci pintu dari luar.
Aurora sendirian.
Dia mencoba berteriak, tapi kerongkongannya terasa kering dan suaranya hanya keluar sebagai rintihan lemah. Sensasi panas di tubuhnya kini tidak lagi pusing, melainkan berubah menjadi hasrat yang tak dapat dijelaskan, dorongan primitif yang menghancurkan semua logikanya. Obat itu telah merenggut kendali atas dirinya.
Dia merangkak ke tempat tidur berukuran king size. Tubuhnya jatuh ke atas seprai sutra hitam yang dingin. Sentuhan dingin itu sedikit melegakan, tapi hanya sesaat.
Tiba-tiba, bayangan gelap memasuki kamarnya.
Aurora tak tahu kapan pintu itu terbuka lagi, atau mungkin dia terlalu tenggelam dalam kabut hasrat yang menyiksa. Dia hanya melihat siluet pria jangkung, dengan bahu lebar, bergerak mendekat.
Pria itu adalah tamu terhormat Jenderal Wirya, seorang investor besar yang usianya mungkin awal tiga puluhan. Wajahnya diselimuti bayangan, hanya matanya yang tajam dan gelap yang terlihat. Aurora tidak bisa melihatnya dengan jelas, tapi dia bisa merasakan aura dominan dan berbahaya yang dipancarkan pria itu.
Seharusnya Aurora ketakutan setengah mati, lari, berteriak, atau minimal menutup diri. Tapi tubuhnya sudah bukan miliknya lagi.
"Siapa... siapa kamu?" Aurora berhasil berbisik, suaranya serak.
Pria itu tidak menjawab. Dia hanya berdiri di tepi ranjang, menatap Aurora yang kini tak lebih dari mangsa yang tak berdaya di atas seprai sutra.
"Mereka... mereka menyuruhku ke sini," kata Aurora, mencoba menjelaskan situasi yang sudah tak bisa diselamatkan. Air matanya mulai mengalir, bukan karena rasa sakit, tapi karena keputusasaan. "Aku nggak mau... aku dijebak..."
Suara Aurora meredup. Rasa pusing, hasrat, dan kepanikan bercampur menjadi satu. Dia meraih tangan pria itu, memohon bantuan.
Namun, dalam keheningan yang mencekam, pria itu hanya menghela napas. Desahan itu terdengar berat, seperti dia juga terjerumus dalam masalah yang tidak dia inginkan. Tapi dia tidak pergi. Dia tidak memanggil bantuan. Dia tidak menghentikan apa yang telah dimulai.
Dia hanya menatap Aurora, dan kemudian, kegelapan malam mengambil alih. Aurora hanya mengingat aroma musk maskulin yang kuat, sentuhan tegas yang tidak memberi kesempatan, dan rasa sakit yang dengan cepat teredam oleh efek obat yang sudah mencapai puncaknya. Semuanya buram, cepat, dan menghancurkan.
Cahaya matahari pagi yang menusuk dari sela-sela tirai tebal membuat mata Aurora berkedip-kedip.
Kepalanya berdenyut hebat. Seluruh tubuhnya terasa remuk redam, seperti dia baru saja ditabrak truk dan ditinggalkan di tengah jalan. Dia merasakan selimut yang berat menutupi dirinya.
Aurora membutuhkan waktu lama untuk menyadari dirinya tidak berada di kamarnya sendiri.
Ruangan itu kosong. Seprai sutra hitam yang semalam terasa dingin kini tampak kusut dan memiliki lipatan yang tidak seharusnya ada. Ada aroma parfum pria yang tertinggal di udara, berpadu dengan aroma tubuhnya sendiri.
Ingatannya kembali dengan kejutan listrik. Sensasi panas. Sabrina. Gelas cocktail itu. Pria misterius itu.
Aurora terdengar seperti wajan yang jatuh ke lantai. Dia segera bangkit, gemetar ketakutan, dan menyadari bahwa dia benar-benar sendirian di kamar asing yang terkunci dari luar.
Dia segera mencari gaun hitamnya yang tergeletak di lantai, mengenakannya dengan tergesa-gesa. Air matanya mengalir deras, membasahi pipi yang terasa panas membara. Ini bukan mimpi buruk. Ini nyata.
Aku dijebak. Aku kotor. Aku benar-benar dijebak.
Rasa panik itu membuatnya berlari ke pintu, mencoba memutar kunci. Terkunci. Dia mengetuk, memukul-mukul pintu, tapi tidak ada suara selain tangisnya yang tertahan.
Saat keputusasaan mencapai puncaknya, pintu itu terbuka dari luar.
Sosok Sabrina dan Mama Karina berdiri di ambang pintu. Tapi mereka tidak sendiri. Di belakang mereka, berdiri dua orang pengawal pribadi Jenderal Wirya dan, yang membuat Aurora nyaris pingsan, Jenderal Wirya sendiri.
Wajah Jenderal Wirya Atmaja yang biasanya tegas kini membeku, keras, dan penuh amarah. Matanya gelap, menatap Aurora seolah dia sedang melihat kuman paling menjijikkan di dunia.
"Aurora! Astaga, apa yang kamu lakukan di sini?" teriak Sabrina, acting terkejut luar biasa. Suaranya diatur pada nada paling histeris. "Kami mencarimu semalaman! Ayah sampai panik!"
