/0/15746/coverorgin.jpg?v=dd951388bf1506d99ea44810f630efd4&imageMogr2/format/webp)
Sudah satu tahun lamanya Maha tinggal satu atap dengan suami dan istri pertamanya. Dia akhirnya tinggal bersama karena ibunya sudah tiada, ditambah saat ini ada buah hati yang hadir di tengah keluarga mereka.
Zayn, suaminya tidak mengizinkannya untuk tinggal seorang diri, ditambah suaminya itu tak selalu punya waktu untuk meluangkan waktu untuk datang ke rumahnya, Zayn bilang kalau Alysa harus diutamakan karena istri pertamanya itu sakit-sakitan.
Maha menatap Alysa dan Sarah yang sedang menimang seorang bayi, ya... bayi itu adalah anak yang dilahirkannya delapan bulan bulan yang lalu, tapi mereka lah yang mengurus sang bayi yang Zayn namai ‘Muhammad Faiz Adam’. Kehadirannya seolah hanya sebagai alat untuk melahirkan dan jika Faiz menangis, barulah dia bisa memeluk sang anak.
Belum luka perih kehilangan ibunya, saat ini Maha harus merasakan bagaimana kejamnya dia seperti sengaja dipisahkan dengan darah dagingnya sendiri.
Maha hanya menatap kosong mereka, dia hanya menertawakan garis takdirnya sendiri. Sikap Zayn pun sedikit berubah padanya, suaminya itu hanya peduli pada sang istri pertama yang tengah sakit dan juga jarang menemuinya di kamar. Ditambah ada Nyai Sarah – ibu kandung Alysa yang memang selalu membenci kehadirannya.
“Assalamualaikum... “
Semua orang menatap ke arah sumber suara tersebut dan tampak sosok Zayn yang datang dari balik pintu.
“Walaikumussalam... “
Alysa langsung tersenyum lebar melihat Zayn muncul.
Zayn tersenyum, dia langsung menghampiri Alysa yang sedang menggendong Faiz. Pria itu mengecup pipi istri pertamanya dan juga mencium punggung tangan sang mertua.
“Lho kok Mas Zayn nggak ngabarin kalau pulang? Bukankah Mas masih harus ngurus kantor cabang yang ada di Bandung?” tanya Alysa.
“Kerjaan selesai lebih cepat dan Mas sengaja nggak ngabarin biar jadi kejutan,” balas Zayn. Dia terus saja menatap gemas ke arah anak pertamanya itu.
“Suamimu pasti kangen sama kamu dan anaknya! Wajar kalau maunya pulang cepat,” timpal Sarah dengan sengaja.
Ketiganya berbicara dengan santai, sedangkan Maha seperti tak dianggap keberadaannya. Dia seperti pajangan yang tidak terlihat oleh keluarga bahagia itu. Dia meremas ujung jilbabnya, menahan air matanya agar tidak jatuh lagi... lebih tepatnya, dia tidak mau terus saja menangis. Harusnya dia sudah terlatih dengan luka, bukan? Pemandangan di depannya dan juga luka itu sudah menjadi makanan sehari-hari untuknya.
Zayn langsung tersentak dan sadar karena di ujung sana ada Maha yang duduk. Istri keduanya itu sedang menatap ke arahnya, rasa bersalah langsung menjalar di hatinya.
“Maha, kenapa di sana? Duduk di sini. Mungkin Faiz ingin dipeluk bundanya,” kata Zayn lembut.
“Maha, kamu ambilkan saja teh hangat buat Zayn, ya!” timpal Sarah. Dia menatap Maha dengan penuh waspada.
Maha tersenyum dan mengangguk. “Baik, Nyai.”
“Maha, kamu di sini saja! Biar Mbak yang buatin teh hangat buat Mas Zayn. Faiz sepertinya mau tidur,” timpal Alysa. Wanita itu siap untuk berdiri dan menghampiri Maha, tapi Maha langsung membalasnya.
“Biar aku saja, Mbak.” Maha tanpa menunggu terlalu lama langsung berjalan ke arah dapur.
Di sisi lain, Zayn menatap punggung istri keduanya dengan tatapan yang dalam. Dia memang terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan juga kurang memperhatikan Maha karena Alysa lebih membutuhkan perhatian darinya. Ditambah dia tidak bisa berbuat apa-apa karena jika dia terang-terangan menunjukkan kasih sayang pada Maha, maka mertuanya itu akan semakin membenci Maha.
***
Maha membuat teh hangat di dapur. Saat selesai, Sarah menghampirinya
/0/14031/coverorgin.jpg?v=bb12e5b1738c9075d80a636a45e986e0&imageMogr2/format/webp)
/0/16097/coverorgin.jpg?v=20240206184558&imageMogr2/format/webp)
/0/10865/coverorgin.jpg?v=ab6189316f15c0d4cacbc86ca63b7a0d&imageMogr2/format/webp)
/0/7993/coverorgin.jpg?v=20250122152318&imageMogr2/format/webp)
/0/12665/coverorgin.jpg?v=20250122183407&imageMogr2/format/webp)
/0/2789/coverorgin.jpg?v=4947cdd3063828a24889f7f2c897321c&imageMogr2/format/webp)
/0/16992/coverorgin.jpg?v=6cbd7ab686d9de65ae61301b4be35359&imageMogr2/format/webp)
/0/15165/coverorgin.jpg?v=7b67ac5a6b079e1ea8e63e17a56dbda1&imageMogr2/format/webp)
/0/4354/coverorgin.jpg?v=ecb7c02caea887179aa0ed024447d116&imageMogr2/format/webp)
/0/19343/coverorgin.jpg?v=20240905204200&imageMogr2/format/webp)
/0/4760/coverorgin.jpg?v=20250121182642&imageMogr2/format/webp)
/0/22397/coverorgin.jpg?v=f499664c12913d8df592fd3731f46cc0&imageMogr2/format/webp)
/0/26240/coverorgin.jpg?v=20250808183613&imageMogr2/format/webp)
/0/10813/coverorgin.jpg?v=748f1fe0beef96412cd6727bbe66147d&imageMogr2/format/webp)
/0/13864/coverorgin.jpg?v=20250123145651&imageMogr2/format/webp)
/0/14040/coverorgin.jpg?v=e2468d2e6fe1987cb823e8cf9614f31e&imageMogr2/format/webp)
/0/6402/coverorgin.jpg?v=20250122151229&imageMogr2/format/webp)
/0/4293/coverorgin.jpg?v=20250121182444&imageMogr2/format/webp)