Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
“Aku menunggu dudamu, Mas,” ucap Marta sambil memeluk lelaki di sampingku saat kami masih berdiri di pelaminan hari ini..
Gadis cantik dan bohay itu menatapku nanar, tangannya mengenggam erat Mas Rio. Lelaki yang beberapa jam lalu sah menjadi suamiku itu, pun membalasnya tak kalah mesra. Air mata tak sengaja ikut luruh menyelami kesedihan mereka.
Cemburu? Tentu saja tidak. Aku tahu mereka memang telah berpacaran, bahkan biasa ikut menemani makan di kala mereka bertemu. Toh, kami memang berteman.
Aku dan Mas Rio dijodohkan. Ayah kami bersahabat sejak kecil. Dan anehnya, perjodohan itu berlangsung sejak masih orok katanya. Hingga di sinilah kami terjebak dalam situasi rumit.
Semua tatap mata teman-teman dan orang yang tahu tentang soal pertemanan ini ikut mengadili, seakan memvonis akulah sahabat tak punya nurani.
“Dasar pagar makan tanaman!”
“Perempuan nggak punya malu.”
“Nggak punya hati.”
“Kecentilan.”
“Buang aja kelaut teman kayak gitu.”
“Mending berteman sama monyet daripa teman seperti ini.”
Berbagai hujatan dari teman dunia nyata dan dunia maya menghiasi gawaiku, meski tak sedikit juga yang membela. Saat mengaktifkan benda canggih itu usai acara pernikahan mewah hari ini.
Ternyata, ribuan komentar nyinyir muncul saat fotoku yang tadi siang diunggah di facebook dengan caption ‘Sahabatku mengambil calon suamiku’. Entah siapa yang mengunggahnya? Sungguh bagus judul itu difilmkan di TV ikan teri.
“Kamu puas sekarang?” Mas Rio tiba-tiba muncul dengan wajah penuh amarah, tetapi tak mengurangi ketampanannya sama sekali.
“Untuk?” tanyaku cuek sambil menarik guling memberi dia ruang untuk berbaring di tempat tidur kosong sampingku, yang masih dipenuhi bunga. Ada setitik harap dia berubah pikiran, meski tahu sangat mustahil.
“Kupastikan pernikahan bodoh ini nggak akan lama. Dan aku akan kembali ke Marta!” tegasnya lagi penuh penekanan lalu mengambil selimut dan bantal, kemudian menggelarnya di lantai depan TV.
Ngapain juga dia bersikap lebay gitu? Bukannya kita sama-sama tak mampu menolak keputusan ini?
Halo, apa dia pikir aku nggak punya cita-cita apa? Apa dia kira aku nggak punya pria idaman? Apa? Ah, sudahlah ... toh, nyatanya aku telah jadi istri dari pria yang kupastikan tak mengharap diri ini.
“Belum bisa tidur?” tanyaku saat dia bolak-balik bak roti gulung dan mengganti chanel TV berulang-ulang.
Entah siaran apa yang dicarinya. Sekamar sekarang pun dipastikan sebagai formal, pelengkap rangkaian pernikahan utuh di depan orang tua dan keluarga. Sungguh, pembohongan yang masif dan teratur.
“Hmm ...,” jawabnya tanpa membalikkan badan.
Semenjak mengetahui perjodohanku dengannya, tak pernah membayangkan malam pertama seperti pengantin pada umumnya. Dia bereaksi seperti itu saja walau sangat datar, sudah suatu kesyukuran. Setidak, aku merasa tak bersama dengan patung di malam pengantin.
“Makan, yuk!” ajakku setelah dari dapur. Dua porsi nasi lengkap, kuletakkan tak jauh darinya. Ada rasa iba melihat dia menzalimi cacing dalam perutnya. Apa dia mau bunuh diri dengan pernikahan ini? Sungguh lemah!
“Hidup itu dibawa santai aja. Kalau dibikin susah, yah, pasti ribetlah,” ujarku lagi sambil melahap daging rendang yang kupanaskan sisa tadi siang. Kemudian menyeruput es jeruk yang sontak mendinginkan suasana kamar yang sedari tadi terasa pengap. Entah kenapa suhu AC tak ada rasanya sama sekali, padahal sudah distel paling dingin.
Pelan dia bangkit, tanpa komentar meraih piring dan jus di dekatnya. Aku hanya senyum dalam hati melihat dia makan dengan lahap. Pasti tak sanggup menahan demo cacing dari perutnya yang sedari tadi bunyi kriuk kriuk.
Benarlah kata orang, perut kosong bisa membuat otak udang, ditambah dengan dompet yang besar doang, tapi hampa melompong. Ditambah pasangan dilarikan orang, dipecat sama atasan. Penderitaan apalagi yang kamu dustakan? Hanya orang beriman yang sanggup sabar di situasi seperti itu.
“Aku lihat kamu tak punya beban.” Ucapannya tak seketus tadi. Mungkin dia sudah berpikir jernih setelah perutnya terisi.
“Memang aku bisa apaan?”
“Protes kek, ngamuk kek. Lari, atau ... apalah.”
“Kamu sendiri?" Kalimatku pasti menohok hatinya, sekaligus jawaban dari pertayaan tadi.
Kami berada di situasi sama-sama tak mampu menolak dengan rasa bakti kepada orang tua.
***
Sebulan di rumah hasil keringat Mas Rio sejak membujang. Mungkin ini istana kecil perencanaannya dan Marta, untuk merenda hari setelah menikah. Itu terlihat dari penataan ruang khas sentuhan wanita. Artistik, rapi, menarik, mewah, dan elegan.