"Cahaya tahu di kamar Ayah sama Tante ngapain?" cecarku menanti kepastian. "Nggak tahu, Bunda. Cuma Cahaya pernah lihat Tante Rosa nggak pake baju, terus Ayah naik ke atas Tante. Pas Aya masuk dan tanya, Ayah cuma bilang mau ngobatin Tante. Aya nggak boleh masuk kata Ayah, terus dikunci deh pintunya dari dalem," kata Cahaya dengan polosnya. * Hidup Nayla terlalu sempurna, hingga suatu ketika celotehan putrinya, Cahaya, mampu meruntuhkan kesempurnaan hidupnya. Sanggupkah Nayla menghadapi semuanya dengan ikhlas dan tegar?
Assalamualaikum, Kak. Boleh dong dukung aku dengan cara follow dan ulasan bintang limanya. Jangan lupa ikuti cerita ini hingga TAMAT, karena gratis.
Terima kasih.
CELOTEH CAHAYA
BAB 1
(Awal Mula)
"Bunda kenapa?" tanya putri sulungku, Cahaya, dengan tatapan nanar.
Tangan mungilnya mengusap pipiku lembut. Hati ini terenyuh seketika.
"Bunda cuma sakit perut, Nak. Nanti juga sembuh," jawabku sembari mengulas senyum tipis untuknya.
Sudah hampir tiga jam aku terbaring lemah, sakit di area bekas jahitan operasi sesar enam bulan lalu karena melahirkan Pelangi membuatku lemah hari ini. Hingga aku tak sempat pergi ke butik untuk merencanakan launching produk baru yang akan diselenggarakan bulan depan.
"Sakit banget, ya, Bunda?" Mata bening kecokelatan bocah berusia 6 tahun itu masih menatapku sendu.
Aku mengusap lembut kepala Cahaya, merengkuhnya ke dalam pelukan.
"Bunda baik-baik aja, Sayang."
Cahaya tersenyum tipis dan mencium pipiku sekilas.
"Coba aja Bunda bilang ke Ayah, pasti Ayah bisa ngobatin Bunda. Kayak Tante Rosa gitu, perutnya sering sakit. Tapi Ayah hebat, bisa sembuhin, loh, Bunda!" kata Cahaya dengan mata berapi-api.
"Tante Rosa? Memang Ayah sering ngobatin perut Tante Rosa?" tanyaku penasaran.
"Iya, Bunda. Tante Rosa sering mengeluh perutnya sakit, terus Ayah masuk ke kamar Tante, katanya mau ngobatin. Nggak lama Tante Rosa sudah sembuh, perutnya nggak sakit lagi, Bunda." Cahaya menjelaskan dengan detail.
Mendengar penjelasan dari Cahaya barusan, membuat jantungku berdetak lima kali lebih cepat dari biasanya.
"Cahaya tahu di kamar Ayah sama Tante ngapain?" cecarku menanti kepastian.
"Nggak tahu, Bunda. Cuma Cahaya pernah lihat Tante Rosa nggak pake baju, terus Ayah naik ke atas Tante. Pas Aya masuk dan tanya, Ayah cuma bilang mau ngobatin Tante. Aya nggak boleh masuk kata Ayah, terus dikunci deh pintunya dari dalem," kata Cahaya dengan polosnya.
Tanganku terkepal kuat, bisa-bisanya mereka melakukan hal sekeji itu di dalam rumahku.
"Terus Ayah bilang apa lagi ke Cahaya?" tanyaku memancing semua kebusukan mereka selama ini.
"Nggak. Cuma Aya denger suara Tante kayak mau nangis di dalam kamar, Tante teriak-teriak gitu, Bunda. Pasti rasanya sakit banget, ya, Bunda?" Cahaya memandangku penasaran.
"Iya, sakit, Sayang. Biasanya Ayah sama Tante di kamar jam berapa, Nak?"
"Aya nggak tahu, Bunda. Mungkin siang, biasanya sepulang Aya sekolah," kata Cahaya jujur.
Biad*b!
Ini tidak bisa dibiarkan.
Kelakuan mereka benar-benar di ambang batas.
"Aya nggak usah cerita ini ke orang lain, ya, Nak. Cukup Bunda aja yang tahu. Janji?"
Jari kelingking kutautkan di jari mungilnya. Cahaya hanya tersenyum sambil mengangguk.
