Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Make You Fall in Love

Make You Fall in Love

Y&M

5.0
Komentar
22
Penayangan
5
Bab

"Hei, kau baik-baik saja? Sharon mendongak dan bertemu mata hangat Jeremy. Tanpa sadar dia tersenyum dan menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Jeremy dengan lembut mengantar Sharon ke dalam kamar. Dia berpikir jika istrinya pasti merasa lelah dan butuh istirahat sekarang. Mereka berdua lalu duduk berdampingan di atas sofa yang menghadap ke tempat tidur king size kamar mereka. Jeremy memperhatikan bahwa Sharon lebih banyak diam dari biasanya. Gadis itu pasti memikirkan banyak hal di dalam kepalanya dan karena itu, Jeremy ingin mencoba meringankannya. Menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan, berharap cara itu dapat menenangkan dirinya. "Sharon." suara lembut itu berhasil menarik perhatian Sharon, membuat kepalanya yang tadi tertunduk sekarang sudah terangkat untuk menatapnya. "Aku tahu kau dipaksa untuk menikah denganku...tapi aku harap kau mau memberiku kesempatan, setidaknya untuk menunjukkan betapa aku benar-benar mencintaimu, Sharon." Sharon tertegun, dia dapat merasakan ketulusan di dalam setiap kata yang keluar dari mulut suaminya. "Kak Je..." Jeremy mengambil tangan Sharon lalu meremasnya pelan, memintanya untuk tetap diam dan mendengarkannya sampai selesai. "Aku tahu, biarkan aku mencintaimu. Seperti katamu...satu tahun...beri aku waktu untuk membuktikannya. Jika masih belum berhasil, maka semua keputusan akan ku serahkan kepadamu." Sharon menggigit bibirnya agar tidak mengatakan sesuatu yang akan dia sesali pada akhirnya. Melihat mata memohon itu, membuatnya berjuang. Dia ingin mengatakan YA, tapi dia juga ingin mengatakan TIDAK pada saat yang sama. "Kau tahu betapa aku mencintaimu, kan?" Jeremy bertanya, sekali lagi Sharon menekan bibinya dan hanya mengangguk sebagai jawaban. "Aku tidak akan pernah memaksamu untuk melakukan hal-hal yang tidak ingin kau lakukan, Sharon. Seperti yang aku katakan, aku tidak memintamu untuk membalas cintaku. Hanya biarkan aku menunjukkan betapa berartinya dirimu bagiku." Jeremy bergumam sambil berlutut di depan Sharon.

Bab 1 Chapter 1

Kerutan yang dalam muncul di dahi pria yang lebih muda saat sinar matahari mengenai matanya yang bengkak. Dia mengendus dan terus mengendus sementara air matanya terus menetes dari matanya yang mulai memerah.

"Mama." pria kecil itu memanggil dengan suara yang bergetar.

"Je, kau itu seorang laki-laki. Berhentilah menangis dan jadilah anak yang kuat!" suara kesal meraung di dalam mobil.

Pria yang bernama Jeremy Axel Aerlangga itu mendongak dan terdiam sesaat setelah matanya tak sengaja bertemu dengan mata marah ibunya.

"M-mama..."

Lagi-lagi perkataan Jeremy terpotong ketika ibunya berkata dengan nada penuh penekanan.

"Kau tidak pernah mendengarkanku, Jeremy. Mama menyuruhmu untuk diam, bukan?!"

Jeremy dengan takut menundukkan kepalanya dan menggenggam erat tangannya yang gemetaran.

"A-aku minta maaf..." lirihnya berusaha menahan isak tangisnya yang mengancam keluar.

Mendengar hal itu, helaan napas berat pun keluar dari mulut wanita paruh baya itu.

"Hufftt..."

Suara wanita itu akhirnya melunak ketika dia melirik putranya melalui kaca spion mobilnya.

"Itu kecelakaan, Je. Jadi lupakan saja."

Dia menahan dirinya untuk tidak menangis ketika melihat Jeremy sedang memainkan jari tangannya yang masih gemetaran, sementara pria kecil itu terus mengendus dan melirik ipodnya

"Boleh aku ikut dengan Mama? Aku berjanji akan menjadi anak yang baik."