Sabrina berlari menghampiri Aurora, tapi dia tidak memeluk. Justru, dia meraih seprai sutra kusut dari ranjang dan melemparkannya ke lantai.
"Ayah, lihat ini!" jerit Sabrina. "Kamar Tuan David (sebut saja nama si pria itu), dia pergi pagi-pagi sekali karena ada urusan mendadak. Tapi lihat! Aurora ada di sini! Dia... dia tidur di sini semalaman!"
Mama Karina segera menambahkan, "Ya Tuhan, putriku! Kenapa kamu senekat ini, Nak? Kamu mencoreng nama baik Ayahmu!"
Aurora membeku. Dunia terasa berhenti.
Dia ingin menjelaskan. Ingin mengatakan tentang gelas terkutuk itu, tentang pintu yang dikunci, tentang tipu daya Sabrina. Tapi suaranya tercekat. Bagaimana dia bisa membela diri ketika dia keluar dari kamar seorang pria, rambutnya acak-acakan, dan matanya penuh tangis?
"Ayah... Ayah, aku dijebak," rintih Aurora, menatap ayahnya dengan segenap permohonan yang tersisa.
Jenderal Wirya tidak bergerak, tapi matanya menyala-nyala. Dia melihat ke belakang Aurora, ke arah kamar yang berantakan, dan kemudian kembali menatapnya.
"Diam! Jangan pernah kamu panggil saya Ayah lagi," suara Jenderal Wirya terdengar rendah, berbahaya, dan mematikan. "Saya besarkan kamu dengan kehormatan. Saya berikan kamu segalanya. Tapi ini yang kamu lakukan? Kamu menyerahkan diri kepada seorang pria asing demi uang?"
"Bukan, Ayah! Aku tidak tahu dia siapa!"
"Tuan David itu kolega penting saya! Dan sekarang, seluruh kolega saya sudah tahu kamu putri yang murahan!" Jenderal Wirya melangkah maju. Ekspresinya tidak menunjukkan sedikitpun keraguan. "Kamu tahu apa yang terjadi pada aib keluarga di mata militer?"
Aurora menggelengkan kepala.
"Kamu diusir! Kamu bukan lagi putri saya, Aurora Valencia. Sekarang, juga selamanya. Bawa dia keluar dari rumah ini! Jangan biarkan dia ambil satu pun barang!" perintah Jenderal Wirya kepada para pengawal.
Pengawal itu bergerak cepat, mencengkeram lengan Aurora. Kekuatan mereka membuat Aurora tak mampu melawan.
"Lepas! Ayah, jangan! Aku nggak salah! Sabrina! Sabrina yang melakukan ini!" teriak Aurora, berusaha meraih tangan ayahnya, tetapi Jenderal Wirya sudah berbalik membelakangi.
Di tengah kekacauan itu, saat pengawal menyeretnya melewati lorong-lorong megah yang tiba-tiba terasa seperti penjara, Aurora sempat melihat Sabrina.
Sabrina tidak lagi berakting. Dia tersenyum. Senyum kemenangan yang dingin dan kejam. Senyum yang mengatakan, 'Permainanmu sudah selesai, Ra.'
Itulah kali terakhir Aurora Valencia merasakan kehangatan rumah. Dia diseret keluar, hanya dengan gaun hitam yang terkoyak, tanpa ponsel, tanpa dompet, tanpa uang, dan tanpa martabat.
Di bawah langit pagi Jakarta yang mulai cerah, Aurora merosot ke tanah. Tangisan histerisnya perlahan mereda, digantikan oleh keheningan yang lebih menakutkan: sebuah janji.
Dia memejamkan mata, memeluk lututnya yang gemetar.
Aku akan kembali. Aku akan menghancurkanmu, Sabrina. Dan aku akan mencari siapa pria yang menghancurkanku malam ini.
Saat itulah Aurora Valencia yang lama mati, digantikan oleh nyala api dendam yang baru.
Bab 1 berusaha keras menjadi tak terlihat.
23/11/2025
Bab 2 mencintai kehormatan daripada dirinya
23/11/2025
Bab 3 menyewa sebuah kamar kecil
23/11/2025
Bab 4 diusir dengan gaun lecek
23/11/2025
Bab 5 Jaminan keamanan si kembar
23/11/2025
Bab 6 Rencana sudah matang
23/11/2025
Bab 7 Aurora berusaha keras untuk terlihat dingin
23/11/2025
Bab 8 rasa bersalahmu
23/11/2025
Bab 9 amarah
23/11/2025
Bab 10 memohon pengakuan
23/11/2025
Bab 11 Sabrina muncul di ambang pintu kamar tamu
23/11/2025
Bab 12 Mama Karina akan ikut terseret
23/11/2025
Bab 13 Jeritan Mama Karina terdengar nyaring
23/11/2025
Bab 14 mencoba menenangkan paman
23/11/2025
Bab 15 menyerahkan diri sebagai saksi
23/11/2025
Bab 16 Bocah sialan itu lagi
23/11/2025
Bab 17 Sabrina tidak membuang waktu
23/11/2025
Bab 18 Setelah insiden di Puncak
23/11/2025
Bab 19 mengabaikan pengacaranya
23/11/2025
Bab 20 utang yang diatur Aurora mulai menagih
23/11/2025
Bab 21 menyelesaikan urusan
23/11/2025
Buku lain oleh Gede Bagus Perdana
Selebihnya