/0/24057/coverorgin.jpg?v=fd1094b94f91e88087ae939108913a37&imageMogr2/format/webp)
Namaku Bayu, seorang fotografer lepas yang sedang ingin rehat dari hiruk-pikuk kota. Mumpung ada waktu luang, aku memutuskan pergi ke kampung nenek di lereng gunung. Udara di sini sejuk, pemandangannya indah, dan rasanya tepat untuk menambah koleksi foto-foto pemandangan alamku.
Pada saat tiba di rumah nenek, suasana kampung itu langsung membuatku merasa tenang. Namun, yang menarik perhatianku bukan hanya pemandangan pegunungan atau ladang-ladang hijau yang terhampar luas di depan rumah. Ternyata, di sebelah rumah nenekku, tinggal seorang perempuan yang sulit menggambarkannya. Namanya Lina. Wajahnya cantik, dia sederhana tapi hal itu yang membuatnya sangat menarik.
Setelah bertanya sama nenekku, ternyata Lina adalah seorang janda muda, dan dia punya anak kecil yang usianya mungkin sekitar dua tahun. Aku sempat melihatnya bermain dengan anaknya di halaman depan rumahnya yang sederhana, sambil tersenyum lebar meski dengan wajah letih. Sesuatu dalam dirinya menggugah hatiku. Aku tahu, tak seharusnya aku merasa tertarik seperti ini, mungkin karena dia tampak berbeda dari perempuan-perempuan kota yang biasa kutemui.
Pakaian Lina sederhana Namun, justru di situlah daya tariknya. Bukan kemewahan, melainkan kesederhanaannya yang begitu menggoda. Setiap kali aku melihatnya, rasanya ada dorongan untuk mendekat, untuk mengenal dia lebih dalam. Aku tak tahu pasti kenapa aku merasakan ini. Mungkin karena cara dia tersenyum pada anaknya, mungkin juga karena tatapan matanya yang penuh dengan kehidupan, meski jelas dia memikul beban berat sebagai seorang ibu tunggal.
Secara diam-diam dari jendela rumah nenek, atau pada saat aku berjalan di sekitar kampung untuk mengambil foto. Entah apa yang harus kulakukan. Aku selalu teringat dengan Lina.
Sore itu, aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Matahari sudah mulai turun, meninggalkan warna jingga yang lembut di langit. Aku melihat Lina duduk di depan rumahnya, memangku anak kecilnya yang tertawa riang. Momen itu tampak sempurna di mataku, dan aku tahu ini kesempatan yang tepat.
Aku berjalan mendekat dengan hati berdebar. Saat jarakku sudah cukup dekat, Lina mengangkat kepalanya, menyadari kehadiranku. Senyum lembut tersungging di wajahnya, membuatku merasa sedikit lebih nyaman.
"Selamat sore, Mbak Lina, ya?" Aku membuka percakapan, berusaha menjaga nada suaraku tetap santai.
Lina mengangguk sambil tersenyum.
"Iya, sore juga. Maaf, Mas siapa ya?" tanyanya dengan suara lembut yang membuatku merasa hangat.
"Bayu, Mbak. Aku tinggal di rumah sebelah, rumah nenek," jawabku sambil menunjuk ke arah rumah nenek.
"Kebetulan lagi liburan di sini."
"Oh, cucunya mbah Darti?" Lina tersenyum lebih lebar.
Aku mengangguk, merasa percakapan berjalan lebih lancar dari yang kukira,"Iya, aku baru ke sini lagi, Mbakmu. Lagi cari suasana baru, sekalian hobi fotografi aku bisa tersalurkan di sini"
"Oh, hobi motret? Bagus itu," sahutnya sambil mengelus kepala anaknya yang mulai menguap, tanda kelelahan.
"Di sini banyak pemandangan bagus buat difoto."
"Iya, itu juga yang bikin saya betah di sini." Aku terdiam sebentar, lalu melanjutkan dengan sedikit ragu.
"Kalau Mbak Lina enggak keberatan, suatu waktu mungkin bisa saya fotoin"
Dia tertawa pelan, suara tawanya begitu lembut,"Aku? Aduh, enggak pantas difoto. Sudah ibu-ibu begini"
Aku tersenyum dan menggeleng,"Justru itu, Mbak. Kesederhanaan dan kealamian itu yang paling indah buat difoto. Lagi pula mbak itu cantik kok, natural banget malah"
Dia tampak tersipu, wajahnya sedikit memerah, tapi senyumnya tetap ramah,"Wah, bisa saja Mas Bayu. Tapi, nanti boleh deh, kalau anak saya enggak rewel"
Pembicaraan itu terus mengalir dengan ringan. Lina ternyata orang yang sangat ramah, lembut bicaranya, dan meskipun ada kesedihan di matanya, dia tetap tampak kuat. Anak kecilnya yang duduk di pangkuannya sesekali menarik perhatianku, dan Lina dengan sabar menenangkan anaknya setiap kali dia mulai merengek.
Setelah beberapa saat, aku merasa hubungan kami sedikit lebih dekat. Aku pamit karena hari sudah mulai gelap, dan Lina pun harus masuk untuk menidurkan anaknya.
"Sampai jumpa, Mbak" ucapku sebelum berbalik.
"Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan, ya."
Lina tersenyum lagi, tatapan matanya hangat,"Iya, Mas Bayu. Terima kasih."
Aku berjalan kembali ke rumah nenek dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Entah bagaimana, pertemuan sederhana itu membuatku merasa ada sesuatu yang berubah. Aku ingin mengenal Lina lebih dalam, bukan sekadar perempuan tetangga. Ada sesuatu dalam dirinya yang menarikku, dan aku merasa... aku harus lebih dekat dengannya.
/0/22336/coverorgin.jpg?v=75c1c02c125165ac8768b55986559191&imageMogr2/format/webp)
/0/2522/coverorgin.jpg?v=c57f067db9703ace32e4ff367652c29f&imageMogr2/format/webp)
/0/10030/coverorgin.jpg?v=20250122140221&imageMogr2/format/webp)
/0/13412/coverorgin.jpg?v=20250123145129&imageMogr2/format/webp)
/0/21571/coverorgin.jpg?v=cba1e5ef1cfc84bae149fdb0540b3382&imageMogr2/format/webp)
/0/4018/coverorgin.jpg?v=20250121182012&imageMogr2/format/webp)
/0/2958/coverorgin.jpg?v=20250120143218&imageMogr2/format/webp)
/0/3577/coverorgin.jpg?v=20250122110013&imageMogr2/format/webp)
/0/4847/coverorgin.jpg?v=dd3116c0aa640dfd499afed5dd0fb31a&imageMogr2/format/webp)
/0/13744/coverorgin.jpg?v=9b98406bedb7a8807ec09c446dfbd917&imageMogr2/format/webp)
/0/13960/coverorgin.jpg?v=993c2468b64bb5debbf8651bdb4dc393&imageMogr2/format/webp)
/0/27564/coverorgin.jpg?v=20251110165702&imageMogr2/format/webp)
/0/16151/coverorgin.jpg?v=a220e864e5dbf64d96768e682ffbbf09&imageMogr2/format/webp)
/0/3117/coverorgin.jpg?v=1bab22c76b32ae4e44d865c4488693e0&imageMogr2/format/webp)
/0/4247/coverorgin.jpg?v=084a3a9b57319d8195e2577f605c01bc&imageMogr2/format/webp)
/0/12434/coverorgin.jpg?v=20250122183222&imageMogr2/format/webp)