Wanita yang bernama Natalie Aerlangga itu meremas erat kemudinya ketika pertanyaan itu kembali keluar dari mulut Jeremy dan pada saat itu juga, ledakan kemarahan kembali memenuhi mobil mereka.

"Kita sudah membicarakan tentang ini, Je. Jawabannya TIDAK dan akan tetap seperti itu! Bisakah kau mendengarkan Mama sekali ini saja?!"

Seketika Jeremy tersentak di kursinya dan kembali meredam rengekannya. Dia mencoba untuk tetap diam, menekan bibirnya yang gemetar saat dia mengedipkan matanya beberapa kali untuk mencegah dirinya menangis.

Menangis hanya akan membuat segalanya menjadi lebih buruk. Dengan tangannya yang gemetar, Jeremy meremas pahanya sambil melihat mobil-mobil di sekitar mereka mencoba mengalihkan perhatiannya.

Suasana di dalam mobil tiba-tiba menjadi sunyi dan sepi. Tidak ada lagi bentakan dari Natalie ataupun rengekan kecil dari Jeremy hingga mereka tiba di tempat tujuan mereka.

"Kita sudah sampai, Je. Turunlah."

Jeremy dengan sedih menelan ludah dan turun dari mobilnya. Dengan bingung melihat bangunan besar yang ada di depannya sebelum berbalik untuk menghadap ibunya.

"Mama?"

"Kau akan tinggal bersama Bibimu untuk sementara waktu. Mama ingin kau berprilaku baik selama Mama tidak ada, mengerti?"

Jeremy memejamkan matanya dan mencoba menahan tangisnya yang sudah di ujung tanduk sambil menggelengkan kepalanya.

"Dengar..." Natalie berjongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan Jeremy.

"Mama mencintaimu, tapi Mama harus pergi sebentar. Mama janji akan segera kembali."

Jeremy yang tidak terima kembali menggelengkan kepalanya. Air matanya bahkan tidak terbendung lagi ketika membayangkan jika dia harus tinggal bersama bibinya dan berpisah dengan ibunya.

"Mama...hiks...aku...minta maaf...hiks...aku janji..aku...ak..."

"Cukup. Sudah Mama bilang itu kecelakaan! Sekarang, ayo pergi!"

Natalie dengan terpaksa harus menyeret pria kecil yang sedang menangis itu untuk masuk ke dalam bangunan besar yang ada di depannya. Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika melihat seorang wanita berjalan mendekati mereka.

"Sofia!" panggilnya.

"Oh kalian sudah datang?"

"Kenapa kau menangis, sayang?" tanya wanita itu melirik ke arah Jeremy yang terus menangis di samping ibunya.

Jeremy hanya menggelengkan kepalanya, air mata terus keluar dari matanya yang sudah merah dan bengkak.

Tak tega melihatnya, wanita itu segera berlutut dan dengan lembut mengangkat wajah Jeremy untuk menghadapnya.

"Kau tahu Bibi tidak suka melihatmu menangis, kan?

Bibir Jeremy mulai bergetar saat dia menahan diri untuk tidak menangis lagi, tapi semuanya hanya sia-sia.

"Hiks...B-bi...bi...huwaaa..." suaranya pecah dan tubuhnya bergetar dengan hebat.

"Oh bayiku yang malang. Kemarilah."

Jeremy di tarik ke dalam pelukan yang erat, menyebabkan pria kecil itu mengeluarkan air mata yang jauh lebih banyak saat dia meratap dengan keras dan memeluk wanita itu erat-erat.

Natalie berusaha keras untuk tidak menangis saat melihat putranya yang masih sangat rapuh. Mencoba menguatkan diri, dia lalu berjalan menuju mereka dan membujuk putranya.

"Sofia, terima kasih banyak. Aku berhutang padamu." Natalie bergumam sambil membelai punggung Jeremy.

Sofia perlahan berdiri dan membawa Jeremy ke dalam gendongannya lalu menghadap ke arah Natalie.

"Apa kau yakin tentang ini?" Sofia kembali bertanya dan ingin memastikan keputusan sahabatnya.

Natalie dengan sedih menganggukkan kepalanya dan kembali menatap putra kecilnya yang masih menangis tersedu-sedu di bahu sahabatnya.

"Bajingan itu terus menyalahkannya. Aku tidak bisa meninggalkannya di sana." dia menggunakan bibirnya menunjuk ke arah Jeremy sebelum melanjutkan.

"Dia sangat sibuk dengan pekerjaannya dan dia terus menyalahkan putranya yang masih berusia enam tahun." Natalie bergumam pelan karena tidak ingin Jeremy mendengarnya.

"Itu kecelakaan, Natalie." Sofia beralasan, merasa peduli dan mengerti dengan situasinya.

"Aku tahu." jawab Natalie dan tersenyum saat matanya melihat seseorang yang dia kenal berjalan ke arah mereka.

"Hai, Natalie!" sapa Ardy, suami dari Sofia.

"Hai..." keduanya saling menyapa.

"Hei, jagoan kecil Paman." panggilnya sambil melambaikan tangannya pada anak kecil itu, tapi tak mendapat tanggapan darinya.

"Apa yang salah, nak?"

Jeremy dengan sedih menutup bibirnya dan menggelengkan kepalanya sebagai tanggapan lalu membenamkan wajahnya yang basah ke leher Sofia.

Ardy menghela napas sebelum beralih menatap Natalie. Keadaan wanita itu benar-benar buruk, penampilannya yang jauh dari kata terurus dan tak serapi biasanya.

"Apa kau sudah sangat yakin dengan keputusanmu ini?" tanyanya.

"Dia baru enam tahun, kehilangan saudara perempuannya dan kau akan meninggalkannya juga? Itu bukanlah pilihan yang bagus, Natalie."

Natalie menundukkan kepalanya, tidak tahu harus melakukan apa. Ini bukanlah keinginannya dan dia terpaksa melakukan semua ini.

"Aku tidak punya pilihan lain, Ardy."

Ardy menghembuskan napasnya setelah mendengar jawaban wanita itu. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menerima dan mendukungnya.

"Baiklah, jika itu keputusanmu...aku tidak bisa melakukan apapun lagi. Sebagai sahabatmu, kami akan membantumu. Aku dan istriku akan menjaga Jeremy dengan baik."

"Terima kasih, Ardy. Terima kasih banyak." Ardy mengangguk dan menatap iba pada pria kecil yang ada di dalam gendongan istrinya.

"Jeremy, ayo ikut Paman." dia bergumam manis sambil membelai pipi Jeremy yang memerah dan basah.

Jeremy hanya menganggukkan kepalanya dan pergi dengan Ardy yang sudah menggendongnya.

Saat dua orang itu pergi, Sofia kembali menghadap sahabatnya dan menghela napas dengan sedih.

"Natalie..."

"Aku tidak tahu, Sofia. Bagaimana itu terjadi? Aku tidak tahu. Ini salahku. Jika saja hari itu aku..."

Natalie tidak sanggup melanjutkan dan hanya menangis dengan putus asa saat Sofia menarik tubuhnya ke dalam pelukannya.

"Aku tahu, tidak peduli apa yang akan ku katakan itu tidak akan mengubah apapun dan juga tidak akan mengurangi rasa sakit yang kau tanggung sekarang. Tapi ingatlah...kau masih memiliki Jeremy, Natalie. Dia membutuhkanmu lebih dari sebelumnya sekarang."

"Aku tidak bisa melihatnya. Setiap kali aku melihatnya, semua itu kembali mendatangiku. Aku tahu jika dia bersamamu, dia akan baik-baik saja. Aku sangat berterima kasih kepadamu dan Ardy karena telah bersedia membantuku. Terima kasih banyak." Natalie dengan tulus bergumam sambil meremas tangan Sofia.

"Kau akan kembali menjemput Jeremy, kan?"

Menekan bibirnya, Natalie dengan sedih tersenyum lalu menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku