Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Sepuluh Tahun Menanti Keturunan

Sepuluh Tahun Menanti Keturunan

Fithri Aulia

5.0
Komentar
74
Penayangan
40
Bab

Menjalani pernikahan tanpa anak, bukanlah hal mudah. Pertanyaan dari orang terdekat, menuntut Arka dan Lisa berupaya tegar menghadapi situasi pelik itu. Lisa yang pernah menjalani pengangkatan satu indung telurnya, terus berupaya agar bisa hamil. Arka, sang suami yang merupakan seorang dokter, juga berupaya untuk ikhtiar dari segi medis. Mengadopsi seorang anak untuk menghibur diri, hal itu tak lantas bisa diterima keluarga Arka. Hingga akhirnya kabar baik kehamilan itu menemani Arka dan Lisa. Di saat menanti kelahiran sang buah hati, mimpi buruk justru terjadi. Sabotase Mayang, mantan tunangan Arka atas tes kesuburan Arka, membuat rumah tangga keduanya berantakan. Lisa dituduh selingkuh dan mengandung janin dari Suga, mantan kekasihnya. Akankah penantian selama sepuluh tahun justru berujung pada kesalahpahaman dan perceraian?

Bab 1 Kebencian Sang Ayah

Kring!!! Suara alarm pagi di atas nakas terdengar berdering keras. Uluran tangan keluar dari balik selimut, mer aba nakas untuk mencari sumber bunyi tersebut.

Terserang kantuk yang hebat, tangan itu sulit mencari tombol non-aktif untuk weker.

Brak!!! Deringan weker itu akhirnya terhenti saat membentur dinding.

Seorang wanita cantik mendecak heran melihat tingkah kekanakan suaminya yang tetap sama dari tahun ke tahun meskipun sudah hampir menginjak kepala empat.

"Arka!"

Gundukan selimut tersibak hingga menampakkan si pemalas yang sedari tadi tergulung dalam balutan selimut.

"Pagi, Sayang!"

Masih senyum manis yang sama. Arkana Kenjiro Wijaya. Pria itu masih terlihat tampan di usianya yang ke-39 tahun.

Mata sipitnya memandang nakal pada istri yang berdiri tak jauh dari kasur. Lizzya Pinkan, wanita yang masih setia bersamanya sampai menginjak tahun ke sepuluh pernikahan.

"Pulang kerja nanti, jangan lupa beli weker baru!" kesal Lisa.

Arka tertawa, lalu duduk setelah menyingsingkan selimut. Istrinya itu bahkan lupa meletakkan spatula karena buru-buru menghampiri kamar.

"Kamu pengen bangunin aku dengan cara getok pakai spatula, ya?" gerutu Arka.

"Alarm kamu itu kedengaran sampai dapur, tau! Uh, ini udah jam berapa?"

"Kamu tau aku lembur, harusnya jangan pasang alarm. Ke sini sebentar!"

Kalau dipanggil Arka ke kasur di saat seperti ini, pasti suaminya itu ingin bermanja sedikit. Lisa meletakkan spatula di meja sudut dan berjalan mendekat.

"Cepetan. Takut digigit? Udah biasa ini!"

Arka menarik lengan Lisa dan memutar pinggang istrinya itu, lalu menyelipkan dagunya di antara bahunya yang mungil.

Dengan rambut yang tergulung ke atas, Arka bisa menghirup bebas aroma parfum yang menguar dari tengkuk Lisa.

"Ini udah tanggal 1."

"Kenapa, Ka? Kamu gajian? Belum setoran, 'kan?"

"Bini taunya duit mulu, bukan itu. Ini udah lewat dua minggu, 'kan?"

"Apanya? Gak jelas banget ngomongnya, Sayang."

Arka menarik pengait laci agar bisa membukanya. Dia mengambil benda persegi panjang ringan di atas tumpukan buku. Lisa menghela napas saat benda itu dihadapkan padanya. Test pack.

"Kalau negatif, gimana?" lirih Lisa, pasrah.

Arka tersenyum tipis. Dia lebih mendekatkan bibirnya ke sisi telinga Lisa.

"Ya kalau gitu, akunya yang enak."

Lisa tertawa kecil. Begitulah cara Arka agar bisa membujuk Lisa untuk tak takut menghadapi garis apa pun yang muncul dari benda itu.

Saat hendak menyambut kecupan manis Arka, suara berisik terdengar mendekati. Lebih tepatnya, derap langkah kaki yang terdengar memburu.

"Mama! Papa!"

Arka mendengkus kesal. Dia meninggalkan kecupan manjanya dan telungkup di kasur. Lisa tertawa kecil, justru menenggelamkan kepala suaminya itu dalam balutan selimut biru tua.