"Sekarang Aya ke kamar dulu, ya. Panggil Tante Rosa buat suapin Aya. Bunda istirahat dulu!" kukecup pucuk kepala Aya dengan perasaan yang tak karuan.
Cahaya tumbuh menjadi anak yang baik, penurut dan lembut. Selama ini banyak kasih sayang yang tercurah untuknya.
Aku dan Mas Frengky, suamiku memang sudah mengatur jarak kehamilan. Saat Cahaya memasuki usia kelima tahun, barulah aku memutuskan untuk hamil lagi.
Enam bulan yang lalu aku berhasil melahirkan bayi perempuan, yang kami beri nama Pelangi. Bayi mungil dengan berat badan lahir 3,8 kilogram tersebut sangat cantik, matanya indah dan teduh.
Namun, rupanya Tuhan ingin kembali bersama dengan Pelangi sehingga kami harus merelakan kepergiannya menghadap sang Ilahi.
Ya ... Pelangi meninggal tepat berusia 40 hari setelah ia dilahirkan. Padahal kami sudah berencana akan mengadakan pengajian dan tasyakuran untuk aqiqah putri kedua kami. Takdir Allah berkehendak lain. Diusianya yang ke-38 hari, Pelangi demam. Aku dan Mas Frengky membawanya ke Rumah sakit tempat di mana ia dilahirkan. Trombosit terus menurun, Pelangi sempat kejang beberapa menit sebelum menghembuskan napas terakhirnya.
Aku sendiri tak paham, penyakit apa yang bersarang di tubuh Pelangi. Penjelasan Dokter pun tak ada satu pun yang berhasil kucerna. Aku hanya bisa pasrah dengan linangan air mata saat itu.
Bahkan, masa nifasku belum berakhir. Jahitan di perutku masih basah dan di saat yang bersamaan, aku harus menghadapi kenyataan pahit bahwa putriku sudah tiada.
Masih terekam dengan jelas, saat Pelangi menyusu dengan kekuatan super. Seakan air susuku tak bisa membuatnya kenyang. Pelangi terus saja menyusu seperti orang kelaparan. Anehnya, lima menit setelah menyusu, Pelangi selalu memuntahkan kembali air susu yang sudah ditelan.
Hal itu membuatku takut, mengingat dulu waktu Cahaya masih bayi tak pernah sesering itu muntah. Namun, pernyataan bidan dan mertuaku membuat rasa cemas di hatiku menghilang.
Mereka bilang itu hal yang lumrah dan wajar terjadi pada bayi. Sejak saat itu, tiap kali Pelangi muntah, aku menganggapnya sebagai hal yang biasa karena kekenyangan atau gumoh biasa orang menyebutnya.
Kejadian itu berlanjut hingga tiba-tiba suhu Pelangi semakin naik, dahinya panas dan tubuhnya seperti lemas. Ia terus saja muntah, disertai tangisan yang meraung-raung tak kunjung berhenti.
Aku yang bingung dan panik kalau itu, segera menghubungi Mas Frengky untuk membawa kami ke Rumah sakit.
Dua hari di Rumah sakit, kondisi Pelangi tak kunjung membaik, malah semakin memburuk.
Hingga tak terasa, ia tiba-tiba pergi tanpa pamit atau memberikan pesan kepadaku.
Aku menyesal, tiap kali melihat bayi perempuan yang baru lahir. Aku selalu terbayang wajah Pelangi.
Hal itu terus berlanjut hingga dua bulan kepergian Pelangi. Mas Frengky dan mertuaku selalu membujuk untuk membawaku ke psikolog. Dengan alih-alih ingin menyejukkan otakku. Karena kala itu tak ada satu orang pun yang bisa menghiburku untuk mengurangi kesedihan karena kepergian Pelangi.
Aku tak lagi peduli akan Mas Frengky, kehadiran Cahaya pun tak mampu membuatku tenang di saat sedih kehilangan Pelangi.
Rasa penyesalanku teramat dalam untuk Pelangi, baru saja kutimang, kumanja dan kusayang. Dengan cepat sudah diambil alih oleh sang Pencipta. Rasanya waktu begitu cepat berlalu, bahkan aku belum bisa mendengarnya mengucapkan kata Bunda.
Mas Frengky sengaja membawa Rosa, untuk menemaniku, menghiburku dan menyiapkan semua keperluanku. Entah dari mana wanita itu berasal. Aku pun menyetujui, karena Rosa wanita yang baik saat itu. Ia dengan telaten merawatku, Rosa begitu tanggap dan cekatan ketika aku butuh. Menurutku, dia wanita yang baik dan sopan.
Umurnya pun tak jauh berbeda denganku. Hanya saja ketika kutanya perihal status, ia mengaku single. Belum ketemu lelaki yang pas dan cocok sesuai kriteria katanya.
Ah ... pikiranku semakin jauh melayang.
Kini, aku sudah bangkit. Aku sudah tak terpuruk lagi akan kepergian Pelangi. Aku akui semua itu karena dukungan dari Mas Frengky dan Rosa yang selalu setia menghiburku, juga Cahaya yang selalu sabar menanti Bundanya kembali ceria.
Aku tak menyangka, pernyataan Cahaya berhasil membuatku tercengang dan syok. Mungkinkah Mas Frengky mengkhianati janji suci kami, apa lagi dengan Rosa, meskipun dia cantik dan sexy. Namun, statusnya. Yakinkah Mas Frengky berselingkuh dengan Rosa?
Aku tak akan tinggal diam jika itu beneran terjadi, aku harus bisa menguak semuanya. Ini rumahku, jerih payahku dan aku ratu di istanaku.
Tak ada yang boleh merusak istanaku, tidak satu orang pun. Termasuk, Mas Frengky!
Ngomong-ngomong soal Mas Frengky.
Dia suamiku, tujuh tahun kami menikah setelah setahun pacaran.
Kami bertemu di Kafe miliknya. Kebetulan saat itu aku sedang bersantai bersama karyawan butik. Karena ada salah satu pesanan yang tidak sesuai, aku mencoba berbicara baik-baik dengan Manager Kafe dan sampailah masalah tersebut ke telinga Owner, yakni Mas Frengky. Dari sana lah kami akhirnya bisa dekat dan mencoba menjalin hubungan, hingga tak menyangka dipersatukan dengan ikatan suci. Kini kami dikarunia putri yang cantik.
Sekarang, aku harus mencari tahu asal usul Rosa. Siapa dia sebenarnya?
Baru empat bulan dia bekerja sebagai asisten di rumahku. Aku sudah menganggapnya sebagai adik. Begitu pun Mas Frengky. Tak ada sikap yang aneh di antara mereka. Atau aku yang terlalu naif?
"Permisi, Mbak Nayla. Aku panggil dari tadi nggak ada sahutan. Mbak Nayla sudah enakan?" tanya Rosa menghampiriku sembari membawa nampan berisi segelas air putih dan salad buah.
"Iya, perutku masih sakit. Tapi sedikit, nanti juga sembuh!" jawabku sambil menetralisir perasaan.
Teringat celotehan Cahaya beberapa menit lalu yang terus terngiang-ngiang di telingaku.
Ingin rasanya tanganku ini menjambak rambut panjangnya dengan sekuat tenaga. Namun, tentu saja kuurungkan niat itu, sebelum aku membuktikan sendiri bahwa ia ada main gila dengan suamiku.
"Mbak Nayla perlu sesuatu?" alisnya naik turun menatapku dengan senyum melengkung.
Aku menggeleng lemah, eh ... tunggu. Alisnya, seperti ada sesuatu yang berbeda.
"Alismu?" ujarku menggantung.
"Eh, oh ... ini, Mbak. Iya, habis aku sulam. Cocok nggak, Mbak?" tanyanya malu-malu. Ia tampak salah tingkah.
"Bagus!" sahutku jutek.
Rosa tersentak, ia sepertinya kaget. Mengingat nada bicaraku tak seperti biasanya.
"Mbak Nay istirahat, aja, dulu. Rosa mau temenin Cahaya tidur," ujarnya lirih.
Aku hanya mengangguk, Rosa keluar dan menutup pintu dengan pelan.
Nafasku memburu, tak beraturan.
Kuambil air yang disiapkan oleh Rosa, kuteguk hingga hampir tandas. Tetap saja kerongkonganku terasa tercekat, hatiku juga masih panas. Air putih tersebut hanya menghilangkan dahagaku, tidak dengan sakit hatiku.
Namun, beberapa menit kemudian. Aku menguap, kantuk menyerang terasa kuat.
Hingga tak sadar, mataku pun terpejam. Tertidur dengan pulas.
Sementara itu, di kamar Rosa. Wanita dengan tubuh semampai dan sedikit semlohay itu sedang asyik menelfon seseorang.
"Iya, ih, Mas. Mbak Nayla itu kampungan banget, masak nggak ngeh kalo alisku habis disulam. Tunggu aku naik turunkan dulu baru dia nyadar, nyebelin ish, dia juga nggak nanya soal eyelashku, padahal kentara banget loh, kalau bulu mataku sekarang jadi lebih panjang dan lentik!" kata Rosa mendayu-dayu di ujung telfon.
"Hahaha, ya, begitulah. Dia memang datar orangnya. Udah, ah. Aku masih sibuk, jangan nelfon terus!" ucap suara bariton khas lelaki di seberang.
"Oke, deh. Semangat kerjanya. Jangan lupa, loh. Nanti malam," goda Rosa seakan memancing sesuatu.
"Ya pasti, dong. Eh, gimana? kamu udah kasih 'vitamin' ke minumannya 'kan?"
"Udah, nanti malem lagi, lah. Biar makin jos tuh ngoroknya!" Rosa terkekeh menutup mulutnya, menganggap hal itu lelucon.
"Udah, deh. Aku tutup, ya!"
"Ish, sama-sama nyebelin!" Rosa membanting ponselnya ke atas kasur. Matanya menerawang jauh.
'Berapa lama lagi, ya, aku jadi Ratu? Bosen ah, empat bulan ini jadi pelayan terus. Capek!' keluh Rosa dalam hati.
'Sabar, tinggal selangkah lagi. Ini semua pasti jadi milikku!'
Senyum manis mengembang dari bibir ranumnya.
*****
Awal, ya. Masih Bab 1. Inhale, exhale ... inhale, exhale ....
dinext nggak nih?
janji dong bakal di update di sini sampe tamat dan gratis hehe!
mau?
komentarnya dong! jangan lupa like juga biar aku makin semangat hehe😁
Bab 1 Awal Mula
23/12/2021
Bab 2 Curiga
23/12/2021
Bab 3 Minta Uang
23/12/2021
Bab 4 Terisisih
23/12/2021
Bab 5 Perasaan Ibu
23/12/2021
Bab 6 Sokongan Dana
23/12/2021
Bab 7 Mulai Menyadari
23/12/2021
Bab 8 Suara Desahan
23/12/2021
Bab 9 Lampu Merah
23/12/2021
Bab 10 Menggagalkan Rencana
23/12/2021
Bab 11 Pengakuan Gilang
27/12/2021
Bab 12 Pesan Rosa
27/12/2021
Bab 13 Gagal Minum
27/12/2021
Bab 14 Teh berbahaya
27/12/2021
Bab 15 Gagal ena-ena
27/12/2021
Bab 16 Rosa Pulang
27/12/2021
Bab 17 Sedikit Bermain
27/12/2021
Bab 18 Ngobrol Santai w Rosa
27/12/2021
Bab 19 Informasi Gilang
27/12/2021
Bab 20 Pinjam Uang
27/12/2021
Bab 21 Kecemasan Rosa
28/12/2021
Bab 22 Cahaya Murka
28/12/2021
Bab 23 Kantong Belanja
28/12/2021
Bab 24 SkinCare Rosa
28/12/2021
Bab 25 Nayla Curiga
28/12/2021
Bab 26 Rindu Cahaya
24/06/2022
Bab 27 Kedatangan Bu Wak
24/06/2022
Bab 28 Tentang Ayah Vano
24/06/2022
Bab 29 Bersekongkol Dengan Gilang
24/06/2022
Bab 30 Mengerjai Mertua
24/06/2022
Bab 31 Penggerebekan
24/06/2022
Bab 32 Sanksi Sosial
24/06/2022
Bab 33 Kedatangan Carissa
24/06/2022
Bab 34 Tanda Lahir
24/06/2022
Bab 35 Kenyataan Begitu Pahit
24/06/2022
Bab 36 Terbongkar
09/07/2022
Bab 37 Pernikahan Rosa
09/07/2022
Bab 38 Bersama Cahaya
09/07/2022
Bab 39 Tes Psikologi Cahaya
09/07/2022
Bab 40 Kondisi Cahaya
09/07/2022
Buku lain oleh yunitaindrynt
Selebihnya