Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Bab 1
[Menantumu sakit, Bu Nur? Sayang sekali. Padahal aku suka cara dia bekerja. Terpaksa aku harus cari karyawan lain,]
Suara wanita di rekaman itu terdengar jelas.
[Iya, Amira sudah sebulan hanya bisa berbaring saja. Kedua kakinya lumpuh. Kata dokter gejala stroke ringan. Oleh karena ini aku sangat terpukul. Sedih sekali rasanya, sebab kasihan sekali melihat Habib, karena istrinya sakit begini, Habib harus mengurus dirinya sendiri.]
[Semoga Amira lekas sembuh, ya. Amiin.]
[Amira tidak akan sembuh, Bu Sarah. Dia terserang stroke. Tidak mungkin sembuh lagi. Oleh karena ini aku memilih untuk menyuruh Habib menghalalkan Laila. Aku dan Habib sudah bicara soal ini dan dia setuju. Selanjutnya aku akan membicarakan hal ini pada Amira]
"Ya Allah," Amira mengelus dada, lebih tepatnya ia terkesiap.
[Apa? Menikahi Laila maksudnya?]
[Apalagi kalau bukan? Itu bukan dosa, kenapa kau harus terkejut?]
[Bukan begitu, tapi bagaimana kalau Amira tidak mau bermadukan Laila? Rasanya itu terlalu cepat. Kasihan Amira.]
[Bu Sarah, Amira wanita yang sakit, sehingga tidak bisa menunaikan kewajibannya sebagai istri. Bukankah itu adalah salah satu alasan dihalalkannya poligami? Lalu apa salahnya? Anakku laki-laki, Bu Sarah. Ia membutuhkan wanita yang sehat. Bukan yang sakit. Kalaupun Amira menolak keputusan ini, maka kita sudah tahu jawabannya, wanita yang menolak poligami adalah kufur.]
"Astagaa!" Amira menahan sesak di dada. Ia matikan rekaman itu di ponsel Yoona. Sudah tak sanggup baginya untuk mendengar lebih lanjut.
"Darimana Yoona mendapatkan rekaman ini? Mengapa dia tidak cerita padaku?" batin Amira dengan linangan airmata.
"Begitukah nasib perempuan yang sakit? Jika sudah tidak berguna, dengan mudah akan diganti dengan yang lain? Ya Allah, kuatkan aku untuk ikhlas! Aku ikhlas dan itu harus!" Amira membatin.
Hati wanita itu tergores amat dalam. Bagaimana tidak, sudah dua minggu ia berbaring di rumah sakit ini, Tanpa didampingi suami. Sekarang tiba-tiba mendengar rekaman suara seperti itu. Amira sungguh tak siap dengan ujian bertubi-tubi ini.
Tapi inilah hidup. Kecewa dan sakit adalah takdir. Namun kehendak Tuhan pastilah yang terbaik.
***
"Na, tolong ambilkan ibu minum, Nak!" Suara Amira, istriku terdengar amat lirih. Perintahnya tertuju pada Yoona, putri semata wayang kami. Padahal aku berada lebih dekat dengannya.
"Biar aku yang ambil ya," kilahku.
"Tidak usah, Mas! Biar Yoona saja!"
Karena kedua kakinya terserang stroke sejak satu bulan lalu, wanita ini hanya mampu berbaring di pembaringan. Ia terlihat lemah dan rapuh.
Tatapan matanya pun kosong. Ia bersikap dingin padaku.
Hatiku bertanya-tanya ada apa dengan wanita ini? Apa dia marah denganku? Lalu apa salahku? Sejak tadi aku datang, dia seperti tak menggubris kehadiranku. Apa karena aku baru saja bisa menjenguknya hari ini? Padahal sebelumnya aku sudah memberitahunya bahwa aku akan keluar kota. Apa mesti harus marah atas suatu hal yang sudah ku beritahu? Terkadang aku capek menghadapinya.
"Mau makan?" Tanyaku berusaha ramah padanya.
Dia diam saja. Hanya kepalanya saja yang menggeleng. Wanita ini memang keras kepala. Sudah sakit, rewel pula.
Aku mendengkus. Sejak Amira sakit, aku begitu kerepotan. Tidak ada yang mengurus semua keperluanku. Jadi otomatis semua kuurus sendiri. Yoona sama sekali tak cekatan seperti ibunya. Alasannya dia ingin mengurus Amira, ibunya.
Diam-diam aku jadi sangat mempertimbangkan ucapan ibuku di beberapa waktu belakangan ini. Dan aku berpikir, memang aku membutuhkan itu.
Tapi aku bingung bagaimana caraku mengutarakan niat ini pada Amira. Aku tahu Amira wanita yang baik dan paham pasal hal itu. Tapi tetap saja. Aku sedikit agak kurang tega. Karena ketidakberdayaanku, aku sudah mendiskusikannya dengan ibuku. Mungkin saja ibu sudah terlebih dahulu bicara padanya.
"Amira," aku mendekat padanya.
"Ya," jawabnya datar.
"Apa ibu sudah bicara padamu?" aku memulai.
"Ya." Jawabnya singkat. Aku menatap langit-langit. Ooh, pantasan dia bersedih. Ternyata ibu sudah membicarakan perihal rencana itu. Sekarang aku tahu mengapa sikapnya berubah. Tak apa, tugasku sekarang adalah menghibur hatinya.
"Aku sangat mengharap supaya kamu cepat sembuh, Amira. Supaya kita bisa seperti biasanya lagi." Aku memulai.
Dia masih diam, tapi tak menatapku.
"Mira, kau dengar aku, kan?" Aku menatapnya.
"Ya, aku dengar, Mas."
Aku menarik nafas. Menyusun kata untuk ku ucap.
"Aku tahu mungkin saja ucapan ibu bisa melukaimu. Tapi aku tak bermaksud buruk padamu. Lagipula ibu berkata cukup sopan, bukan? Jadi kurasa itu tidak masalah."