"Jangan macem-macem, ya! Gak enak diliat Farrel."

Lisa tersenyum sambil menepuk punggung Arka.

"Auk, ah!"

Seorang bocah tampan muncul dari balik pintu. Dia sudah sangat rapi dengan seragam sekolah bernuansa biru. Warna kuning langsat kulitnya sedikit kontras dengan warna seragam.

Rambut sehitam eboni itu sangat rapi dengan sisiran khas anak muda. Dia sangat tampan meski masih berusia 9 tahun.

"Ma, kenapa bekalnya belum siap? Aku bisa telat," rengek Farrel.

Lisa bangkit dan meraih spatula di atas meja. Tangannya menggandeng bocah bernama Farrel tersebut.

"Maaf, Farrel, mamamu ini harus bangunin adik kamu yang kebo satu itu."

"Papa belum bangun?"

"Biarin aja. Ayo, kita turun! Kamu sarapan duluan aja, ya! Mama masih bikin bekal spesial buat kamu."

Setelah Lisa dan Farrel keluar dari kamar, Arka keluar dari persembunyiannya. Dia melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh.

"Masih ada waktu sampai jadwal operasi siang nanti. Ngantuk!"

Arka kembali menarik selimut untuk mengurung tubuhnya. Sepuluh tahun telah berlalu, inilah hari-hari yang dijalani. Semua berubah begitu cepat, dilalui dengan cinta dan kesabaran.

*

Terhidang banyak menu sarapan, yang menikmatinya justru hanya dua orang saja. Tanpa Lisa, Farrel sudah bisa mandiri dan ditemani nenek tersayangnya.

"Opa udah sarapan, Oma?" tanya Farrel.

Omanya --Mama Wendi-- berusaha tersenyum untuk memudarkan ekspresi sedih cucu tampannya itu. Meski sempat mengekor arah pandangan Farrel, beliau kembali menoleh pada cucunya itu.

"Nanti opa bakalan sarapan, kok. Opa lagi baca koran, sarapannya nanti aja. Farrel makan sama oma aja. Udah jam segini, buruan gih!"

Farrel mengucek matanya. Pipi chubby-nya yang menggembung mulai tirus saat berhasil melumat roti itu lebih halus.

"Opa marah sama aku."

Mama Wendi tertegun. Wajahnya yang polos terlihat sangat sedih. Sesuatu yang buruk terjadi dan takdir mengendalikan semuanya.

"Itu perasaan kamu aja. Ya udah, lanjutin makannya, gih! Kalau mamamu nyariin oma, suruh aja ke kamar! Nanti kalau udah selesai sarapan, minta antar sama Mang Didit."

Mama Wendi menghindari pembicaraan. Beliau juga tak tega melihat wajah sedih Farrel. Hanya tertinggal Farrel di meja makan sendirian. Setelah selesai makan, Farrel bangkit dari kursi dan menuangkan teh pada cangkir di atas meja.

"Pasti opa ga akan marah lagi."

Kaki kecilnya melangkah perlahan untuk menjaga keseimbangan cangkir berisi teh yang dibawanya. Akhirnya bisa juga membawa cangkir hingga tepat berdiri di sisi sofa, tempat opanya --Papa Frans-- sedang membaca koran.

"Opa, ini Farrel ambilin teh. Opa minum teh, 'kan? Oma bilang, Opa ga boleh minum kopi lagi."

"Letak di meja," seru Papa Frans, dingin.

"Jangan lupa diminum, Opa!"

Farrel menurunkan cangkir dengan perlahan. Karena terkejut dengan gemercik air panas yang mengenai tangannya, Farrel tak sengaja meletakkan cangkir dengan posisi tak seimbang hingga tumpah di atas meja.

Sontak saja, Papa Frans shock saat aliran teh panas itu mengenai sisi pahanya.

"Farrel!"

Farrel takut melihat kemarahan kakeknya. Semakin hari, amarah itu tak bisa disembunyikan lagi. Bocah polos itu hanya bisa menunduk saat dijadikan lampiasan amarah sang Kakek.

"Kamu ga lihat ini, hah? Memangnya ada saya suruh kamu untuk ambilkan saya teh?! Keterlaluan!"

Arka tertegun di anak tangga kedua saat melihat wajah putranya itu tertunduk sedih karena dimarahi. Farrel tak sanggup mengangkat tangan gemetarnya untuk sekadar menghapus air mata.

"Pa! Hentikan!"

Arka memekik dengan nada tinggi. Lisa mendengar dan menyusul keributan yang tercipta di ruang tengah.

"Papa ...," isak Farrel.

