Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Sepasang Satria Piningit

Sepasang Satria Piningit

Anggrek Handayani

5.0
Komentar
2
Penayangan
5
Bab

Kisah berawal dari kesalahan ayah Syams dalam mendidik anak-anaknya. Sang ayah tak memberikan kebebasan pada anak-anaknya untuk tumbuh menjadi diri mereka sendiri. Ia mendidik anak-anaknya hanya untuk menjadikan mereka seperti yang ia inginkan. Hingga suatu hari, Syams sebagai anak bungsu melakukan sebuah kesalahan kecil. Namun ia harus menerima hukuman besar atas apa yang telah diperbuatnya itu. Karena kesalahannya itu, Syams diasingkan dari keluarganya hingga ia dapat memenuhi syarat yang diberikan oleh sang ayah agar ia dapat kembali pulang. Seorang pria muda yang notabene adalah seorang guru yang miskin membawanya ke sebuah kampung yang kumuh dan menempatkannya di sebuah rumah kecil untuk diasuh sebagai putranya sendiri. Sebuah rumah yang sangat jauh berbeda dengan rumahnya yang besar nan indah seperti istana. Pemuda itu juga berjanji untuk membantu Syams memenuhi syarat dari sang ayah. Selama tinggal di kampung tersebut, Syams dapat belajar mengenal jati diri sebagai seorang ksatria dari pria muda tersebut. Ia juga dapat belajar banyak hal tentang ksatria. Apa yang harus ia lakukan sebagai seorang ksatria ia pelajari dari rumah kecil tersebut bersama pria yang telah menolongnya itu. Akankah Syams dapat memahami tentang jati dirinya sebagai seorang ksatria dan dapat menjalankan darmanya dengan benar? Dan akankah Syams dapat memenuhi syarat dari sang ayah dan dapat kembali pulang ke rumahnya yang seperti istana itu?

Bab 1 Sebuah Pelita Kecil

Siang hari yang begitu terik tak membuat anak-anak berhenti bermain. Semangat yang begitu tinggi nampak pada wajah mereka. Di lapangan yang sangat hijau nan luas itu dipenuhi oleh anak-anak usia SD yang tengah asyik bermain sepak bola. Mereka berlari dan terus berlari untuk merebut bola dari lawan dan mencetak gol darinya.

Nampak seorang anak bernama Syams yang berlari begitu cepat sambil terus menggiring bola. Beberapa anak lainnya menghadangnya dari depan. Namun ia terus saja lolos dari mereka. Anak-anak yang tergabung dalam timnya terus meneriakkan namanya.Berharap agar ia dapat mencetak gol. Dan benar saja, Syams akhirnya dapat mencetak gol. Hal ini membuat timnya mendapatkan skor yang lebih unggul dari tim lawannya.

“Syams! Kau benar-benar hebat. Jika ada kamu, maka kita tidak akan pernah kalah melawan siapapun,” puji salah seorang teman Syams.

“Terima kasih. Kalian juga hebat.Kita menang karena kerja sama kita. Bukan karena kehebatanku saja," jawab Syams sambil tersenyum.

“Waahh.... Syams. Selain hebat kamu juga tidak suka menyombongkan diri,” Sambung teman lainnya.

“Alah! Itu kan hanya kebetulan saja. Aku jauh lebih hebat darinya,” bantah Wolter dari tim lain.

Syams mengalihkan perhatiannya pada Wolter sedikit kesal. Kemudian ia berkata, ”Sudahlah! Aku ingin pulang. Aku sudah lelah bermain.”

“Alah! Paling hanya alasanmu saja, kan?Sebenarnya kamu takut melawanku, kan?” lanjut Wolter.

Seketika wajah Syams menjadi merah. Ia pun menatap wajah Wolter dengan mata tajamnya. Lalu ia berkata, ”Hei, dengar ya! Aku tidak pernah takut melawan siapapun juga. Aku hanya ingin menghindari pertengkaran denganmu saja. Aku tidak mau menghabiskan waktu hanya untuk bertengkar denganmu saja.”

Syams langsung pergi dari lapangan tempatnya bermain dengan penuh kemarahan. Ia segera mengambil sepedanya dan mengayuhnya dengan sangat cepat. Ia benar-benar sangat marah. Sementara itu, Wolter terus mengejeknya dari belakang. Namun ia tak memperdulikannya dan terus mengayuh sepedanya dengan sangat kuat.

Syams meletakkan sepedanya di depan rumahnya dan berlari memasukinya. Satu persatu anak tangga yang menuju kamarnya dinaikinya. Ia terus berjalan dengan cepat agar segera sampai di kamarnya. Namun saat ia tiba di depan kamar Nashir, ia berhenti sejenak.Ia melihat kakaknya itu sedang sibuk belajar. Kemarahan di wajahnya seketika berubah menjadi sebuah senyuman. Ia pun langsung berlari memasuki kamar tersebut.

“Uda! Uda sedang apa?” sapa Syams dari belakang Nashir.

Seketika itu Nashir menjadi terkejut dan salah dalam menulis huruf di bukunya. Ia kemudian menoleh ke belakang dan berkata dengan nada marah, ”Syams! Kamu mengagetkanku saja! Apa yang kamu lakukan disini?”

“Aku ingin ikut Uda belajar. Setidaknya Uda pinjami aku sebuah buku dan aku pasti akan membacanya. Aku tidak akan mengganggu Uda setelah itu," lanjut Syams.

“Kamu? Ingin membaca bukuku? Memangnya kau mengerti isi buku anak SMA? Kamu saja masih sangat kecil. Lebih baik kau pergi ke kamarmu dan baca buku yang kau beli kemarin,” ucap Nashir sambil sedikit tertawa.

“Tapi kan buku yang kubeli kemarin sudah habis kubaca semua. Sebenarnya masih ada satu buku yang belum kubaca, tapi itu untuk besok. Hari ini aku ingin membaca buku milik Uda saja.”

“Sudahlah, lebih baik kamu pergi bermain saja! Aku ingin belajar untuk persiapan ujianku.”

“Tapi kan ujian masih lama Uda. Kenapa harus dipersiapkan sekarang?”

“Walau masih lama, tapi tetap harus dipersiapkan mulai dari sekarang. Supaya hasil ujiannya mendapatkan nilai yang sempurna. Nanti kau juga harus begitu kalau sudah kelas enam. Kau harus mempersiapkan ujianmu sejak awal. Bukannya menunggu waktu ujiannya sudah dekat baru belajar. Sudah bermain sana!”

“Baik Uda,” jawab Syams dengan wajah tertunduk.

Syams berjalan keluar dari kamar Nashir dengan raut wajah muram. Ia terus berjalan dengan sangat pelan. Seketika itu, karena tidak memperhatikan sekelilingnya, ia tak sengaja menabrak Aziz. Kakaknya yang lainnya.

“Syams! Apa-apaan kau ini? Kenapa kau terus menggangguku?" ucap Azis dengan sangat marah.

“Maaf Uda.bAku tidak sengaja melakukannya. Uda mau kemana? Ayo kita belajar bersama! Atau kalau Uda tidak suka kita bermain bola bersama saja!” jawab Syams.

“Apa? Bermain bersamamu? Tidak mau! Aku tidak mau menjadi korban dari kenakalanmu lagi. Kamu selalu mengerjai setiap orang ada di dekatmu. Kamu ini memang anak nakal. Nakal! Lebih baik aku bermain bersama teman-temanku saja,” ucap Aziz dengan geramnya.

Aziz meninggalkan Syams di depan kamarnya. Ia pun melanjutkan rencananya untuk bermain bersama teman-temannya. Syams semakin sedih karena tidak ada yang mau bermain bersamanya. Ia pun melanjutkan langkahnya untuk beristirahat di kamarnya.

Baru saja ia tiba di depan kamar Aisyah, Syams melihat pintu kamar kakanya itu dibiarkan terbuka sedikit.bEkspresi di wajahnya pun berubah saat ia melihat Aisyah yang sedang asyik belajar.bDengan cepat, ia segera memasuki kamar tersebut.

Syams berdiri tepat di samping kakaknya itu. Melihat buku-buku yang tertata rapi di atas meja, wajahnya pun menjadi berseri.

“Waah... Uni sedang asyik belajar ya? Bukunya banyak sekali! Ayo kita bersama! Ajari aku pelajaran sejarah Uni! Aku belum mengerti tentang sebuah subbab," ucap Syams dengan penuh semangat.

Aisyah terkejut ketika melihat Syams berada di dekatnya.bKemudian ia pun berkata dengan tegas, "Tidak! Aku tidak mau belajar denganmu! Aku sedang sibuk mempersiapkan ujianku. Kamu bermain sendiri saja sana!”

