/0/14428/coverorgin.jpg?v=e673db163036ee391c656ce0b40786ba&imageMogr2/format/webp)
Namaku Putri. Aku berkerja di pabrik kompeksi di desaku.
Hari ini aku sengaja pulang lebih cepat karena ingin memberikan bahagia untuk adik-ku. Walaupun dia hanya adik tiriku. Tapi, aku sudah menganggap-nya lebih dari adik kandung.
Tak sabar rasanya aku ingin menyampaikan kabar bahagia ini. Aku melihat reaksi wajah bahagia di wajah Mega~ Adik tiriku.
Aku akan menunjukkan gaun pengantin indah, dan foto cincin kuno berbetuk ular yang sangat cantik ini padanya.
Foto cincin cantik ini yang akan di sematkan di jari manisku, tepat di hari pernikahan kami nanti.
Entah mengapa, saat sudah akan sampai di rumah justru rasa tak nyaman dan firasat buruk menghampiri. Namun aku tak menghiraukan itu. Jelas aku ingin segera menemui Mega. Namun, saat aku sampai depan warung Bu Saudah, aku tidak sengaja melihat Mega dan Kang Satria tengah duduk di sana dengan membelakangi ku.
Aku mundur dan bersembunyi di balik pohon rindang besar depan warung Bu Saudah. Sehingga Satria, dan Mega~adik tiriku itu tidak mengetahui keberadaanku di sini.
Aku ingin tahu apa yang tengah di bicarakan oleh mereka berdua.
Mereka yang nampak akrab, dan apa ini romantis seperti sepasang kekasih tengah bercanda tawa.
Aku terkejut bukan main saat melihatnya mereka berciuman bibir di hadapanku. Wanita itu dengan liar melahap bibir lelaki yang akan menjadi suamiku dalam waktu empat hari lagi.
Aku langsung mengeluarkan ponsel di dalam tas, dan merekam aktivitas mereka..
"Lima hari lagi, ritual itu di lakukan. Kamu sabar." ujar Satria.
'Hah, ritual apa?" Batinku.
"Kamu janji ya, setelah malam satu suro semuanya akan berakhir."
"Pasti Sayang. Kalau bukan karena harus menumbalkan gadis perawan yang lahir di malam suro, aku juga tidak akan sudi menikahi Kakakmu."
"Setelah semua selesai. Kita akan bahagia dengan kekayaan yang melipahkan Kang?" tanya Mega.
"Bahkan kita akan sangat kaya, jika ada satu tumbal lagi yang nanti ikut di korbankan." jawab Satria sambil menatap wajah Mega.
"M-maksud Akang?" tanya Mega takut-takut.
"Kalau kita dapat dua tumbal," jawab Satria santai.
"Maksud kamu dapat dua tumbal gadis perawan suro begitu?" tanya Mega lagi.
"Iya, dengan begitu keluargaku akan lebih kaya raya."
"Kamu nikahin satu gadis aja aku cemburu, ini mau dua sekaligus."
"Kan aku cuma bilang misalnya, Sayang."
"Baguslah nanti jika Kak Putri mati aku gak ada saingan lagi. Karena musuhku nanti akan menjadi persembahan Dewi ular," ucap Mega dengan nada puas.."Benar, Sayang."
Saat obrolan mereka masih berlangsung. Tubuhku lemas bagai daging yang tidak bertulang.
"Kang ke rumahku yuk! Mumpung gak ada siapa-siapa di rumah nih," ajak Mega lalu mereka berdua dengan bahagia pergi dari sana.
Aku melihat Mega celingukan setelah itu keduanya masuk ke dalam rumah. Aku memukul-mukul dadaku yang teramat sakit akan penghianat mereka.
Setelah beberapa menit menangis, aku menguatkan hati berjalan pulang. Entah apa yang mereka lakukan di dalam sana selama aku menangis tadi.
Aku menghapus air mataku, lalu mengetuk pintu rumah dengan sangat kencang. Agar mereka tahu bahwa aku sudah berada di depan rumah.
"Assalamualaikum." Aku masuk dengan mengucapkan salam.
Tak ada yang menyahut salamku, mungkinkah mereka tengah belingsatan mencari pakaian masing-masing yang berserakan di lantai itu, atau tengah mencari tempat persembunyian untuk lelaki biadab itu.
"Waalaikumsalam, Kak Putri sudah pulang?" tanya Mega dengan nafas ngos-ngosan.
"Kamu habis ngapain Mega, kok sampe badan kamu keringatan gitu?"
"Oh, ini aku habis olahraga." jawabnya.
"Di kamar?" tanyaku wajah Mega langsung menegang.
"Aku tadi lihat kamu abis di kamar, jadi artinya kamu olahraga di sana." tambahku yang membuat Mega bernafas lega.
"Iya kak."
Aku sengaja tidak menunjukan sikap yang berbeda kepada Mega.
Aku ingin dia mengetahui bahwa semuanya belum terbongkar.
Walaupun hatiku saat hancur melihat senyuman dan peluh keringatnya.
/0/21617/coverorgin.jpg?v=d83e73ead6cd0559dde32b5af84cbd83&imageMogr2/format/webp)
/0/23628/coverorgin.jpg?v=aa00cb521fffa8c6f930180bf76937e1&imageMogr2/format/webp)
/0/5267/coverorgin.jpg?v=7a1a88dc172797cd08f3eccb2d292b4f&imageMogr2/format/webp)
/0/5568/coverorgin.jpg?v=8003d9a209d09a79020781c190e17ef8&imageMogr2/format/webp)
/0/5473/coverorgin.jpg?v=7d7f596c03bc4022435fb342953ea158&imageMogr2/format/webp)
/0/3778/coverorgin.jpg?v=45659e33fc35fc3013be25deafe72fcf&imageMogr2/format/webp)
/0/22412/coverorgin.jpg?v=34c8b86c0aa7e3c406a82630771523a0&imageMogr2/format/webp)
/0/22405/coverorgin.jpg?v=51f48758e88c4bcd40d9c3f7e5563a82&imageMogr2/format/webp)
/0/21529/coverorgin.jpg?v=ba769898226d749118ed7754d2af4424&imageMogr2/format/webp)
/0/15682/coverorgin.jpg?v=309d2c68cdf00ae1a052e743831ec10a&imageMogr2/format/webp)
/0/16463/coverorgin.jpg?v=83f6dd3af71ea3068b6d2868bc1debf9&imageMogr2/format/webp)
/0/21521/coverorgin.jpg?v=949f724aa518bedbacb3226a7a839c89&imageMogr2/format/webp)
/0/22401/coverorgin.jpg?v=05880cb9713db940c28c9e6ab28b6350&imageMogr2/format/webp)
/0/6867/coverorgin.jpg?v=66057c19aa0def8f4279b697443577cd&imageMogr2/format/webp)
/0/21507/coverorgin.jpg?v=4938f9cd41b484cc12812c3416ca92fa&imageMogr2/format/webp)
/0/30485/coverorgin.jpg?v=b0bedbf127985b73305178e7c8a0b50f&imageMogr2/format/webp)
/0/7651/coverorgin.jpg?v=4c2f9a954961dfe599635b3d8f1e787d&imageMogr2/format/webp)