Selama sepuluh tahun, aku menjadi istri bayangan Daffa Prawirodirdjo, merawatnya saat hancur dan membesarkan putri kami, Bintang, dalam kesunyian. Namun, semua pengorbananku hancur saat aku melihatnya di majalah gosip, tersenyum bahagia bersama cinta lamanya, Leni, dan seorang anak laki-laki. Di tangan anak itu, ada boneka beruang yang sama persis dengan yang ia berikan pada Bintang sehari sebelumnya. Captionnya berbunyi: "Keluarga Prawirodirdjo yang bahagia." Rasa sakit itu membeku. Aku menyeret koper, siap meninggalkan segalanya. Tapi Bintang, dengan mata penuh harap, memohon satu kesempatan terakhir untuk ayahnya. "Papa janji akan merayakan ulang tahunku," isaknya. Aku luluh. Namun, di hari ulang tahun Bintang, Daffa tidak pernah datang. Kami menemukannya di taman hiburan, sedang merayakan ulang tahun putri Leni dengan pesta yang sangat mewah. Saat putri kami menangis karena kue ulang tahunnya direbut, Daffa justru memilih untuk menenangkan putri Leni yang pura-pura pingsan, dan meninggalkan Bintang yang lututnya berdarah. Melihat punggungnya yang menjauh, aku tahu ini adalah akhir. Aku membawa Bintang pergi, mengirim pesan singkat padanya: "Selamat tinggal." Tiga tahun kemudian, aku menjadi seniman terkenal. Dia muncul kembali, memohon kesempatan kedua. Tapi kali ini, aku tidak akan pernah menoleh ke belakang.
Selama sepuluh tahun, aku menjadi istri bayangan Daffa Prawirodirdjo, merawatnya saat hancur dan membesarkan putri kami, Bintang, dalam kesunyian.
Namun, semua pengorbananku hancur saat aku melihatnya di majalah gosip, tersenyum bahagia bersama cinta lamanya, Leni, dan seorang anak laki-laki. Di tangan anak itu, ada boneka beruang yang sama persis dengan yang ia berikan pada Bintang sehari sebelumnya.
Captionnya berbunyi: "Keluarga Prawirodirdjo yang bahagia."
Rasa sakit itu membeku. Aku menyeret koper, siap meninggalkan segalanya. Tapi Bintang, dengan mata penuh harap, memohon satu kesempatan terakhir untuk ayahnya. "Papa janji akan merayakan ulang tahunku," isaknya.
Aku luluh. Namun, di hari ulang tahun Bintang, Daffa tidak pernah datang. Kami menemukannya di taman hiburan, sedang merayakan ulang tahun putri Leni dengan pesta yang sangat mewah.
Saat putri kami menangis karena kue ulang tahunnya direbut, Daffa justru memilih untuk menenangkan putri Leni yang pura-pura pingsan, dan meninggalkan Bintang yang lututnya berdarah.
Melihat punggungnya yang menjauh, aku tahu ini adalah akhir. Aku membawa Bintang pergi, mengirim pesan singkat padanya: "Selamat tinggal."
Tiga tahun kemudian, aku menjadi seniman terkenal. Dia muncul kembali, memohon kesempatan kedua. Tapi kali ini, aku tidak akan pernah menoleh ke belakang.
Bab 1
Syifa Sastrowardoyo POV:
"Aku tidak bisa lagi."
Itulah yang kubisikkan pada diriku sendiri, sambil menatap pantulan diriku yang lelah di cermin. Sepuluh tahun. Sepuluh tahun aku mencintai Daffa Prawirodirdjo, dan sepuluh tahun pula aku hidup dalam bayang-bayang, tidak diakui.
Dulu, Daffa adalah pria yang hancur. Mantan tunangannya, Leni, meninggalkannya begitu saja. Dia tenggelam dalam kesedihan, dan ibunya, Nyonya Prawirodirdjo, yang mengenalku sebagai mahasiswa seni yang berbakat, mendekatiku.
"Temani Daffa," pintanya dulu. "Aku akan menjamin kehidupanmu. Jadilah pendampingnya, apapun yang terjadi."
Aku mencintai Daffa sejak pandangan pertama. Jadi, tawaran itu seperti mimpi yang menjadi kenyataan-meskipun aku tahu itu bukan cinta yang setara. Aku menerima. Aku menyerahkan seluruh hidupku untuknya, untuk merawatnya saat dia terluka, untuk menjadi pilar tak terlihat di balik kesuksesannya.
Aku memasak untuknya, membersihkan rumahnya, mengatur jadwalnya, bahkan memilihkan dasi yang cocok untuk rapat pentingnya. Aku menjadi penopang hidupnya, namun selalu di latar belakang, tak pernah diakui sebagai istrinya. Dia memperkenalkan Leni sebagai tunangannya, bahkan setelah bertahun-tahun bersamaku.
Mengapa kau tetap bertahan? suara-suara sumbang itu sering kudengar. Kau hanya simpanan, pengasuh anak, bukan siapa-siapa baginya.
Kata-kata itu menghantamku seperti bongkahan es, tapi aku menahannya. Aku berharap bahwa suatu hari, dia akan melihatku.
