Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
"Aww, aww, aaa ,,,."
Jerit tertahan terlontar dari gadis berponi bibir lipstik nude ketika kaki mungil terbalut sneakers putih hampir saja terpeleset jatuh menginjak tanah becek sisa genangan air hujan.
"Are you okay?!"
SEERRR!
Aliran darah seakan berdesir begitu cepat ketika mata yang dihiasi bulu-bulu lentik bertabrakan dengan iris mata hitam legam dengan jarak hanya beberapa senti saja.
Detik berikutnya, gadis tersebut baru menyadari tubuh mungilnya sedang melayang di udara dipegang tangan besar melingkari pinggang rampingnya.
"Be careful."
Gadis berponi tersebut cepat-cepat mengatur posisi berdirinya. "Thank you," ucapnya gugup, semburat merah merona langsung menghiasi wajahnya.
"You are welcome."
Setelah hari itu, tidak pernah ada pertemuan kedua, ketiga apalagi keempat dan seterusnya. Tapi bagi gadis berusia 24 tahun tersebut, itu adalah hari yang tak pernah bisa dilupakan seumur hidupnya.
"Loe melamun lagi, Arlyna?!"
Suara cempreng membuyarkan lamunan Arlyna ketika teringat kembali dengan pria berwajah blasteran yang telah menolongnya.
"Yaelah, ck ck ck. Sampai kapan loe akan terobsesi dengan itu orang?!"
"Berisik loe, Bia!" sungut Arlyna.
Sejenak Bia terdiam seakan sedang memikirkan sesuatu, tak lama kemudian berteriak kegirangan. "OMG!"
"Astaga!" Arlyna mengelus dada, kaget dengan teriakan Bia. "Loe kebiasaan selalu berteriak depan telinga gue! Lama-lama gue bisa mati sebelum waktunya!"
"Yey! Mana ada mati sebelum waktunya. Mati ya mati aja! Drama banget."
"He-he-he," Arlyna terkekeh, didorongnya kepala Bia pelan. "Pinter juga loe!"
"Arlyna, gue punya ide untuk mencari pangeran loe yang misterius itu!" Bia antusias. "Dengerin ya ,,,,"
Belum selesai Bia bicara, Arlyna langsung memotong, "Males gue dengan ide-ide loe! Hasilnya selalu zonk, ogah gue!"
"Yah elu. Ngomong juga belum, udah males!" sungut Bia diakhiri dengan cemberut.
Tak berselang lama datang salah satu teman Arlyna yang terkenal cukup tomboy. Langsung duduk di sebelah Bia.
"Kenapa loe? Datang-datang bawa muka masam. Kasih salam kek pada kita berdua. Sudah datangnya telat, bawa muka begitu lagi. Bikin sepet mata gue!" cerocos Bia.
"Iya, kenapa Jeng Vio?! Apa ada yang mengganggu loe di jalan?!" tanya Arlyna.
"Mana ada yang berani ganggu si Vio. Lihat tangannya ini," Bia yang duduk di sebelah Vio mengangkat tangannya Vio. "Tangan kayak barbel begini mana ada yang berani, orang sudah kabur duluan lihatnya! Ha-ha-ha!"
"Apa sih loe!" Vio menarik tangannya dengan kasar. "Tidak lucu!"
Arlyna dan Bia saling melempar pandang, heran dengan sikap temannya yang tidak biasa, padahal kalau diacak becanda apapun tidak pernah marah. Suasanapun mendadak jadi canggung dan hening.
Ya, mereka bertiga selalu rutin menyempatkan waktu untuk bertemu ditengah kesibukan masing-masing di sebuah cafe yang telah menjadi tempat favorit mereka.
Arlyna merupakan seorang fashion designer yang bekerja di butik cukup terkemuka di kota tempat tinggalnya. Bia, seorang sarjana ekonomi yang bekerja di perbankan sementara Vio seorang instruktur senam dan punya beberapa tempat gym.
"Sebentar lagi jam makan siang habis. Gue harus kembali bekerja," ucap Bia setelah melihat jam yang melingkar di tangan.
Arlyn juga melakukan hal yang sama. "Gue juga harus kembali ke butik. Banyak pesanan baju akhir-akhir ini dari para nyonya sosialita."
"Lah terus gue bagaimana?!" tanya Vio.
"Bagaimana apanya?!" tanya Bia dan Vio berbarengan.
"Gue datang, kalian pada pulang!" protes Vio ketus.
"Salah sendiri! Loe daritadi diam membisu," jawab Arlyn. "Gue cabut dulu. Bye. Sampai ketemu lagi."
"Yaelah! Gue lagi bingung, kalian malah pergi. Tidak ada empati sama sekali!" keluh Vio.
Bia yang belum beranjak dari tempat duduknya melihat Vio. "Loe kagak ngomong dari tadi. Bijimane kita bisa tahu!"
Vio menghela napas. "Ya sudahlah. Nanti saja gue cerita."
Bia kembali melihat jam tangannya. "Gue sudah telat nih. Cabut dulu ya!"
Sementara itu, Arlyna sedang berusaha mencari taksi di jalan depan cafe.