Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
“Sekarang kamu keluar!!”
Teriakan menggelegar itu berasal dari seorang pria kepada seorang wanita muda yang terlihat bersimpuh di hadapan pria itu.
“Ta-tapi... Aku kan sedang ham...” ucap wanita itu bergetar. Tangan kiri wanita itu memegang perutnya yang terlihat sedikit membuncit.
“Aku tak peduli! Aku sudah muak melihatmu! Cepat bereskan barangmu!” Dengan kasar, pria berbadan tegap itu merengkuh tangan wanita bunting itu dan mulai menyeretnya.
Terdengar rintihan dari sang wanita malang. “Ja-jangan Mas... Jangan usir aku...” ucapnya mengiba. Sang pria tidak mengindahkan rintihan wanita berambut panjang itu. Dengan tangan kasarnya, dia terus menyeret wanita itu hingga keluar dari kamarnya. Wanita malang itu berontak, berusaha melepaskan cengkraman tangan pria itu, tapi usahanya sia-sia, tangan pria itu terlalu kuat untuk dilawan.
“Nah benar begitu! Seharusnya sejak kemarin kamu melakukan itu, Bryan!” Tiba-tiba seorang wanita tua muncul entah dari mana. Wajah wanita tua itu terlihat sangat ketus dan matanya melotot lebar menyaksikan peristiwa pilu itu.
“Ibuuu...” tutur wanita itu bergetar. Wanita hamil itu berlari kecil menghampiri wanita tua itu dan bersimpuh di kakinya.
“Tolong, Bu... Maafkan aku. Tolong, jangan usir aku.” Wanita hamil itu tak dapat menahan lagi tangisnya. Air mata berurai deras membasahi pipi chubbynya.
Tidak terlihat setitik pun rasa iba pada wajah wania tua itu. Kedua tangannya dilipat dan sama sekali tidak membantu wanita hamil itu untuk bangkit berdiri. Sang pria yang tertinggal di belakang, kembali menarik tangan wanita berambut hitam itu dari belakang.
“Ayo! Cepat keluar sekarang!” bentaknya. Dia membawa wanita malang itu menuju pintu keluar rumah yang besar itu.
“Mas, please Mas. Jangan lakukan ini,” Sang wanita mengiba saat pria jahat itu membuka pintu kayu dengan gagang emas.
“Aaah. Banyak bacot kamu!” Pergi sana!” Dengan kasar, pria itu mendorong wanita berdaster biru itu hingga dia terdorong jauh dan terjatuh di lantai teras rumah berlantai dua itu.
Wanita itu menangis sejadinya. Dengan sisa tenaganya, dia mencoba bangkit berdiri dan mengetuk-ketuk pintu rumahnya.
“Please, biarkan aku masuk, Mas...” ucapnya dengan berderai air mata. Tidak ada respon dari balik pintu kayu itu. Tidak peduli seberapa keras wanita itu mengetuk pintunya, pintu itu tidak lagi terbuka untuknya.
Tangisan tak berhenti terdengar dari sang wanita. Dia merasa sangat hancur saat itu. Akhirnya dengan perasaan kalut, wanita malang itu berjalan perlahan menjauhi rumah itu. Kaki dan tubuhnya bergetar. Dia berusaha sekuat tenaga agar tidak jatuh pingsan.
Saat wanita itu baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba sebuah hujan deras menghampirinya seakan ingin menambah penderitaan wanita berparas cantik itu. Di tengah gyuran hujan, kaki wanita itu terus melangkah hingga akhirnya dia melewati pintu pagar yang menjulang tinggi.
‘Aku bersumpah, kalian semua akan mendapatkan balasannya!’ gumamnya sembari menatap rumah mewah itu penuh dendam.
***
[Lima bulan sebelumnya]
“Cynthiaaa! Cepat kemari!” pekik seorang pria bertubuh tambun. Dua detik kemudian, terdengar suara langkah kaki seorang wanita mendekat menghampiri pria yang sedang duduk di sebuah kursi malas berwarna coklat tua.
“Ya, ada apa, Boss?” tanya wanita berambut panjang dan berparas manis itu.
“Ini ada pesanan pizza. Kamu antarkan cepat ya! Jangan sampai terlambat.” Wajah pria tambun itu sangat tidak enak dilihat. Wajahnya ditekuk seperti kardus bekas yang sudah tak terpakai.
Dengan cekatan, Cynthia mengambil pizza yang telah dibungkus oleh kantung plastik putih dan segera membawanya keluar dari restoran itu. Dengan menggunakan motor bebeknya yang berwarna merah, Cynthia menancap gas untuk mengantarkan pesanan.
Motor bebeknya meliuk-liuk lincah menghindari kemacetan ibukota siang itu. Sesekali Cynthia melihat jam tangan yang melilit di tangan kirinya.
‘Tujuh menit lagi aku harus sampai’ gumamnya. Terlihat peluh keringat mulai timbul di kening wanita berhidung mancung itu. Cynthia menancap gasnya lebih dalam lagi untuk mengejar waktu, hingga tujuh menit kemudian motor bebeknya berhenti di depan rumah seseorang.
Dengan helm merah yang masih melekat, Cynthia segera turun dari motornya. Tak lupa dia membawa pizzanya. Kaki rampingnya setengah berlari menuju rumah itu. Waktu terus berkejaran dengan dirinya. Mata Cynthia menatap tajam nomor rumah itu untuk memastikan dia tidak salah alamat.