Lalu, Bintang lahir. Keajaiban kecil itu adalah buah dari satu malam saat Daffa mabuk dan rapuh. Aku pikir kehadirannya akan mengubah segalanya. Tapi Daffa menolak mengakui Bintang sebagai putrinya di depan umum.
"Dia tidak akan menyandang nama keluarga Prawirodirdjo," katanya dingin, matanya kosong. "Kau tahu syaratnya."
Syaratnya adalah aku tetap menjadi bayangan, dan Bintang juga akan menjadi bayangan. Bintang tumbuh, seorang anak cerdas dan sensitif. Namun, hidupnya juga penuh dengan rasa sakit yang tak terucap.
Suatu hari, Bintang membuat mainan dari tanah liat yang dia klaim sebagai "mobil papa". Daffa, melihatnya sekilas, langsung membantingnya ke lantai. Mainan itu hancur berkeping-keping.
"Jangan pernah sentuh barang-barangku tanpa izin!" bentaknya.
Bintang kecil menangis ketakutan. Aku memeluknya erat, merasakan duri menusuk jantungku. Itu bukan yang pertama kali. Ada bekas luka di lengan Bintang, akibat Daffa yang pernah mencubitnya hingga membiru hanya karena Bintang tidak sengaja menumpahkan kopi di meja Daffa.
Aku menelan semua, demi Bintang. Namun, malam itu, Daffa pulang dengan senyum lebar yang jarang kulihat. Dia memeluk Bintang, memberinya boneka beruang besar.
"Papa akan mengajakmu ke taman hiburan besok," katanya hangat. "Kita akan bersenang-senang."
Hatiku sempat menghangat. Mungkinkah dia berubah?
Tidak.
Keesokan harinya, aku melihatnya di sebuah majalah gosip. Daffa sedang tersenyum, memegang tangan Leni. Di samping mereka, ada seorang anak laki-laki seusia Bintang, memegang boneka beruang yang persis sama dengan yang diberikan Daffa pada Bintang. Captionnya berbunyi: "Keluarga Prawirodirdjo yang bahagia menghabiskan waktu bersama di akhir pekan."
Rasa sakit itu membeku, berubah menjadi kebas. Aku merasa seperti mayat hidup.
"Syifa, kau baik-baik saja?" kata seorang tetangga suatu sore, saat aku sedang melamun di teras. Dia adalah ibu dari teman sekolah Bintang, seorang wanita yang selalu ramah padaku. "Kudengar Daffa dan Leni akan segera menikah. Kau... kau akan tetap tinggal di sini?"
Aku hanya tersenyum tipis, tapi di dalam, hatiku hancur berkeping-keping.
Malam harinya, aku menyeret koper yang sudah terisi penuh keluar dari lemari. Aku tidak bisa tinggal di sini lagi. Aku harus pergi.
"Mama, kita mau ke mana?" suara kecil Bintang terdengar, matanya yang besar penuh kebingungan saat melihat koper-koper itu.
Aku berlutut, memegang pipinya yang lembut. "Kita akan memulai hidup baru, Sayang. Di tempat yang jauh, di mana tidak ada yang bisa menyakitimu."
"Tapi Papa janji akan mengajakku ke taman hiburan," katanya, bibirnya melengkung ke bawah. "Dia juga janji akan merayakan ulang tahunku bersama."
Air mataku menetes. Bintang masih berharap. Dia masih mencintai ayahnya yang tak pernah benar-benar ada untuknya.
"Papa... dia mungkin lupa, Sayang," kataku, berusaha menahan suara agar tidak serak.
"Tidak, Mama! Papa tidak akan lupa." Bintang menarik-narik ujung bajuku. "Tolong, Mama. Beri Papa satu kesempatan lagi. Aku yakin dia akan datang. Aku hanya ingin Papa menyayangiku."
Melihat mata penuh harap itu, hatiku teriris. Aku tahu aku harus melindunginya, tapi bagaimana aku bisa merenggut harapan terakhirnya?
"Baiklah, Sayang," kataku, meski tiap kata terasa seperti pecahan kaca di tenggorokanku. "Kita akan memberinya satu kesempatan terakhir."
Jika dia gagal lagi... kali ini, aku tidak akan pernah menoleh ke belakang.
Bab 1
Hari ini17:06
Bab 2
Hari ini17:06
Bab 3
Hari ini17:06
Bab 4
Hari ini17:06
Bab 5
Hari ini17:06
Bab 6
Hari ini17:06
Bab 7
Hari ini17:06
Bab 8
Hari ini17:06
Bab 9
Hari ini17:06
Bab 10
Hari ini17:06
Bab 11
Hari ini17:06
Bab 12
Hari ini17:06
Bab 13
Hari ini17:06
Bab 14
Hari ini17:06
Bab 15
Hari ini17:06
Bab 16
Hari ini17:06
Bab 17
Hari ini17:06
Bab 18
Hari ini17:06
Bab 19
Hari ini17:06
Bab 20
Hari ini17:06
Bab 21
Hari ini17:06
Bab 22
Hari ini17:06
Bab 23
Hari ini17:06
Bab 24
Hari ini17:06
Bab 25
Hari ini17:06
Bab 26
Hari ini17:06
Buku lain oleh Gavin
Selebihnya