Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Nah, selesai. Kau bisa melihat hasilnya sekarang," ucap penata rias pada seorang gadis yang sedari tadi tak henti mengukir senyum di wajahnya.
"Wow, kau sangat cantik Embun."
Wanita berusia 29 tahun itu mendekati adik iparnya, membantu Embun bangun dari kursi.
"Kau membuatku malu, Kak," cicit Embun.
"Aku berani bersumpah, dan aku tidak bohong. Kau memang sangat cantik, Sayang."
Gadis bernama Embun itu menatap pantulannya di depan cermin. Riasan flawless membingkai wajahnya yang berbentuk oval. Sapuan make up tipis namun semakin mempercantik wajahnya yang dihiasi bulu mata lentik. Manik mata kecokelatan bak kacang almond itu terus memendarkan binar kebahagiaan.
"Aku sangat gugup Kak," bisik Embun pada wanita yang belum lama ini menjadi kakak iparnya. Kedua tangannya saling memilin saking gugupnya.
"Wajar, Kakak juga dulu begitu. Usahakan untuk rileks dan tetap tenang."
Embun mengangguk, lagi-lagi melemparkan senyum sekedar mengurangi kegugupannya.
"Maaf, saya masih harus merapikan ini dulu, Nona." Penata rias meraih wedding vail yang tersemat di balik rambut Embun.
Calon pengantin itu sedikit membungkuk membiarkan penata rias melakukan tugasnya dengan leluasa.
"Apa kau tidak merasa jika riasannya terlalu tipis?" Bella, kakak ipar Embun bertanya pada penata rias.
"Tidak Nona, wajah Nona Embun sudah sangat cantik dan saya hanya perlu memolesnya dengan sedikit riasan tipis."
Bella mengangguk. Jika dilihat, riasan seperti itu memang cocok untuk gadis seusia Embun.
"Aura kecantikannya begitu terlihat tanpa perlu memolesnya dengan make up tebal Nona," kata penata rias itu lagi.
Kakak ipar Embun mengangguk setuju dengan pendapat penata rias lalu berkata, "Kau boleh pergi." Sambil mengibaskan tangannya.
Wanita itu membimbing Embun untuk duduk kembali. "Tunggu sampai kakakmu datang menjemputmu."
"Baik, Kak."
Bibir tipis berpoles gincu merah itu terus merekah membingkai senyum, Embun tak sabar menantikan proses pergantian statusnya menjadi seorang istri. Sudah sejak lama dia memendam perasaan cintanya pada Putra, lelaki yang merupakan teman dekat kakaknya.
Dulu, setiap pulang sekolah, diam-diam Embun akan mencuri pandang pada lelaki itu. Cinta monyet, orang menyebutnya demikian akan tetapi makin hari perasaannya pada Putra semakin bertambah dan tak ada yang berbeda sampai Embun menginjak usia dewasa.
Tibalah hari ini, hari yang setiap malam begitu dimimpikan oleh Embun. Harapannya untuk menjadi Nyonya Putra Arifin Wicaksana akan terlaksana dalam hitungan jam. Embun tak sabar untuk melihat pengantin prianya, calon suaminya. Debaran jantungnya menggila setiap kali ia teringat pada lelaki itu.
Daun pintu terbuka lebar seiring dengan munculnya sosok gagah yang berdiri menjulang di ambang pintu.
"Ya Tuhan, Sayang. Kau sangat cantik."
Satria tertegun melihat penampilan adiknya yang jauh berbeda dengan kesehariannya. Balutan gaun pengantin mewah dengan taburan Swarovski menambah kesan elegan. Embun terlihat jauh lebih dewasa dari usia yang sebenarnya.
"Hei, simpan air matamu itu. Ini adalah hari bahagia adikmu, jadi jangan coba-coba untuk merusaknya dengan menangis." Bella menghampiri suaminya, memeluknya sebentar.
"Apa ini benar Embun adikku yang manja itu?" Embun mencebik mendengar penuturan kakaknya, keduanya berpelukan.
"Kakak sampai tidak mengenalimu. Ternyata kau sangat cantik dan sudah besar sekarang, sudah mau jadi istri orang," Lanjut Satria.
"Kakak."
Sama seperti Satria, Embun pun tak kuasa menahan haru yang merebak di dadanya. Satria mengurai pelukan itu lalu membingkai wajah adik kesayangannya, satu-satunya keluarga yang ia punya semenjak kepergian kedua orang tuanya.
"Jangan menangis. Ini hari bahagiamu dan kamu sudah begitu lama menantikannya, bukan begitu?" Satria mengecup dahi adiknya.
Embun mengangguk, cairan bening yang ia tahan sedari tadi menerobos paksa hingga bergulir di pipinya. Satria menyeka dengan ibu jarinya.
"Calon suamimu sudah menunggumu di depan, sebaiknya kita cepat keluar sebelum dia semakin bosan menunggu." Satria menggoda adiknya.
Wajah yang semula diliputi mendung itu berubah menjadi secerah mentari pagi. Satria memberikan tangannya untuk diapit sang adik.
Penata rias datang untuk merapikan kembali gaun dan penampilan Embun, lalu kakak beradik itu keluar melewati karpet merah yang membentang panjang dengan mempelai pria di ujung yang berbeda.
Bella melangkah mengekori suami dan adik iparnya sambil sesekali membetulkan ekor gaun pengantin Embun yang menyapu lantai.
"Kakak bahagia bisa melepasmu bersama pria yang kamu cintai, Embun," ucap Satria setengah berbisik. Langkah kaki keduanya selaras dengan musik pengiring yang mengalun merdu memenuhi gedung resepsi.
"Terima kasih Kak, hanya itu yang bisa aku katakan padamu. Kau adalah kakak terbaik di dunia. Kau adalah pahlawanku, Kak." Embun menjawab dengan berbisik juga tanpa mengalihkan pandangannya.
Tubuh mungil itu bergetar hebat melihat pria dengan setelan tuxedo dan korsase bunga yang terselip di saku jasnya, tengah berdiri menantinya di ujung karpet. Langkah mereka kian dekat, seiring dengan debaran jantung Embun yang bertalu dua kali lebih cepat dari biasanya.
Langkah mereka perlahan terhenti tepat di hadapan Putra. Satria memberikan tangan Embun pada calon mempelai pria yang tak lain adalah sahabat karibnya.
"Aku serahkan tanggung jawabku padamu. Cintai dan jaga dia seperti kita menjaga persahabatan kita selama ini," pesan Satria pada calon suami Embun.
"Tentu." Putra menjawab singkat.
"Jangan segan untuk menegurnya jika dia salah, bimbing dia agar menjadi istri yang baik dan kembalikan dia padaku dengan cara yang baik jika kamu sudah tidak mencintainya lagi suatu hari nanti."
Momen seperti ini terasa begitu mengharukan. Embun menatap kakaknya dengan tatapan bangga karena pria itu sudah menjaganya dengan baik selama ini.