“Ayolah Uni! Kita belajar bersama! Aku sudah lelah bermain," pinta Syams drngan nada memohon.

“Kalau kamu lelah bermain, beristirahat saja di dalam kamar! Jangan menggangguku! Sudah, keluar sana dari kamarku!” ucap Aisyah dengan marah.

“Baiklah, jika itu yang Uni inginkan,” jawab Syams dengan lirih.

Syams kembali gagal untuk mengajak kakaknya belajar bersama. Ia sama sekali belum merasa lelah sehingga ia tak ingin beristirahat. Namun ia juga tak ingin bermain. Kini ia tak tahu harus berbuat apa lagi.

Syams baru saja memegang gagang pintu kamarnya. Tapi tiba-tiba saja bel pintu berbunyi dari depan rumah. Syams segera berlari dan melihat siapa yang datang di hari yang masih sangat terik itu. Dari depan kamarnya, ia dapat melihat seorang asisten rumah tangganya pintu untuk tamunya tersebut.

Betapa terkejut Syams saat mengetahui bahwa tamu tersebut adalah Halim. Kakak sulungnya yang selama ini tinggal di Padangpanjang untuk mengurus sebuah perusahaan di sana. Ia pun langsung berlari untuk menemui kakaknya tersebut. Sepanjang jalan, ia berteriak memanggil-manggil kakaknya itu. Suaranya terdengar oleh Nashir dan Aisyah yang masih sibuk belajar. Mereka pun terkejut mendengar suara Syams yang meneriakkan nama Halim. Mereka pun segera keluar dari kamar dan mengecek kebenaran tentang apa yang mereka dengar itu.

Syams langsung memeluk Halim setelah tiba di depannya. Sementara itu, Nashir dan Aisyah mencium tangannya. Halim lalu memberikan sebuah bingkisan kepada kedua adiknya itu. Kemudian ia melepas pelukan Syams dan memberikan sebuah bingkisan pula padanya.

“Kamu baru datang setelah sekian lama. Kamu pasti sangat rindu dengan adik-adikmu. Menginaplah disini beberapa hari saja!” ucap Maryam yang berdiri di samping Syams.

“Iya, Uda Halim terlalu senang tinggal di PandangPanjang. Hingga lupa pada keluarganya di Jakarta,” sambung Syams.

“Eh, itu tidak benar! Mana mungkin aku lupa pada kalian? Selama ini uda kan sering menghubungi kalian," ucap Halim sambil tersenyum.

"Sudahlah, makan saja rendang yang uda bawakan itu! Setelah itu, kamu dapat membaca dua buku yang aku bawakan untukmu, Syams. Itu buku tentang sejarah Sumatera Barat. Kamu paling menyukainya, kan? Jadi cepat makan rendang itu lalu kalian dapat membaca bukunya bersama-sama,” lanjut Halim.

“Tidak mau! Aku tidak mau membaca buku itu! Biarlah Syams yang membacanya. Dia kan yang paling menyukainya," bantah Nashir.

”Sudahlah, ayo kita makan saja Uda!” ajak Aisyah.

“Iya, ayo! Jangan sisakan rendang ini untuk anak nakal seperti dia!” jawab Nashir dengan penuh semangat.

“Terserah kalian saja. Aku ingin membaca buku ini saja. Ini lebih menyenangkan daripada menghabiskan rendang itu,” balas Syams.

Nashir dan Aisyah memalingkan wajah mereka dari Syams Kemudian mereka pergi ke meja makan dan menyajikan makanan yang berada di tangan Nashir itu ke dalam sebuah piring. Nashir dan Aisyah langsung memakannya dengan sangat lahap. Sementara itu, Syams sama sekali tidak memperdulikan tentang rendang tersebut. Ia malah pergi ke ruang keluarga dan langsung membaca buku yang dibawakan oleh Halim.

Melihat tingkah laku dari ketiga anaknya itu, Maryam tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Halim melepaskan rasa lelahnya itu dengan duduk di ruang tamu dan meminum kopi yang disajikan di depan meja oleh asisten rumah tangganya. Kemudian Maryam duduk tepat di sampingnya untuk melepas kerinduannya pada putra sulungnya itu.

“Jadi bagaimana? Apa kau ingin menginap selama beberapa hari disini?” tanya Maryam.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Anggrek Handayani

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku