Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
The Magical Soulmate

The Magical Soulmate

Hooyo Qien

5.0
Komentar
4
Penayangan
2
Bab

Rasa penasaran Laura Ainsley terhadap segalanya membawanya menuju kesialan. Berurusan dengan Ielaki yang entah dari mana asalnya tidak sesimpel itu, tetapi melalui satu kesalahan takdir menyatukan mereka. Sebagai pasangan magical. Jiwanya dan jiwa manusia serigala itu telah terikat oleh sumpah suci, yang bahkan tidak dimengerti. Dunia lain dan segala misteri sudah menghadang di depan sana, entah rasa bahagia atau sengsara. Di dunia itu, Uniquecian, Laura mempertaruhkan nyawa dengan hidup bersama laki-laki yang bisa memangsanya kapan pun. Perempuan itu ... harus bertahan, menggunakan cara lain selain kabur. Yaitu, membuat Iaoel, si serigala dingin itu luluh dan kasihan padanya, bisakah?

Bab 1 Lelaki Misterius

"Akhh, masih sakit, padahal sudah berjam-jam lamanya aku duduk di sana!"

Beberapa orang menatap heran ke arah gadis yang baru saja keluar dari salah satu bilik toilet, menghardik atas nasib sialnya. Tetapi usai beberapa detik, mereka kembali fokus ke depan dan tidak peduli.

Gadis itu melewati mereka sembari bersungut, memegangi perut yang masih terasa tidak nyaman. Sesekali arloji itu dilirik, ia benar-benar telat sekarang.

Tiba di sebuah ruangan, penghuni kelas awalnya bising membicarakan topik masing-masing pun terdiam. Seluruh penghuni melempar tatapan nanar pada gadis bernama lengkap Laura Ainsley itu, yang berlenggang dengan acuh.

"Eh, kamu tidak mengambil nomor undian?" tanya seseorang memperlihatkan sebuah gulungan kertas kecil di sela jemarinya.

Dengan kening mengernyit Laura berjalan mundur, awalnya ia hendak langsung duduk di kursi, tetapi terpaksa kembali ke meja guru guna mengambil satu pulungan kertas.

Semua orang terdiam, termasuk Agnes, si ketua kelas sekaligus sahabat Laura.

Setelah mengambil kertas yang memang sisa satu, ia bergegas duduk, jika tidak gas beraroma tak sedap akan keluar. Itu pasti menghancurkan image di hadapan teman-teman sekelasnya.

"Sepertinya kamu memang sial hari ini," gumam Agnes memandang miris gadis itu.

Rupanya, ada tugas kelompok dari guru Biologi sekaligus wali kelas mereka, lalu Agnes mengusulkan agar pembagiannya dilakukan dengan cara diundi seperti orang arisan.

Melakukan itu bukan tanpa maksud. Ia akan menandai satu pasang kertas untuk diberikan kepada laki-laki di pojok sana, lalu satunya tergantung siapa yang terlambat.

Sungguh menyesal, andaikan ia tahu Laura tidak ada di kelas saat pengambilan kertas, tidak akan ia melakukannya. Bagaikan memberikan saudara sendiri sebagai santapan singa.

"Maaf, aku benar-benar berpikir kamu ada di kelas, karena biasanya tidak pernah telat." Agnes menghela napas, benar-benar menyesal.

Laura mendengkus kesal. "Cuih. Seharusnya ambilkan satu nomor untukku, jangan malah dibiarkan mendapat yang terakhir seperti ini ...."

"Laura! Agnes!" Seorang pria berkacamata minus itu menyerukan nama siswi-siswi.

Kebetulan sekarang jam istirahat, dan kedua karib tersebut dalam perjalanan menuju kantin di belakang sekolah. David berdiri di tempat (ambang pintu kantor), membiarkan para siswi yang menghampirinya.

"Ada apa, Pak?"

"Kamu sudah dapat penjelasan, tentang tugas kali ini, bukan?"

"Iya ...," sahut Laura, malas.

David melirik kertas di tangannya dan tersenyum miring. "Saya kaget, saat tahu kamu dan Iaoel satu kelompok. Harap bersabar, ya, Ra. Semoga beruntung!"

Setelah menyunggingkan senyum ia beranjak ke dalam kantor, meninggalkan gadis yang kini berada dalam keadaan kesal. Jelas sekali baginya, itu sebuah ejekan.

Semua orang tahu kalau laki-laki yang disebutkan David tersebut hanya bisa tiduran dan tidak berminat melakukan apa pun.

Sudah jelas, bukan? Siapa pun yang berurusan dengannya akan kesulitan. Mengerjakan tugas seorang diri, tapi nilai dibagi dua? Memuakkan.

"Andaikan saja bisa bertukar pasangan, aku tidak mau bersama Winter Bear."

Winter Bear, julukan untuk siswa itu.

Kalimat itu terus ia ucapkan, hingga mereka menduduki bangku kantin dengan sepiring spaghetti dan jenis makanan lain di meja masing-masing.

Pemalas, akan tetapi memiliki tatapan yang dingin dan tajam, sekaligus tidak tertebak secara bersamaan. Membuat orang-orang sungkan, memilih untuk menjaga jarak dari lelaki berambut ikal sebahu itu.

Jangan bertanya bagaimana rupa wajah Iaoel, di saat ia mengangkat kepala, orang hanya bisa fokus pada iris coklatnya, kemudian memalingkan pandangan seolah baru saja melihat sesuatu yang tak pantas dilihat.

"Sudahlah, aku jadi tidak nyaman ... mengapa masih sekolah, padahal tidak ada semangat sama sekali!" celetuk Agnes, nafsu makannya mendadak hilang.

Laura bersiap untuk menjawab ocehan sang sahabat, tetapi sosok di ujung sana berhasil membungkam mulutnya.

Sehingga Agnes dibuat heran oleh perubahan sikap gadis di samping, kemudian menengok ke depan sebelum mengarahkan netranya pada sepiring spaghetti super lezat itu.

Ah, akhirnya ia tahu alasan Laura mendadak terdiam.

"Kenapa dia di sini? Biasanya selalu tidur di kelas sampai bel pulang berbunyi." Agnes gelisah, berbisik pada Laura.

Mereka menaruh telapak tangan di atas kening seperti berlindung dari sinar matahari. Atas usulan Laura, mereka berpura-pura tidak melihat orang itu dan melanjutkan makan.

Berharap ia bosan dan pergi dari sana.

Namun, tidak semudah itu. Cara berpikir seorang Iaoel berbeda dengan orang-orang. Membuat Laura merutuk, lelaki itu lebih bodoh karena memilih menunggu di sana, berdiri tanpa bergerak sedikit pun.

Bahkan kedua gadis itu ragu Iaoel berkedip, tidak dilihat pun, sangat terasa tatapan tajam tengah mengintimidasi mereka.

Entah sampai kapan, Laura dan Agnes sudah tidak tahan lagi.

"Nes, kamu mengerjakan tugas besok atau hari ini?" bisik Laura.

"Tentu saja hari ini, besok sudah dikumpulkan!"

Pernyataan dari Agnes sontak membuat Laura tersentak, padahal jelas besok tanggal merah. Ia berencana mengajak teman sekelompok Agnes untuk bekerja sama, sehingga tidak perlu berurusan dengan laki-laki itu.

Tapi kenapa kesempatan belum juga berpihak padanya?

Mana mungkin ia bisa mengerjakan tugas di lapangan dari sore hingga malam, kemudian dikumpulkan besok saat hari Minggu. Berniat komplain, tetapi Laura memilih pasrah.

Lagi pula mendapat nilai tinggi bukan tujuannya. Yang penting lulus. Tinggal satu semester lagi ia akan sampai pada rencana hidup sebagai pengangguran kaya raya. Tidak pernah terpikirkan akan melewati hal seperti ini. Hidupnya tak semulus jalan tol.

Ia hanya perlu ijazah, lalu menikah dengan bos di perusahaan besar tempat ayahnya bekerja. Beres. Seperti itu, Laura hanya perlu percaya rencana hidup tersebut tak akan melenceng.

"Aku tidak boleh menyerah, karena sebentar lagi tinggal di rumah besar!" Sembari beranjak dari tempat duduk, dengan gugup Agnes menyamai langkahnya.

Benar saja, ke mana pun mereka pergi, lelaki itu akan mengikuti dengan jarak teratur, 5 meter.

Sudah tidak tahan, Agnes beralasan ingin buang air ke toilet demi menghindari tatapan mengerikan di belakang sana. Ia beruntung sebab target Iaoel memang Laura seorang.

Hati kecilnya tiba-tiba tidak tega membiarkan gadis itu sendirian, ia pun diam-diam membuntuti, hingga mereka tiba di perpustakaan.

Penasaran, ada apa dengan Iaoel? Mengapa ia selalu tidur di kelas dan dibiarkan guru begitu saja, siapa yang berani menegur akan ciut di kemudian detik. Sehebat apa tatapan itu?

"Jangan-jangan ... dia penyihir?" gumam Laura mengambil buku yang menurutnya menarik, lalu mencari meja kosong untuk membaca buku di tangannya.

Kebetulan setelah ini jadwal kosong, guru yang mengajar cuti melahirkan dan tidak ada pengganti. Membuatnya bisa lebih leluasa mencari bahan untuk tugas kali ini, santai saja, pikirnya.

Ia terlarut dalam aksara di atas kertas usang tersebut, membacanya tanpa jeda. Mengikuti alur, seakan terbawa cerita. Kursi di samping berderit, tanpa sepengetahuan Laura, seseorang telah duduk di sana.

Menyentuh helaian rambut tipis di area pelipis, guna menjauhkan benda yang menghalangi pandangan. Hingga gadis itu terkesiap, langsung panik berdiri, punggung menabrak pot bunga tempel di dinding.

"Kamu ...!"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku