/0/22562/coverorgin.jpg?v=79ad4da2ee8b4c1948bdf5f78f4c2217&imageMogr2/format/webp)
Amara menatap ke luar jendela rumah Mbah Tini untuk terakhir kalinya. Angin sore menerpa rambutnya yang panjang, hitam, dan sedikit kusut akibat kurang tidur semalam. Wajahnya menatap jauh ke arah gang sempit yang biasanya ramai oleh anak-anak tetangga bermain, namun kali ini semuanya tampak hampa. Sebuah kesadaran pahit menyesakkan dada: Mbah Tini, satu-satunya orang tua yang ia kenal sejak kecil, kini telah tiada.
Tangannya gemetar ketika ia menyentuh meja kayu tua tempat Mbah Tini biasa menaruh kacamata dan segelas teh hangat. Bau khas teh melati yang dulu selalu menemani pagi dan sore kini hanya tinggal kenangan. Air mata Amara menitik di pipinya, tak tertahankan lagi. "Mbah... aku nggak tahu harus bagaimana tanpamu," gumamnya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh suara angin dan daun-daun yang bergesekan.
Malam itu, ia duduk di kasur tipisnya, memeluk bantal yang selalu diberikan Mbah Tini saat Amara menangis karena rindu orang tuanya yang tak pernah ia kenal. Surat-surat, foto-foto lama, dan beberapa benda peninggalan Mbah Tini terserak di lantai, seolah memintanya untuk memilih apa yang akan ia bawa ke masa depan. Di antara semua benda itu, satu amplop cokelat mencuri perhatian Amara. Amplop itu tebal, berisi dokumen-dokumen yang seolah ditulis khusus untuknya.
Dengan hati-hati, Amara membuka amplop itu. Di dalamnya ada beberapa surat, foto seorang pria dengan senyum lembut, dan peta kecil yang menunjuk ke arah Jakarta. "Ini... ayahku?" pikirnya, jantungnya berdetak lebih cepat. Mbah Tini selalu berkata bahwa ia punya ayah kandung yang tinggal di kota besar, dan jika suatu saat ia merasa siap, ia bisa mencarinya. Tapi selama ini, Amara hanya bisa membayangkan wajah pria itu, mencoba menyatukan puzzle masa lalunya sendiri.
Keputusan itu datang begitu saja, seketika. Ia tidak akan tinggal lagi di Solo. Kota kecilnya menyimpan kenangan indah, tapi juga luka yang tak kunjung sembuh. Dengan tekad yang membara, Amara berkemas. Ia hanya membawa beberapa pakaian, amplop berisi dokumen ayahnya, dan dompet tipis berisi uang hasil menabung selama beberapa bulan terakhir. Tidak ada waktu untuk menangis lebih lama. Ia harus melangkah ke depan, ke kota yang penuh dengan janji, mimpi, dan tantangan: Jakarta.
Pagi hari berikutnya, Amara menaiki bus jurusan ke Jakarta. Selama perjalanan yang memakan waktu lebih dari sepuluh jam itu, pikirannya terus dipenuhi bayangan masa lalu: tawa Mbah Tini, aroma masakan khas Solo, dan beberapa kata yang selalu diulang Mbah Tini: "Anakku, jangan takut bermimpi besar. Suatu hari, kau akan menemukan tempatmu di dunia ini."
Jakarta menyambut Amara dengan hiruk-pikuknya yang khas. Bunyi klakson, asap kendaraan, dan gedung-gedung pencakar langit membuat Amara merasa kecil, hampir tersesat di antara keramaian yang tak henti. Namun, matanya berbinar. Ia tahu, setiap langkah kecil di kota ini adalah bagian dari mimpinya-mencari ayah kandungnya, sekaligus membuktikan bahwa ia bukan anak haram sebagaimana rumor yang kerap terdengar di kampung halaman.
Hari pertama di Jakarta, Amara langsung mencari pekerjaan. Ia belum memiliki banyak koneksi, jadi pilihannya terbatas. Ia berjalan dari satu gedung ke gedung lain, mengantarkan lamaran, berharap ada yang mau memberinya kesempatan. Akhirnya, sebuah perusahaan besar menerima lamaran kerjanya untuk posisi cleaning service. Walau pekerjaannya sederhana, Amara bersyukur. Ia tahu ini adalah awal untuk membangun kehidupan baru dan melangkah lebih dekat pada tujuannya.
Beberapa bulan berlalu, Amara terbiasa dengan ritme baru hidupnya. Bangun pagi, membersihkan lantai kantor, mencuci piring di pantry, mengatur dokumen kecil, dan sesekali membantu resepsionis dengan tugas ringan. Meski lelah, ia menikmati setiap pekerjaan yang ia lakukan dengan hati-hati. Pekerjaan ini memberinya rasa mandiri yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Suatu hari, ketika sedang mengelap kaca jendela lantai atas, Amara melihat pengumuman di papan informasi. Tertulis dengan jelas: "Dicari pengasuh bayi untuk cucu Tuan Hadi Pratama. Gaji menarik, lokasi apartemen mewah." Mata Amara membesar. Gaji yang ditawarkan jauh lebih tinggi daripada pekerjaannya saat ini. Sebuah kesempatan yang mungkin bisa membantunya lebih leluasa hidup di Jakarta, sekaligus membiayai pencarian ayah kandungnya.
Tanpa ragu, Amara memutuskan untuk melamar. Beberapa hari kemudian, ia dipanggil untuk wawancara langsung dengan Tuan Hadi. Ia berdebar, namun menutupi rasa gugupnya dengan senyum ramah dan sikap sopan. Tuan Hadi, seorang pria paruh baya dengan penampilan rapi dan wajah tegas namun hangat, menatap Amara dengan cermat.
/0/27523/coverorgin.jpg?v=785dc1ae4488623a639c3d9874eafaf0&imageMogr2/format/webp)
/0/2636/coverorgin.jpg?v=6af8154aa17e7843e124180b40741a9a&imageMogr2/format/webp)
/0/3838/coverorgin.jpg?v=23289366785fa1aa573618f33d98c28c&imageMogr2/format/webp)
/0/20555/coverorgin.jpg?v=ed3dd031d632c678205b8e99aad7c88b&imageMogr2/format/webp)
/0/20183/coverorgin.jpg?v=e68f92e0bd9403ae9542515c81ab2ee3&imageMogr2/format/webp)
/0/5734/coverorgin.jpg?v=f741a9b9b5950c24b5ee517d076d841f&imageMogr2/format/webp)
/0/2435/coverorgin.jpg?v=94f65dd9903103c9f78c3e97a173d0d6&imageMogr2/format/webp)
/0/6622/coverorgin.jpg?v=e7eae051dee0b354c3ccd49c8e69f246&imageMogr2/format/webp)
/0/3226/coverorgin.jpg?v=85046611eadfb8bb7dba5808bd226181&imageMogr2/format/webp)
/0/20663/coverorgin.jpg?v=6507e060d3a914b4ee3ce8a3a17b8c3f&imageMogr2/format/webp)
/0/20114/coverorgin.jpg?v=63cd1706f81dd1e9ac5b50bc2918f172&imageMogr2/format/webp)
/0/20079/coverorgin.jpg?v=bf2c6d1a33f67ca837dd91dd9c25cda5&imageMogr2/format/webp)
/0/16479/coverorgin.jpg?v=e86f6f23c39a5a1c962fd010f0c5691f&imageMogr2/format/webp)
/0/6428/coverorgin.jpg?v=0f83a95c61c20d11ae83d91c8a9d1c76&imageMogr2/format/webp)
/0/17461/coverorgin.jpg?v=fe90480b6093bb9bb2b784bd53f011bd&imageMogr2/format/webp)
/0/16754/coverorgin.jpg?v=d4db72e404c10eee92f590cbd35a266b&imageMogr2/format/webp)