Arka bersiap menentang keegoisan papanya. Lisa pun berusaha menarik lengan Arka setelah Farrel beringsut dalam pelukannya.

"Kenapa harus Farrel, Pa? Aku yang salah. Papa bisa marah sama aku sejak kejadian itu. Kenapa Papa harus limpahin semuanya ke Farrel?" kesal Arka.

"Apa yang kamu bicarakan? Papa marah sama dia karena dia melakukan kesalahan. Apa ga boleh papa menegurnya?"

"Gak! Papa menegurnya karena marah, bukan karena sayang. Aku udah perhatikan sejak hari itu. Papa bisa benci aku seperti dulu, tapi jangan sakiti putraku!"

"Dia bukan putramu!"

Lisa tak bisa menahan tangisnya, berharap pelukannya itu bisa memudarkan suara pekikan Papa Frans yang mungkin menelusup ke telinga Farrel.

Pria tua itu enggan peduli, pergi meninggalkan ruang tengah. Terdengar isak tangis di tengah suasana hening.

Saat Lisa menyentuh pipi Arka, suaminya itu tersadar dengan adanya Farrel bersama mereka. Dia segera memeluk Farrel dan menciumi puncak kepala putra kesayangannya itu.

"Opa selalu bilang kalau aku bukan anak papa," kata Farrel.

Arka menaikkan dagunya untuk menahan air mata untuk jatuh. Lisa pun ikut mengusap kepala Farrel agar putra mereka berhenti menangis.

"Hei, ini jam berapa? Nanti kamu telat, Sayang."

Lisa menoleh ke belakang dan memberi perintah isyarat pada bibi pengasuh rumah untuk mendekat dengan tas sekolah Farrel.

"Anterin Farrel ke mobil, Bi!" pinta Lisa.

"Yuk, Den Farrel."

Farrel menurut saja digandeng oleh Bi Siti. Lambaian tangan diberikan Farrel, tetapi Arka lebih memilih untuk berbalik karena belum bisa meredakan kesedihannya. Setelah yakin Farrel keluar dari rumah, Arka bisa bernapas lega.

"Sial!"

Arka kembali ke kamar. Lisa menyusul untuk menenangkan Arka saat ini. Sesampainya di kamar, Arka duduk terpekur dengan tangan yang mengepal.

"Kenapa papa harus lakuin itu lagi, Lis? Papa marah sama kita, kenapa malah nyakitin Farrel? Sebelumnya papa sayang banget sama Farrel, kenapa semuanya jadi gini?"

Lisa mendekati Arka, menarik tengkuk suaminya itu untuk tenggelam dalam pelukannya. Usapan lembut di bahu Arka seakan tak mampu memudarkan kesedihan itu begitu cepat.

"Selama ini papa udah anggap Farrel seperti cucunya sendiri. Tapi setelah mengetahui semuanya, kenapa dia membenci Farrel? Dia bisa benci aku kayak dulu, Lis, kenapa harus benci putraku? Dia Farrel-ku, aku yang membesarkannya sampai detik ini."

"Iya, Sayang. Kamu harus sabar. Jangan sampai terbawa emosi, ya. Papa punya alasan untuk itu. Kita yang salah udah sembunyikan kondisiku dari mereka."

Arka melepaskan pelukannya, menengadahkan wajah untuk bisa leluasa menatap binar mata berair Lisa.

"Tenangkan diri kamu, Sayang."

Sementara itu, Farrel belum berhenti menangis. Meskipun mesin mobil sudah dinyalakan, dia enggan masuk ke mobilnya.

"Den Farrel gak boleh gitu. Jangan nangis, ih, udah gede gini. Masa udah kelas empat, tapi masih nangis? Anak jagoan, 'kan?" hibur seorang pelayan muda bernama Siti.

Farrel terlihat kesal. Dia melepaskan lengannya dari Bi Siti saat wanita itu memintanya masuk ke mobil.

"Aku gak mau sekolah!"

Farrel berlari dari kejaran Bi Siti dan cepat menaiki lantai dua. Dari balik pintu yang terbuka, dia melihat kedua orangtuanya sedang bersedih. Terlebih lagi papanya.

"Opa marah karena aku. Papa juga nangis karena aku."

Farrel membolos hari ini. Pintu dikuncinya dari dalam agar tak diganggu. Kemarahan kakeknya itu begitu mengejutkannya, belum lagi dengan ucapan-ucapan kasar beliau tentang dirinya.

"Dia bukan putramu!"

"Jadi ini yang kalian sembunyikan? Kalian ingin agar aku menyayangi anak ini? Aku bukan kakeknya!"

Pernah Farrel mendengar kecam itu hingga dirinya menyadari bahwa dia hanyalah putra angkat sang ayah.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku